23. Monster

123 16 0
                                    

Guys mau minta tolong kalau ada typo ditandai ya. Thank you!

===================================

Trigger Warning - This story will
contain instances of violence, sex and inappropriate language.

===================================

Ketika mataku perlahan terbuka, aku merasakan kekakuan di tubuhku, dan rasa panik kembali melanda. Aku mencoba bergerak, tapi tubuhku terikat erat pada sebuah kursi keras. Tak bisa bergerak sedikit pun. Rasa sakit pada pergelangan tangan dan kaki akibat ikatan itu membuatku terkejut.

Saat pandanganku mulai jernih, aku menyadari bahwa aku sudah berada di dalam benteng Barbacane.

Ini... ini adalah tempat yang selama ini aku tuju. Apa yang sebenarnya terjadi?

Belum sempat aku memproses kebingunganku, suara langkah kaki datang mendekat. Dari balik bayang-bayang, Salvatore muncul bersama dua orang yang aku yakini adalah bawahannya. Satu dari mereka berdiri di belakang Salvatore, sementara yang lain menenteng laptop dan peralatan yang tidak aku ketahui lalu duduk di kursi portabel yang dibawanya.

Salvatore berjalan mendekat, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Senang bisa melihatmu lagi, sejak terakhir kali kita bertemu di pesta itu," ucapnya dengan suara datar namun dipenuhi keangkuhan. Dia kemudian menghela napas seolah kesal. "Kau membuatku menunggu cukup lama tadi," katanya sambil menatap jam di tangannya dengan ekspresi yang menunjukkan ketidaksabaran.

Tapi wajahnya tiba-tiba berubah menjadi cerah, seolah tidak ada lagi yang mengganggunya. "Tapi, lupakan. Lagipula aku sudah menyeretmu ke sini. Aku cukup senang akhirnya kau mengikutiku, mengikuti rencanaku."

Aku menatapnya dengan bingung dan marah. "Kenapa aku diikat seperti ini?" tanyaku, suaraku serak namun penuh kebingungan. "Aku sudah mengikuti rencanamu, Salvatore. Jadi kenapa—"

"Oh, sweetheart, kau sudah terjebak dalam permainan yang lebih besar dari yang bisa kau bayangkan. Aku pikir kita perlu berbicara lebih lanjut tentang apa yang akan terjadi selanjutnya."

"A-apa maksudmu? Aku ke sini untuk menyerahkan encoder sesuai yang kau inginkan. Dan aku tidak meminta apapun selain bantuan untuk kebebasan."

"Aku tahu, aku tahu," katanya, nada suaranya tidak sabaran. "Tapi tidak sesederhana pemikiran pendekmu itu." Salvatore mendekat ke arahku, dia kemudian mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Jadi mari kita mulai memeriksa benda itu terlebih dahulu. Jika isinya sesuai apa yang aku inginkan, aku akan dengan senang hati melepaskanmu."

Tenggorokanku tercekat, aku memejamkan mataku untuk tetap menenangkan diriku. "Baiklah."

"Gadis baik," katanya, tangannya terulur untuk mengusap pucuk kepalaku. Kemudian menengadah meminta benda yang dimaksud.

"Lepaskan tanganku dulu."

Salvatore berdecak kesal. "Tunjukkan saja di mana kau menyimpannya."

Aku terdiam, menatapnya tidak yakin. Entah kenapa semua ini terasa janggal. Seharusnya dia tidak memperlakukanku seperti ini jika aku benar-benar menguntungkannya.

"Kau akan terus diam? Atau aku perlu menelanjangimu?"

Aku tidak menjawabnya dan terus membaca gerak-geriknya. Gelagatnya membuatku tidak lagi yakin akan rencana ini. Salvatore, pria ini pasti telah merencakan sesuatu. Dia pasti menjebakku.

Kesabaran Salvatore menipis saat aku menahan diri untuk tidak menanggapi tuntutannya. Matanya menyipit karena kesal. "Sialan, berikan padaku cepat!" ulangnya, suaranya semakin keras. Salah satu anak buahnya mencengkeramku dengan kasar, menarikku ke depan di kursiku.

JuliusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang