Shattered, Not Broken [1]

55 10 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


~Frost Between Us~











Angin musim dingin menerpa wajah So Eun ketika ia keluar dari kedai minuman yang hangat. Aroma latte hazelnut yang manis masih tercium dari cangkir kertas yang ia genggam erat di tangan kirinya, sementara tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku mantel tebal berwarna abu-abu yang dikenakannya. Butiran salju kecil dan halus mulai turun dengan lembut dari langit, melapisi jalan dengan putihnya musim dingin yang tenang. Salju yang turun tahun ini terasa lebih berat, lebih dingin, seolah membawa beban yang sama dengan hatinya.

So Eun menatap lurus ke depan saat berjalan menuju taman yang menjadi tempat janjiannya dengan Myung Soo. Namun, setiap langkahnya kini terasa berat. Biasanya, ia menantikan pertemuan-pertemuan kecil ini dengan antusiasme yang tak bisa ia jelaskan, tapi kali ini rasanya berbeda. Beberapa bulan terakhir ini ada yang berubah antara dirinya dan Myung Soo, perubahan yang membuat dadanya terasa sesak, seperti udara dingin musim dingin yang menusuk paru-parunya setiap kali ia menarik napas.

So Eun tiba di taman yang hampir kosong, hanya ada beberapa orang yang duduk di bangku-bangku yang terletak jauh dari tempat mereka bertemu. Ia melihat Myung Soo berdiri di sana, di bawah pohon yang ranting-rantingnya tertutup salju. Pemandangan itu pernah membuatnya merasa tenang, seolah Myung Soo adalah pusat dari ketenangan di tengah badai yang menderu di kehidupannya. Namun kini, ketenangan itu terasa jauh, hampir tak dapat dijangkau.

Myung Soo melirik jam tangannya saat so Eun mendekat. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang sulit ditafsirkan oleh So Eun. Itu bukan tatapan yang biasa ia lihat. Tidak ada kehangatan, tidak ada senyuman kecil yang biasanya muncul ketika mereka bertemu.

"Kau datang," ucap Myung Soo, suaranya terdengar datar, hampir tanpa emosi. Angin dingin membawa suaranya dengan cepat, membuatnya terdengar lebih tajam.

So Eun hanya mengangguk pelan, meneguk minumannya sejenak untuk mengisi keheningan. Namun rasa hangat dari minuman itu tak mampu mengusir dinginnya perasaan di dalam hatinya. Mereka sudah berkencan selama empat tahun. Seiring dengan itu, karir keduanya pun naik hingga menggerus waktu mereka masing-masing, hubungan yang penuh tawa dan cinta itu pun perlahan meredup bahkan kerap diwarnai pertengkaran. Terutama sebulan terakhir ini seperti ada jarak yang pelan-pelan tumbuh.

"Ada yang ingin kubicarakan." Myung Soo memulai, suaranya rendah, seolah sedang menahan sesuatu.

So Eun mengerutkan alis, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Percakapan yang dimulai dengan kalimat seperti itu jarang membawa kabar baik. "Apa itu?" tanya So Eun pelan, mencoba menahan diri agar tidak terdengar cemas.

Myung Soo menarik napas dalam-dalam, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka selama beberapa detik. "Apa kau sadar kalau kita semakin berjarak, ditambah dengan semua kesalahpahaman dan pertengkaran kita akhir-akhir ini. Bahkan perbedaan preferensi sekecil apapun, bisa membuat kita emosi. Kau ingat kalimat ini?"

So Eun tertegun, itu adalah potongan kalimat yang diucapkannya pada Myung Soo beberapa hari lalu, ketika pria itu membatalkan janji kencan karena mendadak ada pekerjaan. So Eun marah dan tanpa sadar mencerocos meluapkan kesalnya, potongan kalimat tadi hanyalah sebagian kecil dari segenap uneg-uneg yang ia lontar.

"Aku memikirkan semua ucapanmu dan aku sadar selama beberapa bulan terakhir, tak ada lagi waktu berkualitas yang dihabiskan bersama. Kau benar, awalnya yang penting bertemu di tengah kesibukan. Namun perlahan pertemuan terasa hambar, karena komunikasi yang dangkal. Hingga masalah kecil seperti bagaimana mereka menghabiskan akhir pekan, malah berujung pertengkaran." Myung Soo menghela napas panjang. "Biasanya kita bisa menghargai preferensi masing-masing, tapi entah kemana perginya rasa menghargai itu. Maaf, aku bahkan mengecilkan hal-hal yang kau sukai. Tak mengerti kalau hal-hal tersebut adalah caramu melepaskan diri dari penatnya pekerjaan."

So Eun terpekur sesaat, mengingat semua luapan emosinya saat itu. "Aku terlalu menggebu, itu karena kecewa. Wajar saja, sudah sebulan tidak bertemu, lalu saat mau bertemu, kau membatalkannya. Ya, aku paham itu karena pekerjaan. Tapi, tetap saja ada rasa kesal. Kupikir itu manusiawi."

"Kau juga sibuk, So Eun."

"Ya, jadi mari salahkan saja waktu yang entah kenapa jadi tidak berpihak pada hubungan kita."

"Akulah yang salah, tak perlu melemparkan kesalahan pada waktu. Aku sadar kalau usahaku tak maksimal. Aku berusaha menjaga komunikasi lewat ponsel tapi ternyata tidak cukup. Kau bilang, kalimat-kalimat singkatku seperti serpihan salju, dingin dan tanpa makna."

So Eun memaku pandangannya pada tanah yang tertutup salju. Hatinya ingin meneriakkan kata bahwa ia tidak membutuhkan apa pun selain kehadiran Myung Soo di hidupnya. Tapi, bibirnya terasa kaku, kata-kata itu tidak keluar. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perasaan bingung atau sakit hati. Ia merasa seperti berada di tepi jurang, tak tahu apakah harus maju atau mundur.

"Setelah kupikirkan lebih dalam, aku merasa tidak bisa memberikan apa yang kau mau."

Mendengar itu, So Eun pun meremas cup minuman yang sudah kosong, sedangkan satu tangannya lagi terkepal di dalam saku mantel, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak. Ia teringat Myung Soo pernah melontarkan ucapan bahwa dirinya banyak menuntut. Meski Myung Soo meminta maaf setelahnya. Dan kini, Myung Soo berkata tidak bisa memberikan apa yang ia mau, perkataan itu menorehkan kembali luka, So Eun menilai kalau Myung Soo masih menganggapnya banyak menuntut.

So Eun menegarkan hati untuk kemudian menguntai tanya. "Kalau begitu ... apa yang kau inginkan, Myung Soo? Apa kau ingin pergi?"

Myung Soo menatap So Eun, matanya penuh keraguan. Ia terdiam sesaat, sebelum menghela napas panjang. "Aku lelah dan butuh waktu, So Eun. Aku butuh waktu untuk menenangkan pikiran dan memahami apa yang sebenarnya kurasakan."

Kata-kata itu membuat hati So Eun hancur perlahan. Waktu. Selalu ada waktu. Tapi waktu untuk apa? Untuk memahami perasaan mereka atau untuk merangkai jarak menjadi lebih jauh lagi? So Eun ingin marah, ingin berteriak bahwa Myung Soo bodoh jika tidak bisa melihat apa yang sudah jelas di depan matanya. Namun, So Eun tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap Myung Soo, merasa perasaan mereka yang pernah begitu kuat kini terpisah oleh dinding es yang semakin tebal.
"Baiklah," kata So Eun akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. "Kalau itu yang kau inginkan, ambillah waktumu."

Myung Soo hanya menatapnya, seolah ia juga merasa sakit yang sama. Tapi mereka berdua terlalu bingung untuk memahami satu sama lain.

So Eun menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku pergi dulu," katanya, sebelum berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan jejak langkahnya di atas salju yang perlahan tertutupi oleh butiran putih yang semakin turun.

Langkah-langkahnya terdengar berat di telinganya, seolah setiap langkah menjauhkannya dari sesuatu yang berharga. Setiap butir salju yang jatuh di sekitar mereka terasa seperti menambah jarak di antara mereka. Myung Soo tidak memanggilnya, tidak berusaha menghentikannya. So Eun tahu kalau pria itu tidak akan melakukannya dan memilih untuk membiarkan semuanya berjalan seperti ini.

Di dalam hatinya, So Eun merasakan sesuatu yang membeku. Ini bukan sekadar dinginnya musim dingin yang menusuk kulit, ini adalah perasaan takut akan kehilangan seseorang yang selalu ia anggap tak tergantikan. Ia tidak tahu apakah hubungan mereka bisa kembali seperti semula.

Hari itu, So Eun pulang dengan perasaan hampa. Salju terus turun di luar jendela apartemennya, menutupi dunia dalam keheningan putih yang menyesakkan. Namun, yang terasa paling dingin bukanlah salju di luar, melainkan perasaan di dalam hatinya.





Bersambung

Myung&Sso Short-chapters StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang