Shattered, Not Broken [2]

49 8 1
                                    




~Drifting Apart~




***



Tiga minggu telah berlalu sejak pertemuan terakhir di taman. Selama itu, tak ada komunikasi apapun antara Myung Soo dan So Eun. Keduanya sepakat menenangkan pikiran masing-masing.

Tapi, tak ada ketenangan. Itulah yang dirasa Myung Soo, sebagai pihak yang meminta waktu untuk menyendiri dulu.

Salju masih turun dan angin musim dingin masih tajam menusuk kulit.  Myung Soo duduk memandangi layar laptop, fokus bekerja adalah pelariannya, terlebih lagi sudah mendekati jadwal perilisan game. Namun, meskipun begitu,  pikirannya terus mengembara kembali kepada So Eun.

Kesibukan yang diharap bisa jadi pelarian ternyata tak mampu membungkam kegelisahan di hati Myung Soo. Setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaannya, bayangan wajah So Eun dan suara lembutnya yang terakhir kali ia dengar kembali menghantui.

Dan untuk kali ini, Myung Soo tak mau memaksakan diri tetap bekerja. Ia memilih untuk merebahkan badan di atas sofa. Myung Soo memutar ulang percakapan mereka, kalimat demi kalimat, nada suara So Eun yang pelan, namun penuh ketegasan. So Eun telah memberinya waktu, tetapi Myung Soo tahu, itu bukan sekadar waktu yang ia butuhkan. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar waktu yang harus ia pahami.

Myung Soo menghela napas panjang, kedua tangannya kini terlipat di depan dada. Pikirannya mengembara menelusuri jejak hidupnya setelah diberi kepercayaan menjadi lead designer. Ia menjadi jauh lebih sibuk dari biasanya dan  kesibukan itu tentu saja berdampak pada frekuensi pertemuannya dengan So Eun. Lalu, ketika membuat janji, ada saja hal yang membatalkannya. Kesibukan juga menjadi alasan untuk menunda segala hal di luar pekerjaan, termasuk ketika mulai menghadapi masalah dengan So Eun.

Senyum So Eun tiba-tiba saja berkelebat dalam benak, disusul dengan tawa. Myung Soo pun teringat bagaimana So Eun selalu mendengarkan setiap cerita tentang proyek game-nya meskipun tak selalu mengerti. Seketika mata Myung Soo berkaca-kaca, ia merasakan sakit yang halus menusuk dadanya. Tersadar bahwa selama ini So Eun selalu ada untuknya, mendukungnya tanpa pamrih.

Tapi, apa yang telah ia berikan pada So Eun? Di saat pertengkaran kian memanas, Myung Soo dengan entengnya melontar kata kalau So Eun terlalu banyak menuntut. Memang kata maaf langsung diucapkan, namun sejak itu, semuanya tak lagi sama. "Myung Soo, kau bodoh..." gumamnya lirih.

Myung Soo beranjak, kemudian menyalakan musik untuk mengusir sepi. Sembari mendengar lagu, Myung Soo berdiri di balik jendela, memandangi hamparan salju yang menyelimuti dunia luar dengan diam. Hawa musim dingin meresap hingga ke dalam rumahnya, meski jendela rapat tertutup. Di luar sana, pepohonan berdiri dengan ranting-rantingnya yang memutih oleh salju yang turun tanpa henti. Langit abu-abu membentang luas, seolah memantulkan kekosongan yang juga ada di hatinya.

Embun tipis mengaburkan pandangan Myung Soo sesaat ketika napasnya menyentuh kaca jendela. Dia mengusapnya perlahan, berharap bisa melihat lebih jelas, tapi bukan pemandangan salju yang membuat hatinya sesak. Dalam kesunyian ini, dalam putihnya dunia di luar sana, So Eun masih merajai pikirannya, tak pernah benar-benar pergi. Ruang yang ditinggalkan So Eun terasa begitu luas, kosong, dan dingin. Seperti musim dingin yang enggan beranjak.

Myung Soo menghela napas panjang. Jendela itu kini terasa seperti pembatas antara dirinya dan kehidupan yang telah ia abaikan. Salju terus turun, menutupi jejak-jejak masa lalu, tapi tak pernah benar-benar menghapusnya. Dan semakin lama ia berdiri di sana, semakin ia sadar bahwa meskipun berusaha mengabaikan, menenggelamkan diri dalam kesibukan, pikirannya tetap kembali pada satu hal yang tak bisa ia abaikan, yakni Soeun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Myung&Sso Short-chapters StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang