11. DILIRIK DIKIT

1 1 0
                                    

Guru wanita dengan kacamata persegi itu cermat memantau setiap sisi ruangan hening yang dipijaknya. Sesekali mengendurkan kacamatanya guna mendetail apa yang dilakukan bangku paling belakang. Lambat laun kakinya mulai menyusuri deretan meja bangku. Tangannya bersedekap dada sembari memeriksa anak didiknya yang sedang mengerjakan ulangan.

Tersenyum simpul saat mengecek meja paling depan milik seorang gadis. Wanita itu melirik jam dinding diantara figura foto dua pemimpin negara. Hampir istirahat. Ulangan harus segera dikumpulkan.

"Finish, ayo kumpulkan. Saya tidak menerima alasan apa pun!"

Mendesah kecewa, para siswa terpaksa mengumpulkan dengan jawaban seadanya. Bukan tanpa alasan, ini adalah ulangan fisika paling sulit yang pernah di berikan Bu Melan, guru muda berkacamata tadi. Beliau merupakan keturunan Tionghoa atau yang biasa dikenal Chinese. Memiliki rambut sebahu dengan style elegan, Bu Melan juga seorang yang sangat tegas.

Kini dua puluh lembar kertas sudah tertumpuk rapi di meja guru. Bu Melan melirik meja paling depan urutan ke dua dari pintu. Tepat pada meja seorang gadis dengan predikat bintang kelas. Guru itu kemudian tersenyum.

"Kamu, tolong bantu saya membawakan lembaran ini ke kantor!" Titah Bu Melan.

Gadis itu hanya mengangguk hormat. Ia segera berdiri, membawa tumpukan kertas keramat itu lalu membuntuti Bu Melan dari belakang. Ini kali pertamanya ia diminta untuk membawakan tugas ke kantor.

"Saya cukup kagum dengan jawaban kamu." Bu Melan memecah keheningan.

"Ibu liat?"

"Iya, saya sempat mengintip jawaban kamu sedikit." Guru itu tertawa pelan. Gadis di sampingnya hanya tersenyum canggung.

"Kamu cocok ikut olimpiade. Selama ini saya hanya menerima keluh kesah anak-anak kalo fisika itu sulit. Mereka jadi malas dan malah tidak mengerjakan tugas yang saya berikan." Sebagai seorang guru Bu Melan sudah sangat sering menemukan kasus seperti itu. Terlebih dari kalangan murid laki-laki.

"Saya hanya sekedarnya bisa, bu. Tidak sejago anak kelas lain."

"Pasti yang kamu maksud itu Ibra. Kamu dan Ibra itu setara. Saya bisa mengajukan kamu untuk ikut olimpiade sama seperti Ibra." Tawar Bu Melan.

"Tidak usah, Bu. Saya malu."

Bu Melan terkekeh sembari menggelengkan kepalanya. "Kenapa harus malu? Justru itu bagus buat prestasi kamu makin naik. Apalagi kalo dapet juara."

"Saya sebenarnya malu kalo cuma sama Ibra, Bu. Soalnya nggak enak cuma berdua." Gadis itu tersenyum kikuk.

"Saya paham apa yang kamu maksud. Kebanyakan memang tidak suka fisika. Jadi, maklum kalo cuma sama Ibra."

Bu Melan berhenti pada sebuah meja di ruangan ber-AC. Ia meletakkan buku absen dan beberapa buku lain yang dibawanya. Begitu juga dengan gadis disampingnya, ia meletakkan lembaran kertas ulangan disamping kotak bolpoin.

"Terima kasih, ya. Kamu boleh kembali ke kelas sekarang."

"Sama-sama Bu Melan. Saya permisi."

"Jinar!"

Gadis itu kembali menoleh. "Ada lagi, Bu?"

"Kamu kenapa suka sekali memakai masker?"

Tersenyum hangat, gadis bernama Jinar itu menjawab. "Tidak papa, Bu. Saya hanya alergi debu."

••000••

"Gue nggak mau nampung lo di rumah gue kalo sampe misi lo gagal lagi Ziv," tegas Nazua. Di sampingnya terdapat Ziva yang tengah sibuk mengotak-atik kipas portabelnya. Ntah rusak atau bagaimana kipas itu tiba-tiba mati padahal baru lima menit lalu di cas.

Ziva melirik Nazua sekilas. "Jahat."

"Biarin. Gue pulang dulu. Minta anter pak satpam aja kalo misi lo gagal, bye!"

Nazua akhirnya memilih pergi. Ziva tak peduli dengan kepergian sahabatnya itu. Ia melayangkan kipas portabelnya ke dalam selokan. Benar-benar tidak berguna.

Sekarang dirinya benar-benar sendirian menunggu Esky. Di tempat yang sama seperti rencana Ziva awal.
Pohon Cemara di belakang Ziva setia menaungi serta menjadi saksi bisu perjuangan gadis itu.

"Oke, gue harus lebih dramatis."

Ziva mengeluarkan sekotak bedak tabur. Menekan spons putih lalu mengaplikasikannya di bibir. Ziva melihat bayangannya pada pantulan cermin. Wajahnya kini terlihat pucat seperti yang ia harapkan.

"Perfect! Kalo keliatan pucet gini kan orang jadi iba ngeliat gue, termasuk Esky pastinya."

Sudah cukup lama gadis itu menanti kedatangan Esky. Cowok itu memang sering pulang akhir jika dipikir-pikir. Mungkin karena ekskul yang diminatinya itu sangat aktif. Walaupun tidak latian terkadang tetap saja mengadakan pertemuan. Bisa di bilang taekwondo itu ekskul paling solid di smariksa.

Tak berselang lama Esky keluar menggunakan vespa putih lengkap dengan helm bogo berwarna hitam. Ziva mulai memposisikan dirinya, berdiri di pinggir jalan menanti kedatangan Esky. Rambut berantakan yang dipadukan dengan wajah pucat membuatnya kondisinya terlihat memprihatinkan. Ah, ini hanya akting, ingat!

"Gue jelek gini Esky beneran nyadar nggak si? Ah bodo amat lah," gumam Ziva.

Ziva memasang ekspresi lemas ketika motor Esky sampai di depannya. Matanya sedikit melirik pada Esky agar tidak ketahuan jika ini memang disengaja. Ziva ingin menganga namun ia berpura-pura batuk dan menutupi mulutnya saat mengetahui Esky juga meliriknya. Tolonglah! Ziva salting sekarang. Namun, bukannya berhenti Esky hanya meliriknya sebentar dan kembali melajukan motornya.

Setelah motor Esky menjauh, Ziva langsung mengambil napas dalam dan menyenderkan tubuhnya pada pohon cemara di belakang. Walaupun hanya dilirik, ini pertama kalinya Ziva eye contact dengan Esky. Jantung Ziva rasanya tidak karuan melihat wajah tampan yang selama ini menjadi bayang-bayang di pikirannya.

"Mama Ziva terbang dulu ya. Alias jalan kaki sampe rumah nggak papa beneran. Aaaaaaaa!"

"Lalalalala lalalalala lalalalala!"

"Gagal dikit nggak papa lah ya. Ini udah lumayan daripada yang kemarin."

Ziva berjalan riang menyusuri jalanan. Tetesan air mulai turun membasahi jalanan yang dilalui gadis itu, menciptakan petrikor yang mulai menyeruak indra penciuman. Bukannya berteduh, Ziva malah menikmati momen hujan gerimis ini. Sepertinya hujan pun tau suasana hati Ziva hingga menurunkan butiran kebahagiaan yang turut menyertai langkah gadis itu.

"HUJAN, SI TAMPAN UDAH PASTI Milik RAY JINGGA ZIVARA BUKAN?"

______________________________________

Haiiii apa kabar?

Maaf...

Maaf karena aku melupakanmu...

Esky...

Maaf...

Karena aku lebih memilih rasa malasku...

Huhuuu, udah ah sok puitis
Lama banget nggak update dan jujur kangen Esky :)

Diusahain nggak males😧🙏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FAMOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang