Bab 18

8 2 0
                                    

HAPPY READING

~🏡~

Raja tanpa ratu tetaplah seorang raja. Tapi raja tanpa ibu bagaikan boneka tanpa pencipta. Alnair bisa percaya akan kata-kata itu. Ibunya ada, raganya masih bisa dilihat dengan netra, tapi Alnair tidak merasakan kehadirannya.

Bagaikan langit dan bumi, fatamorgana di Padang pasir, dan ikan dengan tanah, Alnair benar-benar merasa jauh dari ibunya meski masih bisa ditatap dengan kedua netra coklatnya.

Dia punya raganya, tapi tidak dengan jiwanya. Hanya bisa memandang tanpa menyentuh raganya.

Sesakit inikah?

"Den, Non Vella jatuh dari tangga dan dia sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Non Vella sudah meninggal."

Bagaikan gemuruh petir yang menyambar hatinya. Alnair benar-benar kehilangan separuh hidupnya. Rumah yang selama ini ia pertahankan agar bisa berteduh di dalamnya, kini rumah itu sudah hancur berkeping-keping.

Ia gagal.

Gagal menjaga rumahnya dari badai besar.

Kini ke mana lagi ia mencari tempat berlindung sementara rumahnya sudah hancur lebur? Alnair benar-benar tidak mempunyai tempat pulang lagi. Tempat pulang satu-satunya kini sudah pergi meninggalkannya. Mencampakkannya sendiri di dunia yang penuh luka ini.

"Nair gue pengen liat senja. Lo bisa temenin gue, gak?"

"Gue gak bisa seperti senja yang akan kembali lagi di keesokan harinya."

Perkataan Vella kemarin sore masih terekam jelas di ingatan Alnair. Jadi ini maksud dari semua kata-katanya. Jika tahu begini, maka ia akan menghabiskan waktunya lebih lama dengan gadis itu. Sampai ia juga ikut memejamkan kedua matanya dan tidak ingin bangun lagi.

Tapi nyatanya Tuhan hanya menyayangi Vella dan membiarkan gadis itu pergi ke pelukan-Nya.

"Vel, kenapa secepat ini?" sesak Alnair menatap makam dengan nama—Navella Liza Pearl—di batu nisannya.

Bagaikan batu besar yang menghantam dadanya, Alnair merasakan sesak yang mendalam. "Sekarang lo udah ketemu sama orang tua lo. Dan ... Meninggalkan gue sendiri di sini."

Rasanya sangat tidak adil jika Tuhan merenggut rumah satu-satunya. Bahkan ia belum melukis sesuatu yang berharga selama hidup gadis itu. Semua terlalu cepat berlalu.

Kini tidak ada lagi seorang gadis lugu dengan kursi rodanya.

Tidak ada lagi Vella yang selalu memancarkan senyuman manis untuknya kala sedih.

Tidak ada lagi Vella yang mengadu kesakitan dan mengeluh dunia tidak adil.

Tidak ada.

Semua sudah hilang. Vella sudah pergi meninggalkan sejuta kenangan yang membekas di hati Alnair.

"Vella gak sakit lagi, ya? Vella udah sembuh ya sekarang? Di sana Vella sudah bisa jalan dan berlari mengejar Mama dan Papa Vella, ya? Nair di sini ikut bangga. Tunggu Nair di sana, ya. Nair akan segera menyusul Vella."

"Dan kita akan bermain kejar-kejaran di sana. Nair janji, sebentar lagi."

~🏡~

"Vella meninggal akibat terjatuh dari tangga. Vella sempat dibawa ke rumah sakit, namun pas di perjalanan dia sudah meninggal," ucap pria yang kini sedang melahap kopi buatan istrinya.

Pria itu menatap lurus ke depan. Hembusan napas kasar terdengar dari mulutnya. Lalu matanya melirik ke kursi sebelahnya, di sana Alnair tertidur dengan mata yang sudah sembab akibat menangis.

"Kasihan Alnair, dia sangat terpukul," ujar Kaylen ikut prihatin.

"Vella seberharga itu di dalam hidupnya, Len?" tanya Gafi. Ikut merasa kasian dengan anak sulungnya itu.

Selama ini Gafi tidak tahu akan hubungan Alnair dan Vella yang begitu dekat. Dia hanya tahu kalau Alnair sering pergi ke rumah seseorang bersama Kaylen.

Vella adalah keponakan Kaylen. Dia adalah anak dari adik sepupu Kaylen. Dari sanalah awal pertemuan Alnair dan Vella ketika Kaylen mengajak Alnair untuk bertemu Vella untuk pertama kalinya.

"Iya. Alnair memang sesayang itu sama Vella," jawab Kaylen.

"Gue paham gimana sakitnya yang dirasakan Alnair sekarang."

"Sama kayak gue." Kaylen tersenyum kecut. Kemudian dengan cepat ia merubah kembali ekspresi wajahnya. "Tapi itu dulu. Gue kini udah bisa menerima semuanya. Terbukti kan kalau gue udah punya anak cantik seperti Evelyn."

"Makasih Ayah, Velyn kan emang cantik!" sahut manusia tak diundang itu.

Evelyn ikut nimbrung bersama ayah dan pamannya sambil menampilkan gigi rapinya. "Halo, Om. Apa kabar?"

"Baik, Lyn," jawab Gafi ramah.

"Lo bang Nair kenapa, Yah? Capek banget kelihatannya," ujar Evelyn sambil melirik Alnair yang tertidur pulas di kursi samping Gafi.

"Dia baru aja ditinggal mati oleh sahabatnya, Lyn," jawab Kaylen. Tentu saja itu membuat raut wajah Evelyn berubah. "Gak usah gitu juga dong mukanya."

"Siapa?"

"Vella," singkat Kaylen.

Evelyn mendongakkan matanya. "Vella?" gumamnya. "Vella siapa, Yah? Velyn gak tahu!"

Kaylen menepuk jidatnya sendiri. Bisa-bisanya Evelyn tidak tahu akan silsilah keluarganya sendiri. "Kamu itu anak Ayah gak sih, Lyn? Masa sama keluarga sendiri gak tau?"

"Ih, Ayah! Aku emang gak tau. Ayah gak pernah ngenalin ke aku," kesal gadis itu cemberut.

"Memang duplikat lo banget, Len," kekeh Gafi.

"Bukan gue, tapi ibunya," elak Kaylen.

"MAS KAYLEN! INI IKAN AMORA AKU KAMU TAROH DI MANA!? KAMU GORENG YA?"

~🏡~
TBC

We Are Home [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang