Bab 12

12 8 0
                                    

Follow Ig aku
@kucingimut1258 @yaa_frstn

HAPPY READING

~🏡~

A

lnair menatap langit-langit rumah sakit dengan tatapan kosong. Pikirannya menerawang entah ke mana. Membayangkan wajah mamanya yang tersenyum hangat dan membawa dirinya ke dalam pelukan kehangatan. Namun semakin ia membayangkan, semakin besar rasa sakit yang menjalar di lubuk hatinya.

Apakah Alnair harus mati dulu agar mamanya itu peduli kepada dirinya?

"Bang, lo lapar?"

Bahkan pertanyaan Arzaga sama sekali tidak digubris oleh Alnair. Bertarung dengan isi kepalanya cukup membuat cowok itu tidak mempedulikan sekitarnya lagi.

Arzaga masih tinggal dan menemani Alnair di rumah sakit selama papanya pulang untuk menemui Zaya dan mengambil beberapa barang untuk keperluan di rumah sakit.

"Bang?" panggil Arzaga lagi.

Lagi dan lagi Alnair tidak menjawab. Hal itu membuat Arzaga mendekat brankar Alnair dan menatap kakak laki-lakinya itu dengan lamat. Arzaga memegang tangan pucat yang tertempel infus itu.

Sontak saja membuat Alnair tersentak dan kaget. Ia menoleh kepada adiknya. "Ada apa?"

"Lo sih asik ngelamun sendiri. Gue tanya aja gak lo jawab," gerutu Arzaga.

"Emang lo nanya apa?"

"Lo lapar gak? Dari bangun tadi lo belum makan apapun selain minum air putih, Bang. Perut lo juga butuh asupan," ucap Arzaga.

"Gue mau makan kalau disuapin mama," jawab Alnair. Setelahnya, Alnair menyembunyikan dirinya di dalam selimut. Memejamkan mata dan bersiap menjelajahi alam mimpi.

Arzaga berdecak. Sangat susah sekali membujuk spesies seperti Alnair. Arzaga kembali duduk ke sofa dan memainkan ponselnya. Mau sekeras apapun ia untuk membujuk cowok itu, Alnair tidak akan pernah mau mau mendengarkannya.

"Ck, keras kepala banget!" gumam Arzaga.

Cowok itu memainkan jarinya di ponsel membalas pesan dari Evelyn.

V
[Gue denger Bang Nair masuk rumah sakit, ya?"
[Gue titip salam ya, semoga Abang cepat sembuh.]

Me
[Hm]

V
[Lo tau ga sih kepanjangan dari 'hm'?]

Me
[Apa emangnya?]

V
[Hanya mencintaimu, eakk!]

Bibir Arzaga berkedut menahan senyum. Sebisa mungkin Arzaga menyembunyikan salah tingkahnya. Kupingnya memerah dan pipinya memanas. Evelyn sangat suka sekali membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

"Ngapain lo senyum-senyum kayak gitu?" Pertanyaan dari Alnair mampu membuat Arzaga terdiam. Apakah laki-laki itu memperhatikannya dari tadi.

Arzaga menormalkan kembali mimik wajahnya menjadi sedatar-datarnya. "Siapa yang senyum?"

"Gue gak buta, ya! Gue liat sendiri lo lagi senyum-senyum natal ponsel lo," ucap Alnair. "Pesan dari Evelyn, ya? Ngaku gak lo!"

"Apa sih?" elak Arzaga.

"Cie salting ciee." Alnair semakin gencar menggoda adiknya itu.

"Siapa yang salting sih?" kesal Arzaga. "Noh, si Evelyn nitip salam, semoga lo cepat sembuh. Belum sembuh aja, lo udah nyebelin banget, Bang!" Arzaga memperlihatkan layar hpnya kepada Alnair.

Alnair semakin mengeraskan gelaknya. "Tuh kan benar lo lagi chatingan sama Evelyn!"

"Diem gak, Bang!" Arzaga benar-benar sekaligus malu sekarang ini. Cowok itu keluar dari ruangan untuk menghilangkan rasa salah tingkahnya. Sedangkan Alnair terkekeh pelan melihat ekspresi menggemaskan adiknya itu.

~🏡~

Kepada bumi dan seisinya, Zaya hanya berharap semesta selalu mengapresiasi anak pertamanya itu dalam setiap langkah hidupnya. Sambut dengan meriah di setiap kedatangannya dan beri banyak cinta kepadanya. Dia telah berjuang melawan setiap rasa sakitnya. Dia juga selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam hidupnya. Dia tidak menyerah pada mimpinya. Maka Zaya berharap semoga Alnair mendapatkan hadiah istimewa berupa banyak bahagia dan cinta yang selalu hadir dalam hidupnya.

Selamanya.

Meskipun cinta itu bukan berasal darinya. Zaya sangat mengharapkan anaknya itu selalu berbahagia dalam hidupnya.

"Kenapa gak masuk ke dalam?" tanya Gafi. Pria itu berdiri di samping Zaya yang tengah mengamati Alnair yang terbaring di dalam ruangannya.

"Aku gak bisa," jawab Zaya tanpa membalikkan badannya menghadap Gafi.

Gafi mengangguk paham. Zaya mau datang ke sini saja sudah cukup baginya. "Tapi dia pasti sangat bahagia kalau kamu masuk ke dalam dan mengelus pelan kepalanya. Tolong, jadilah ibu yang baik untuk Alnair malam ini."

"Dia membutuhkan kamu, Aya," sambung Gafi.

Zaya bimbang. Namun, perkataan Gafi barusan membuat dirinya memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan Alnair. Zaya duduk di samping brankar Alnair dan memegang tangan pucat anak sulungnya itu.

Hatinya mendadak terasa nyeri. Ibu mana yang tidak sedih melihat anaknya terbaring lemah di brankar rumah sakit dengan alat-alat medis di badannya?

Tidak ada.

Sebenci-bencinya orang tua kepada anaknya, mereka masih punya kasih sayang yang tersisa kepada anak yang mereka lahirkan dengan susah payah. Dengan cucuran keringat serta sekuat tenaga sampai akhirnya perjuangan itu dibuahkan dengan hasil yang baik.

"Nair ... Maafin mama, ya?"

"Atas semua luka mama di masa lalu, membuat kamu terkena lukanya juga," ujar Zaya lirih.

Air mata mulai keluar dari pelupuk matanya. Cairan bening itu tidak mampu lagi bertahan di kelopak mata sayu itu.

"Atas semua kesalahan mama, kamu harus menanggung kesalahan yang gak kamu perbuat sama sekali. Mama memang buruk. Mama bukan ibu yang baik untuk kamu. Sekali lagi ... Maafin sosok wanita penuh dosa ini, Nair... " Zaya semakin terisak.

Gafi yang sejak tadi ikut duduk di sebelah Zaya pun membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Mencium pucuk rambutnya berkali-kali.

Sungguh, ini sangat menyakitkan.

"Ga, apa yang sudah aku lakukan?" tanya Zaya masih dengan air mata yang meluncur deras. "Aku udah jahat sama anak aku sendiri. Aku gak bisa mengontrol emosiku sendiri. Aku bahkan melampiaskan segalanya kepada anak yang tidak bersalah. Aku sejahat itu, ya?"

"Enggak, Sayang. Kamu gak jahat. Kamu ibu yang baik."

"Aku bukan ibu yang baik. Nyatanya aku selalu melihat Alnair menangis tiap malam. Kamu pikir aku tidak mengetahui itu? Aku tahu! Aku tahu Nair selalu menangis karena perlakuanku kepadanya. Tapi aku? Aku masih memperlakukannya layaknya orang asing di dalam rumah kita."

"Aku udah mencoba, tapi aku gak bisa. Lagi-lagi aku kalah dengan egoku sendiri," sambung Zaya.

Ini sangat sakit. Lebih sakit dari luka-lukanya selama ini.

Kemudian, pintu ruangan terbuka. Menampilkan Arzaga yang baru saja datang. Zaya dengan segera menghapus air matanya. "Ma, Pa, ada orang yang datang untuk menjenguk Bang Nair."

"Siapa, Ar?" tanya Gafi.

"Om yang nolongin Bang Nair tadi."

~🏡~
TBC

We Are Home [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang