Tangkai Sepuluh

154 25 13
                                    

"Selamat malam, Taufan" Halilintar menggantung jasnya pada Taufan. Melapisi bahu yang hanya ditutupi oleh kemeja tipis "Bukankah kamu seharusnya menggunakan pakaian yang lebih tebal, Taufan?"

Taufan menatap Halilintar dalam. Dalam tatapan itu, Taufan memberitahu Halilintar banyak hal. Sungguh banyak.

Tapi Halilintar hanya menyadari bulu mata Taufan yang sepertinya tumbuh ke bawah, dan sendu yang melapisi tatapan kekasihnya itu.

Halilintar tidak menyadari hal lain.

"Ada apa? Mengapa kamu terlihat sedih di malam hari, Taufan?" Halilintar mengusap pipi Taufan pelan

Menanggapi itu, Taufan menggenggam tangan Halilintar yanh ada di pipinya. Meskipun tangannya dingin, tangan Taufan yang hangat membagi kenyamanan yang sama pada keduanya.

"Rasanya aku tidak ingin bangun, Yang Mulia" Taufan terdengar pasrah

"Kamu berbicara seolah-olah ini adalah mimpimu" Taufan tersenyum. Andai Halilintar tahu "Taufan, aku tidak akan pergi meninggalkanmu"

Taufan juga berharap seperti itu. Pada pria ketus yang baru ditemuinya. Pada pria menjengkelkan yang selalu menepisnya.

"Bagaimana Anda mau membuktikan hal itu, Yang Mulia?" Taufan menutup matanya, Anda kan membenci saya.

"Aku akan berada di sampingmu selalu, Taufan. Aku berjanji"

"Maka akan saya pegang janji Anda"

Halilintar memeluk Taufan dengan erat. Merasakan hal yang rasanya mustahil akan didapatkan olehnya. Sungguh hangat pelukan erat itu.

"Apakah Anda tidak menemui Ivette, Yang Mulia?"
Mendengar pertanyaanmu, Halilintar mengerutkan dahinya

"Ivette? Ivette Putri Mahkota?" Kamu ikut mengerutkan dahimu "Buat apa aku menemui Istri Yang Mulia?"

"Ya?"

Ivette Putri Mahkota? Istri? Yang Mulia?

"Apa maksudmu, kamu kan Putra Mahkota"

Halilintar terkikik kdcil, "Leluconmu aneh. Aku bukan Putra Mahkota, Taufan. Aku cuma seorang Archduke" Katanya kemudian

Taufan kali ini benar benar bingung

"Tapi aku berjanji akan melindungi kamu dengan seluruh jiwaku, maafkan aku untuk hari hari di mana aku membencimu" Halilintar memeluk Taufan lagi.

Tapi kali ini, Taufan sama sekali tak bisa merasakan hangatnya karena kepala Taufan benar benar penuh dengan banyak pertanyaan. Meskipun setelah itu Halilintar menyuruhnya pergi ke kamar untuk istirahat seraya berdiri dan kembali ke ruang kerjanya, Taufan tetap duduk di kursi itu untuk memikirkan banyak hal.

Tahu tahu, matahari telah mengetuk kaca jendelanya dan menyapa Taufan dari atas langit sana. Lagi, dengan tubuh yang basah oleh keringat, Taufan menerima air dingin yang Solar sodorkan.

Setelah empat hari, sekarang mimpi itu kembali lagi saat Halilintar pulang ke Istana. Dan lagi, mimpi itu mengungkap rahasia yang sungguh Taufan tak mengerti.

Archduke? Bukan Putra Mahkota?

Sebenarnya apa apaan ini...

"Yang Mulia, apa Anda sungguh baik baik saja?" Solar telah menanyakan pertanyaan itu berulang kali, dan Taufan selalu menjawab bahwa dia baik baik saja.

Tapi kali ini, rasanya salah jika berbohong pada Solar.

"Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, Solar" Taufan mengusap wajahnya dengan handuk yang disediakan oleh Pelayannya itu, "Kamu tidak akan percaya padaku"

"Tentu saja saya akan selalu percaya pada orang yang saya layani, Yang Mulia"

Diluluhkan tatapan yang begitu tulus, Taufan menghela napasnya. Memutuskan memberitahu Solar keempat mimpi yang menghampirinya, sekaligus apa yang dikatakan oleh Count Nox Reenberg.

Tadinya, Solar mengerutkan dahinya sebagai tanda bahwa dia sulit sekali menerima informasi itu. Tapi setelah masuk ke bagian pembicaraannya kemarin dengan Count, wajahnya menjadi gelisah dan kami tahu itu bukan sesuatu yang baik.

Taufan dapat melihat Solar yang mengulum bibirnya dalam. Meskipun tidak bisa menebak dengan tepat apa yang ada di pikirannya, tapi Taufan tahu bahwa hal ini tak akan berakhir baik.

"Lantas...sekarang Anda mau bagaimana, Yang Mulia?" Ketika menanyakan pertanyaan itu, Taufan merasakan sorot matanya yang berharap bahwa Taufan akan menemui Count.

Menyadarinya, Taufan menjawab sesuai dengan harapan Solar. Meskipun seperti menelan ludahnya sendiri, tapi jika sepertinya lebih baik begitu, maka biarlah seperti itu jalannya.

Mungkin Count Reenberg tahu jalan yang lebih baik.

Pukul sembilan, Taufan bisa melihat Count Reenberg dengan seorang pria yang kelihatan lebih tinggi sedikit dari Count. Apakah orang orang Reenberg memiliki gen spesial? Mengapa mereka bisa begitu tinggi?

Orang yang ada di belakang Count berlumuran darah di beberapa bagian tubuh. Pakaiannya tidak seperti pelayan, lebih terlihat seperti ksatria khusus yang seharusnya ada di garda terdepan perang.

Wajahnya pucat dan matanya tak kalah sendu tajam seperti Count. Kulitnya cerah dengan satu dua goresan luka.

Mendengar kelotak sepatumu, Count tersenyum setelah meneguk sebagian teh yanh ada di cangkirnya. Di seberang meja, ada sebuah cangkir yang kosong dengan lilin aroma kecil di sebelahnya yang belum dinyalakan.

"Saya memberi salam pada Bunga Kekaisaran. Halo, Yang Mulia Pangeran" Tanpa berdiri, atau bahkan menatap Taufan, Count menyapa.

Kepalanya mendongak ke arah Taufan, tapi matanya melihat ke arah cangkir teh miliknya dengan kepala yang ditopang pada lengan.

"Selamat pagi, Count Reenberg"

"Apakah Anda berniat duduk dan berbicara dengan saya atau Anda hanya kebetulan lewat?"

Taufan menelan ludahnya. Menurut Taufan, tidak ditanya juga Count tahu jawabannya.

Orang di belakang Count menarik kursi untuk Taufan, mempersilakan orang malang itu duduk.

"Apa..." Count menatap air teh yang Dylan tambahkan ke dalam cangkirnya "Yang Anda ingin ketahui?"

Taufan diam sebentar ketika menyadari bahwa orang itu tak menyiapkan teh untuknya. Tak ingin mengacau suasana, Taufan tak menghiraukannya.

"Aku..."

"Anda memiliki banyak pertanyaan, ya?" Sebelum Taufan selesai mengucapkan dua kata, Count telah berbicara lagi "Anda ingin tahu soal apa? Konsep penjelajah? Cara menjelajah? Mimpi Anda? Apa maksud mimpi itu? Cara menghentikannya? Apa yang Anda ingin tahu?"

Taufan tak mengira akan mendapat daftar pertanyaan itu dari seseorang seperti Count Reenberg. Terutama karena dia berhasil menerawang seluruh pertanyaan yang Taufan ingin tanyakan.

"Aku...ingin tahu soal mimpi itu" Dengan sendu yang menutupi rasa malu, Taufan menundukkan kepalanya.

Jika Taufan tidak menunduk, dia bisa melihat Count yang tersenyum. Senyumnya kali ini tidak hanya tidak bisa dijelaskan, tapi juga rasanya seperti semakin banyak sesuatu di sana.

"Mimpi itu, Yang Mulia. Merupakan kehidupan Anda di dimensi yang entahlah dekat atau jauh" Count terdengar senang "Dimensi yang kehidupannya berbeda sekali dengan Anda"

"Yang Mulia, Anda telah menggapai dimensi itu. Anda telah menjelajah jauh. Jauh menyentuh sesuatu yang Anda tak sengaja menemukannya. Sesuatu, yang Anda harap akan Anda dapatkan pada kehidupan Anda. Cinta dari Yang Mulia Putra Mahkota. Bukankah begitu?"

Taufan menelan ludahnya, mengangguk pelan.

"Ah, Anda tidak perlu malu" Count menggeleng saat cekikan kecil terdengar "Menginginkan sesuatu adalah hal yang lumrah buat manusia"

"Mimpi itu, Yang Mulia. Berasal dari harapan Anda yang padahal baru pertama kali menemui Putra Mahkota, tapi telah merasa sangat dekat dengannya. Perasaan familiar itu yang membuat Anda menginginkan rasa hangat darinya lantas menggapai dimensi lain itu."

Taufan diam

"Yang Mulia, apakah Anda ingin tinggal di dimensi itu?"

ECHOES FROM THE FORGOTTEN || BL HALITAU FANTASY AU-Boboiboy Elemental ShipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang