Pagi ini ketika dia terbangun karena Solar terdengar agak panik, wajahnya telah basah dengan keringat dan air mata. Dia tidak ingat apa yang terjadi untuk sesaat, hingga kemudian dia tiba tiba mendapatkan ingatan itu. Ketika Halilintar memeluknya dengan erat dan hangat.
"Yang Mulia?"
"Y-ya, Solar?"
Taufan cuma tertawa canggung saat Solar mengingatkan selama setengah hari ini dia telah melamun lebih dari tiga kali. Bertanya apa Taufan benar benar baik baik saja, wajah Solar kelihatan cemas padanya.
"Apakah Halilintar ada di Istana hari ini?" Taufan menutup buku yang sedari tadi tak berganti halaman.
"Beberapa waktu lagi Yang Mulia akan memimpin ekspedisi hingga empat hari kedepan. Apa Anda mau saya antarkan ke tempat persiapan?"
Taufan mengangguk setuju. Halilintar memang ada di tempat persiapan saat Taufan mengatakannya ingin bicara sebentar.
"Apa yang kamu perlukan?" Halilintar mengikat sarung pedangnya
"Saya hanya ingin tahu jika ada sesuatu yang bisa saya bantu saat ini"
Menunggu jawaban Halilintar, Taufan teringat lagi dengan mimpi semalam itu. Sungguh dia begitu hangat.
"Kamu bisa menggunakan pedang?"
"Ah...aku tidak terlalu mahir dalam hal itu"
"Maka kamu hanya akan menjadi beban jika berusaha membantu"
Taufan mengigit bibir dalamnya, "Apa tidak ada hal lain yang bisa aku kerjakan?"
"Aku tidak cukup memercayaimu untuk urusan urusan penting, Taufan Iris. Menyingkirlah dari jalanku dan tutup mulutmu"
Halilintar berjalan dengan cepat melewati Taufan. Kehangatannya malam tadi, sungguh tak dapat Taufan lihat lagi.
Keluar dengan helaan napas yang berat, begitu jelas terlihat wajah lesu Taufan. Sebetulnya dengan bertemu Halilintar, Taufan hendak memastikan bahwa yang semalam itu benaran hanya mimpi.
"Bagaimana, Yang Mulia?" Taufan menggeleng sebagai jawaban "Anda selalu dapat membantu bahkan tanpa saran dari Putra Mahkota"
Siang menjelang sore itu, Solar membawa Taufan ke Ibukota ditemani oleh Count. Suasana di Ibukota sekilas tampak biasa saja Tenang dan damai, namun jika dilihat lihat lagi, sebagian besar rakyat terlihat kekhawatirannya.
Meskipun monster belum sampai ke Ibukota, tapi tidak ada jaminan bahwa mereka aman dari bahaya. Mereka memikirkan banyak hal. Anak anak, makanan untuk besok atau bahkan nanti, kehidupan mereka selanjutnya, dan begitulah.
Kalau di Ibukota saja begini, bagaimana dengan wilayah wilayah ekspedisi itu?
"Apa yang Anda rasakan, Pangeran?" Count tersenyum tanpa melihat ke arah Taufan. Mereka sedang beristirahat sejenak di salah satu bar umum "Apakah Anda merasa tidak nyaman?"
"Aku merasa kasihan pada mereka, Count"
"Saya dapat mengerti hal itu. Tapi siapa yang akan mengasihani diri Anda?"
"Apa?" Taufan mengerutkan dahinya. Apa yang baru saja dikatakan oleh Count?
"Anda perlu mengasihani diri Anda juga, Pangeran. Bukankah Anda sama malangnya dengan mereka?"
"Apa maksudmu, Count Reenberg?"
"Anda seperti bunga yang dipindah wadahnya kemudian diberikan pada orang lain"
"Aku harap kamu tahu apa yang baru saja kamu katakan, Count" Taufan mendesis. Berani sekali Count mengatakan hal itu, bukankah dia seharusnya tahu malu? Tahu batasan?
Tapi Count Reenberg cuma tertawa kecil sambil menopang tangannya dengan siku di atas meja, "Saya sungguh merasa kasihan pada Anda"
"Count!" Taufan berdiri dari duduknya. Solar yang baru saja memesan minum buru buru mendekat. Bertanya apa yang terjadi sambil membantu Taufan duduk kembali. Taufan cuma mengusap wajahnya, sementara Count menutup matanya dengan senyum yang sama sekali tidak bisa dijelaskan.
Begitu kembali ke Istana, Taufan merasa energinya terkuras habis saat meladeni Count tadi. Taufan kira Count adalah orang berkelas tinggi, tidak terpikirkan bahwa pernyataan yang tidak pantas dapat keluar dari mulutnya.
Mengapa Kaisar begitu percaya padanya?
"Boleh saya tahu apa yang terjadi pada Anda dan Count di bar, Yang Mulia?"
Taufan menceritakan insiden tadi, dan Solar tidak bereaksi banyak atas cerita itu. Dia hanya meminta maaf atas nama Count, kemudian melanjutkan kegiatannya menemani Taufan.
✎✎✎...
Dengan angin yang menghembus kencang, malam di taman terasa lebih dingin. Meski begitu Taufan sangat menikmati bintang yang memberi cantik pada langit malam.
Suara kelotak sepatu terdengar di telinganya, kemudian Taufan mendapati Halilintar telah duduk tanpa suara. Dia yang diam membuatmu mengerti bahwa dia tak mau mengganggu Taufan, dia cuma ingin menemani. Maka Taufan membiarkannya, kembali mendongak menatap bintang.
"Bulannya cantik, ya" Setelah beberapa saat akhirnya dia mengatakan sesuatu, dan Taufan mengangguk menyetujuinya. Halilintar tak mengatakan apapun setelah itu.
"Sebenarnya mimpi macam apa ini, Yang Mulia?" Taufan tersenyum mengatakannya. Meskipun dia tadinya tidak mengenal Halilintar sama sekali, jujur, siapa sih yang tidak suka sama orang serupawan itu?
Dia orang yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan, meskipun tempramental dan ketus, Halilintar tidak pernah menggunakan tangannya.
Harapan Halilintar akan memperlakukannya dengan baik, lama kelamaan menyirami perasaan Taufan. Dia merasa itu merupakan kesalahan, tapi manusia membuat kesalahan sekali dua.
"Kamu tidak bermimpi, Taufan"
Taufan memperbaiki posisi duduknya, kemudian memikirkan lagi soal Halilintar. Sebenarnya mengapa Taufan ingin sekali diperhatikan olehnya, apakan itu normal?
Merasakan sesuatu di bahunya, Taufan mendapati jubah Halilintar berada di atas jubah miliknya
"Aku tidak bisa menemani kamu lama lama karena ada pekerjaan penting. Jadi kamu cepat masuk ke kamarmu dan beristirahatlah, Taufan" Dia tersenyum pada Taufan.
Untuk yang kedua kalinya, Taufan menyukai mimpi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHOES FROM THE FORGOTTEN || BL HALITAU FANTASY AU-Boboiboy Elemental Ship
Fiksi PenggemarDi Dunia ini, kita nggak sendiri. Dalam dimensi waktu yang lain, ada diri kita yang lain juga. Kehidupannya bisa berbeda tipis, atau bahkan berbeda seratus delapan puluh derajat. Taufan Iris mempelajari konsep baru soal 'penjelajah' yang katanya pe...