Tangkai Layu Dua Belas

185 30 21
                                    

Menurut Kak Dali, bunga selalu memiliki manfaat bagaimanapun kondisinya. Ketika masih berupa tunas, bunga akan membawa sedikit kebahagian karena apa yang telah ditanam mulai menunjukkan hasilnya.

Ketika mulai berbunga, harum dan cantiknya akan memanjakan siapapun yang menanamnya atau bahkan sekadar melihat.

Ketika mulai layu, bunga bisa jadikan pupuk organik agar bunga lainnya bisa tumbuh secantik bunga itu dahulu.

Tapi, bunga yang Kak Dali rawat rasa-rasanya tidak berguna sama sekali.

Dulu, Kak Dali merawat sebuah bunga. Indah rupa dan bentuknya. Ketika dilihat sungguh memanjakan mata bunga itu.

Kemanapun Kak Dali membawanya, bahagia selalu ada di belakang bunga itu. Rasanya segalanya begitu sempurna. Sungguh sangat sempurna.

Benar benar sempurna.

Tapi ketika semua orang melihat keindahan bunga itu, Dalimunte hanya melihat duri duri yang ada di sekitar batangnya.

Bunga itu memiliki sesuatu yang tak siapapun menyadarinya.

Sekarang, bunga itu mulai layu karena Dali tak bisa lagi merawatnya. Duri yang sebelumnya tak bisa dilihat semua, perlahan-lahan akan menggores orang orang di sekitarnya.

Taufan tak menunjukkan kesedihan dan kemarahannya lewat luapan emosi. Yang dilakukannya hanya menurut dan diam. Seperti sebelum sebelumnya. Tapi di dalam diam itu, sungguh ada banyak hal yang ingin sekali diungkapkan olehnya.

Binar matanya tetap ada di tempatnya. Senyum manisnya pun tak terhapus dari eksistensi. Yang hilang hanya positifnya yang selama ini selalu Taufan bebaskan.

Halilintar selalu dapat melihat Taufan sedang menatap keluar jendela dari dalam. Saat dia mendapati hal itu dilakukan oleh Taufan selama berhari-hari seakan dia tak pernah meninggalkan tempat itu, rasanya seperti Taufan sebenarnya memperhatikan Halilintar.

Ketika Halilintar yang ada di luar bertemu pandang dengan Taufan yang ada di dalam, tatapan matanya seolah-olah bertanya, "Bagaimana kamu bisa menikmati hari-harimu?"

Tatapan orang asing itu, seperti menanggung seluruh kemalangan di dunia.

Ketika Halilintar menanyakan Solar tentang Taufan, Solar memilih bungkam. Berkata bahwa Taufan baik-baik saja seperti biasanya. Halilintar tak mengerti benar yang 'biasanya' itu seperti apa.

Lima hari sejak Taufan dikurung di dalam kamarnya, Halilintar tetap bisa melihatnya dari jendela.

Dan setiap kali ia melakukannya, Halilintar merasa tertusuk oleh sesuatu yang sangat tajam. Matanya menjadi panas seakan ingin menguarkan air mata dan kepalanya sulit untuk tetap tegap.

Halilintar tak kuat menatap mata orang asing itu.

Tidak salah jika ingin dikatakan bahwa Halilintar mengurung kupu-kupu dalam wadah tertutup.

Mereka tidak pernah benar benar bertemu, setidaknya sampai sore ini Halilintar mengetuk pintu kamar Taufan.

Solar membukakan pintu, namun tidak mengucapkan salamnya.

"Taufan Iris" Halilintar berdiri beberapa meter dari meja Taufan. Tak bergerak sedikit pun, Taufan cuma melihat keluar. Seperti biasanya.

Halilintar merasa kesal, "Taufan Iris."

Solar di pojok ruangan menggelengkan kepalanya. Halilintar tak memedulikan hal itu, dia tetap memanggil nama Taufan dengan intonasi yang meninggi di setiap kalinya.

Saat Halilintar telah menyebutkan nama itu lima kali, "Sebenarnya, apa yang Anda inginkan Yang Mulia?"

Halilintar sedikit tersentak. Dia daritadi memanggil nama Taufan hanya untuk melihat wajahnya. Tidak memikirkan apa yang akan dikatakan saat Taufan memberikan respon.

"Apakah dengan duduk di sini saja merupakan kesalahan?" Kali ini, yang tidak merespon adalah Halilintar "Saya kira saya setidaknya memiliki sebuah kegiatan yang Anda tak akan komentari saat saya mengerjakannya"

Halilintar terdiam sebentar. Menata kembali kata katanya di dalam pikiran.

"Mengapa kamu tidak menangis?"

Solar tampak terkejut akan hal itu. Memangnya pertanyaan seperti itu pantas untuk ditanyakan?

"Sekiranya Anda ada di posisi saya, apakah Anda akan menangis?"

Halilintar tidak menjawab pertanyaan itu selama beberapa saat, kemudian saat ia membuka mulutnya, pintu dibuka secara paksa. Memberi kesempatan pada Putri Thorn untuk berlari masuk. Memeluk Taufan dengan wajah yang basah oleh keringat dan air mata.

"Kak Taufan, maafkan aku" Putri terisak di bahu Taufan yang tak menengok sama sekali. Meskipun begitu, ia tak menyuruh Putri pergi atau membiarkannya sendiri.

"Aku sudah mengatakan pada Ayah untuk membiarkan Kekaisaran Kakak, tapi...tapi..." Putri tak sanggup menjelaskan apapun, dia benar benar penuh oleh rasa bersalah.

Selama lima hari sejak Taufan resmi dikurung di kamarnya, Putri telah meminta izin berkali-kali untuk menemuinya sebentar, tapi baik Kaisar atau Halilintar tak ada yang memberinya izin.

Sementara kunci kamar hanya ada pada mereka berdua dan Solar. Memangnya begitu adil?

"Kak Taufan, jangan benci padaku" Putri tetap terisak meskipun ia yakin Taufan tak akan membencinya, "Jangan seperti ini, Kak, bicara padaku"

Taufan sama sekali tak bergerak, ataupun menoleh. Tak ada yang bisa melihat wajahnya itu kecuali dari luar jendela sana.

"Kak Taufan, maafkan aku" Putri benar benar merasa bersalah. Kepalanya dipenuhi oleh ketakutan yang besar padahal mereka belum banyak menghabiskan waktu bersama.

Meski begitu, Halilintar tetap menyeret Putri keluar. Karena dia tak bisa menjawab pertanyaan Taufan tadi, dan kebetulan Thorn sangat mengganggu, Halilintar memilih 'kabur' dengan membawa pergi Adiknya itu.

Bahu Taufan basah. Maksudnya benar benar basah.

Setelah itu, "Tinggalkan aku, Solar. Kembalilah nanti" Itu adalah perintah pertamanya sejak lima hari terakhir. Maka tanpa bertanya, ia pergi membiarkan Taufan sendiri.

Taufan tak beranjak sama sekali dari sana. Ia hanya perlu waktu untuk memeluk kesedihannya.

Setelah lima hari, akhirnya Taufan menangis. Tidak, dia tidak sesenggukan, atau menangis dengan histeris.

Dia hanya menangis seadanya, sekadar membiarkan sebagian kemalangannya keluar agar tak terlalu membendung di dalam diri.

Taufan ingin sekali memeluk Yang Mulia Putri, mengatakan padanya bahwa ia tidak salah sama sekali. Taufan ingin sekali menenangkannya, mengatakan bahwa Taufan tak akan membenci siapapun.

Meskipun begitu, ia tak ingin melihat Halilintar yang berdiri di sana. Ia tak ingin melihat raut Halilintar yang Taufan tak tahu akan menatap dirinya seperti apa.

Apakah Halilintar akan menatapnya dingin seperti biasanya, apakah Halilintar akan memandangnya iba, Taufan sama sekali tak mau tahu.

Ia takut.

Taufan takut akan luluh hatinya. Ia takut akan mengharapkan hari-hari baru itu kedepannya. Taufan takut Halilintar akan membuatnya lupa akan mereka yang berkhianat.

Selama lima hari, ia memikirkan mengapa rasanya baik baik saja kehilangan orang orang yang begitu hangat padanya untuk seseorang yang baru dikenalnya sebentar.

Taufan ingin rasa simpati yang hilang saat melihat Halilintar kembali. Ia ingin mengenang keluarganya.

Mengapa kamu tidak menangis?

Halilintar, jika kamu tahu alasan diamnya Taufan, maka sebanyak apapun kamu meminta maaf, tak akan sebanding dengan rela yang Taufan lakukan.

Isak tangis sama sekali tak terdengar dari Taufan. Meski begitu, wajah dan pakaiannya yang basah tak akan bisa menjadi bukti jika nanti ia mengatakan ia tak menangis.

Bunga Iris yang indah akhirnya mulai layu.

ECHOES FROM THE FORGOTTEN || BL HALITAU FANTASY AU-Boboiboy Elemental ShipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang