𝙃𝙚𝙖𝙫𝙚𝙣-𝖿𝗂𝗏𝖾.

37 7 1
                                    

"Masih hidup, atau udah mati?"

Telunjuk mungil menjitak gadis yang terbius tak sadarkan diri dua hari lalu, kini terusik bangun. Udara menelusup memenuhi indra penciuman mengisi paru-paru, sontak memekik kaget. "AKU MASIH HIDUP?"

"Oh..." si Albino membusungkan dada angkuh, berdiri dengan sebuah pistol digenggaman tangan. Menatap lempeng tanpa minat, mengawasi. "Kirain mati..."

Empu tak menghiraukan, fokus mengerling ke segala sudut tempatnya berada, memeriksa. Ia duduk dikursi sebuah ruangan gelap dengan jendela raksasa terbentang memperlihatkan seisi ibukota. Ia tercekat, mematung, pasalnya kedua tangan, dan kaki tak bisa digerakan, tubuhnya diikat kuat. Mengundang panik, "Apa-apaan ini!"

Ingatan berputar ke hari dimana rumahnya jadi lautan darah, saat menyaksikan mama, papanya sekarat dengan luka mengerikan. "Mereka benar-benar pergi..."

Trauma meluluh lantakan kesadaran, rasa takut menggerogoti jiwa, takdir merenggut kehidupan keluarga harmonisnya begitu keji. Menyesakan dada kala teringat, teramat sakit bagai belati mencabik tanpa ampun. "Aku malah diculik. Harusnya aku ikut dibunuh, penjahat bodoh..."

"Dikira mati, ternyata gila."

Gadis menatap dongkol, membidik tajam anak albino didepannya. "Siapa kau?"

"Karakter fiksi," singkatnya. Dia menelisik tubuh gadis yang terikat disebuah kursi, iseng menodongkan ujung pistol miliknya. "Dari tadi ngomong sendiri. Indigo ya?"

Gadis menggeleng pelan, menatap nanar ujung pistol yang ditempelkan pada dahinya tanpa takut walau percikan trauma perlahan bangkit. Penasaran bagaimana rasa peluru mengoyak kulit, dan menembus tengkorak hingga otak didalamnya meledak membuat manusia mati.

"Beneran gila. Ngga takut?"

Gadis menunduk, memejamkan mata berharap semua ini hanya mimpi. Setelahnya disadarkan pada kenyataan, ia menghela nafas terdengar letih. "Tembak saja. Kirim aku pada orang-orang yang berharga bagiku."

Mencebik, menurunkan pistol, lantas menyembunyikannya disebalik punggung. "Ini mainan tanpa peluru yang dikasih Tojing. Aku tidak segila itu sampai bunuh orang."

"Dilihat-lihat kau seumuran denganku?"

"Mungkin."

"Apa tujuanmu mengikat, dan menahanku disini?"

Albino tampak gelisah, menggaruk tengkuk canggung kemudian membalas. "Tojing yang membawamu. Dia memintaku mengawasi."

"Tojing?"

"Ah aku lupa. Dia pembunuh bertuah yang datang ke rumahmu, dan membereskan musuh-musuh klan." Mendengar julukan kriminal yang gadis itu ingat ia memekik marah, telapak tangan dikepal tanpa sadar. Berbeda dengan sikap albino yang terlampau santai tanpa rasa iba sedikitpun.

"Kau marah?"

Mendengarnya amarah gadis lebih tersulut, terlihat dari wajah yang memanas naik pitam. "MARAHH?! TENTU SAJA! Seluruh keluargaku tewas, dan kau tanya apa aku marah? Siapa yang tidak waras disini? Lebih baik aku mati juga!!! Bunuh aku."

"Kau ngga ada hubungannya sama urusan Tojing, tapi kenapa kau dibiarkan hidup ya?" Albino melipir menuju kursi lain menghadap gadis, kemudian mendudukkan diri. "Kalo seseorang macam-macam dengan Zenin akan langsung dibunuh. Tapi jika dibiarkan hidup, pasti Tojing punya rencana..." lirihnya.

𝐇 𝐄 𝐀 𝐕 𝐄 𝐍.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang