"Ini meja gue!"
"Siapa cepat, harusnya dia yang dapat!"
"Tapi biasanya gue duduk di sini bareng Giselle!"
Lelaki di hadapannya terbahak. "Lo liat di sana." Menunjuk ke arah belakang tubuhnya. "Giselle udah sama Ningning."
Jihoon lelaki itu berdecak kesal. "Ck! gara-gara lo, ya, anjing!"
"Lah, salah lo sendiri kenapa malah milih debat sama gue selama 15 menit di sini?"
Jihoon hendak maju, namun ditahan temannya di samping. Teman Junkyu juga hanya bisa menggelengkan kepala. Masih pagi, namun keributan tidak bisa mereka hindari.
sebenarnya, kejadian seperti ini sudah sering kali terjadi dalam beberapa tahun ke belakang. Lebih tepatnya saat mereka berada di kelas akhir menengah pertama.
padahal mereka dulunya teman yang begitu erat. memang cerita yang klise. berteman bagai perangko, lalu tiba-tiba saja sejauh matahari. Entah kenapa, tidak ada pertengkaran apapun, tiba-tiba saja Jihoon menjauhi Junkyu. Menatap dengan aura permusuhan dengannya.
"Jun, udahlah. Lo ngalah aja," ujar Yoshi. Ia menarik lelaki itu untuk pergi ke meja yang lain. Junkyu menurut begitu saja. Memang setiap kali bertengkar dengan Jihoon, selalunya Junkyu yang mengalah. Hari ini pun begitu.
Sementara itu, teman Jihoon, Sunwoo ia menghela napasnya lelah. "Sehari lo nggak ribut sama si Junkyu, susah apa?"
Jihoon mendelik ke arah Sunwoo. "Lo diem. Gue nggak butuh ceramah."
Sunwoo berdecak sambil menyangga pinggang. "Ngeyel banget kalau dinasehatin. Masih untung dia nggak nonjok lo. Lo tau sendiri, dari kecil dia udah dikhususin orang tuanya masuk taekwondo."
Bukannya mendengar lebih lanjut, Jihoon malah menelungkupkan wajahnya di atas meja. Nampaknya ia memilih tidur daripada mendengar ceramah teman sebangkunya itu.
Namun yang tidak diketahui Jihoon adalah Junkyu yang selalu menatap dalam dirinya. Seperti saat ini. dalam benaknya, pertanyaan tentang Jihoon selalu sama, yaitu apa salahnya sampai Jihoon menganggapnya seperti musuh?
🐨🐶
Waktu semakin berjalan. Pagi berubah menjadi siang. Siang berubah menjadi petang. Dan petang berubah menjadi malam. Pukul 8 malam Jihoon baru saja tiba di rumahnya.
Seorang satpam menghentikannya. "Ada Bapak di dalam, Den."
Jihoon menghela napas. Tidak akan berakhir baik pastinya. Ia sudah bisa menebak apa yang akan ayahnya katakan nanti.
"Dari mana aja kamu sampai pulang selarut ini?"
Baru saja Jihoon menginjakkan kakinya di rumah. belum sempat ia masuk, masih di ambang pintu. Suara sang ayah tak juga membuatnya berhenti.
"Park Jihoon! Ayah lagi bicara!"
"Emangnya ayah pernah kasih Ji kesempatan buat bicara?"
"Jangan kurang ajar kamu!"
Jihoon berdecih. "Kayak yang pernah ngajarin kesopanan aja."
"Park Jihoon!" Suara tamparan begitu menggema rasanya di tengah ruangan yang selalu senyap, seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Sekali mereka bersuara, maka hanya tentang teriakan amarah satu sama lain. "Kamu bolos les sekali lagi. Kamu pikir les, nggak pakai uang?"
"Ji nggak minta."
"Ayah cuma ingin yang terbaik buat kamu. Supaya kamu nggak kayak ibu kamu nantinya!"
"stop salahin ibu! Ayah yang ninggalin ibu, sampai ibu harus pilih pekerjaan yang hina di mata semua orang." Jihoon menghela napasnya yang terasa sesak. "Ji juga nggak bakal bisa jadi kayak Junkyu, yah. Jihoon bukan Junkyu yang bisa banggain ayah sama prestasi akademiknya."
"Oleh karena itu, ayah memberikan kamu les, Park Jihoon. Ayah nggak minta kamu ikut klub taekwondo. ayah cuma minta kamu bisa ambil sedikit teladan Junkyu. Lagi pula apa yang bagus dari klub dance nggak berguna itu? Akan jadi apa kamu nanti?"
Kecewa adalah hal yang lumrah bukan? Kini, apa lumrah juga jika Jihoon dilahirkan dan tinggal bersama ayahnya yang mencintai segala kesempurnaan? "Ayah nggak akan ngerti."
Jihoon kembali melangkah keluar dari rumah. memang benar firasatnya tadi, bahwa ia tidak seharusnya pulang. sebab pulangnya tidak akan pernah bersambut baik.
Tujuan Jihoon selanjutnya adalah tempat di mana ia bisa mengekspresikan dirinya. klub dance.
dulu, ibunya hanya pekerja minimarket. orang tuanya bertemu karena kecelakaan semalam. sudah, Jihoon sudah banyak mendengar julukan tidak mengenakkan untuknya sedari kecil. apakah ayahnya ada di samping mereka? jawabannya adalah tidak.
lelaki itu mendatangi mereka ketika Jihoon berumur sembilan tahun. entah ke mana saja orang itu selama sembilan tahun hingga baru bisa menemui mereka dan merenggut kisah bahagia Jihoon serta ibunya.
jihoon tidak bisa lupa, bagaimana dulu ibunya berusaha untuk menemuinya. namun selalu dihalang-halangi. mereka bahkan pindah kota untuk menghindari ibunya. Kehidupan seorang Park Jihoon yang berumur sembilan tahun sangatlah birik baginya.
Hingga kemudian, Kim Junkyu dan Kim Sonwoo datang padanya. Jihoon jadi punya teman baru. Mereka selalu bermain bersama, belajar bersama juga. Memang sedari dulu, Junkyu termasuk orang yang pintar. urutan kedua adalah sunwoo dan yang terakhir bisa ditebak, Park Jihoon jawabannya.
suara decit sepatu dengan lantai ruangan dance menjadi saksi bagaimana ganasnya Jihoon ketika melampiaskan kepedihannya. Dance, bukan hanya sebuah klub biasa baginya. Ia bisa membuang perasaan gundahnya ketika ia lelah melakukan tarian.
terbukti saat ini Jihoon yang berakhir ngos-ngosan. terlentang di lantai yang dingin namun menyejukkan badannya yang berkeringat. hingga sebuah sengatan dingin di pipi membuatnya menoleh. "Kok lo di sini?"
"Gue lagi nunggu Yoshi, dia lagi di ruang sebelah sama pelatihnya." Tiba-tiba saja Jihoon berdiri dan mengambil jaketnya. melupakan botol minum berisi soda dingin yang ia berikan. "Lo mau ke mana?"
"Ke mana aja, asal bukan sama lo."
Ketika hendak membuka pintu, entah mengapa tidak bisa dibuka. dengan sekuat tenaga pun tidak mau terbuka. lalu Jihoon melirik Junkyu. lelaki itu balas menatapnya sembari tersenyum. "Nggak bisa dibuka, ya?"
"Lo kunci ya, anjing?" Junkyu tak menjawab. ia malah berjalan menuju Jihoon. "Jawab bangsat! Lo kemanain kuncinya?" Masih sama. Junkyu semakin mendekat. "Ngapain lo deket-deket, bangsat? jauh-jauh lo!"
Junkyu menatap Jihoon dengan datar. Semakin ia maju, maka Jihoon semakin terpojok. Ia mendukung tubuh yang lebih kecil darinya.
"M-mundur!"
Tanpa Jihoon duga, Junkyu menarik wajahnya hingga bibir keduanya bertemu. Pejaman mata dari Junkyu berbanding terbalik dengan mata yang membola dari Jihoon. Masih dengan rasa terkejutnya. Jihoon dapat merasakan lumatan-lumatan yang diberikan lelaki kurang ajar di depannya.
Namun, entah kemana tenaganya untuk melawan. Kenapa ia malah seolah menerima hal ini?
"Lo banyak omong," ujar Junkyu ketika menjauh dari Jihoon.
Serangan tiba-tiba dibuat Jihoon. Tetapi tentu saja Junkyu lebih sigap. Ia menahan kepalan tangan di atas kepala Jihoon sendiri.
"Gue cuma mau berdamai sama lo. Meski gue nggak tau masalahnya di mana."
"Lo nggak akan ngerti meski gue jelasin. Jadi lepasin gue!"
Junkyu menyeringai. "Kalau gue nggak mau?"
🐨🐶
Cung, siapa yang mau kyuhoon? Aku buat berpart, nggak sekaligus abis. Keknya bakal panjang juga. Maybe 3-5 part? See youu.
KAMU SEDANG MEMBACA
lover
Fanfictionbeberapa shoot tentang pership-an uri trejo. hope you like this. ofc, ini bxb hati-hati, crackpair rated open request. jangan lupa pencet bintangnya <3