"Akhirnya bisa pulang. Adek seneng gak?"
Dirga masih dalam mode diam dan tidak menggubris komentar - komentar yang dilontarkan Jovan sedikitpun. Ia masih seperti saat mereka terakhir kali bertengkar. Diam dan menatap kosong ke arah jendela. Meski abangnya itu menyuapinya, membantunya dalam segala hal, ia tetap hanya diam. Tidak ada yang tahu apa yang ada dalam pikirannya.Jovan sendiri sudah mulai dapat mengendalikan dirinya dan berfikir dengan jernih. Ia mulai kembali memberikan senyum terbaiknya. Meski Dirga tidak menanggapinya, ia tetap berbicara dan bercanda seperti biasa. Terus melontarkan tanya apakah adiknya menginginkan sesuatu atau merasa tidak nyaman. Ia juga masih terus berujar maaf sambil sesekali mengecup kepala adiknya di setiap kesempatan.
Ia tidak akan menyerah. Tidak apa Dirga tidak memaafkannya saat ini, membencinya pun tak apa. Selama Dirga berada di sisinya, itu sudah cukup. Jovan tidak berani meminta lebih dari itu setelah apa yang terjadi. Bahkan ia masih bingung bagaimana cara menebus kesalahannya sampai saat ini.
"Semua barangnya udah beres. Sebentar abang siapkan kursi rodanya," ucap Jovan sambil berjalan ke sudut ruangan kamar rawat untuk mengambil kursi roda Dirga.
Tanpa sepengetahuan Jovan, diam diam Dirga mengalihkan pandangannya ke arah abangnya. Ia mengamati setiap gerak gerik satu satunya saudara sedarahnya itu. Dalam hati ia merasa bersalah dan tidak tahu diri. Padahal dirinya yang merepotkan, kenapa dirinya yang marah dan merajuk seperti ini.
Padahal ucapan abangnya tidak sepenuhnya salah. Memang hanya pada Kak Amira dirinya dapat bersandar. Pada orang tua mereka yang tidak bertanggung jawab itu jelas tidak mungkin. Pada dirinya yang tidak berguna ini lebih mustahil.
Tapi hati Dirga sudah terlanjur sakit. Jadi ia ingin sedikit meluapkan apa yang sedang ia rasakanz
Jika keberadaannya sangat tidak berguna dan sangat tidak diinginkan. Ia bingung kenapa ia masih dibiarkan tetap hidup. Jelas jika ia sudah tidak ada, kehidupan semua orang akan menjadi lebih baik. Semakin lama ia hidup juga hanya akan semakin merepotkan.
Abangnya akan bisa bebas dan tidak repot jika ia sudah tiada. Orangtuanya juga tidak harus memiliki beban moral dan dapat fokus dengan keluarga baru merrka. Sekar dan Yudha? Mereka lebih tidak terpengaruh jika ia ada dan tiada. Semuanya akan berjalan baik baik saja.
"Kalau masih pusing atau sesak bilang ya," ucapan Jovan membuyarkan lamunan Dirga. "Maaf abang belum bisa beli alat yang untuk bantu kamu batuk. Nanti abang dulu yang bantu, gakpapa kan?"
Dirga menatap wajah Jovan yang sedang berbicara dengannya. Wajah itu tampak lelah sekali. Mata yang tampak bengkak dengan kantung mata yang menghitam. Rasanya semakin bersalah.
"Bang,"
Jovan yng sudah bersiap akan menggendong Dirga dari ranjang rumah sakit ke kursi roda sedikit tersentak, "Eh? Ya? Kenapa dek?" Ia sampai gagap sendiri. Senyum lebar langsung terukir di wajahnya mendengar suara adiknya yang sudah lama tidak ia dengar.
"Kenapa dek? Adek butuh sesuatu?" tanyanya sekali lagi sambil menangkup wajah tirus itu saat Dirga tidak melanjutkan kalimatnya.
"Pulangnya sekalian beli nasi goreng ya?"
"Siap!" Jovan mengangguk semangat dengan mata berkaca kaca. Dirga sudah mau bicara dengannya. Secara tidak langsung ia sudah mendapat lampu hijau dari adiknya. Ia tidak akan mengecewakan kesempatan yang sudah diberikan adiknya ini.
Dirga tersenyum tipis melihat bagaimana Jovan bereaksi atas permintaannya. Ternyata ia memang sudah menyakiti abangnya. Semoga saja tidak terlambat untuk memperbaiki semuanya kembali.
Sungguh, Dirga masih ingin hidup.
Dan ia tidak bisa kalau tidak dengan Jovan.
&&&

KAMU SEDANG MEMBACA
Two Sides of Coin
General Fiction"Head or Tail?" "Kalau maunya kamu gimana?" Update tanpa jadwal.