Head 8

513 74 16
                                    

Jovan sedang sibuk memeras handuk kecil dan meletakkannya ke kening adiknya. Dapat ia lihat rona merah di kedua pipi Dirga karena suhu tubuhnya yang meninggi. Giginya juga terdengar begemerutuk karena menggigil kedinginan.

Adiknya memang sudah demam sejak kemarin, tapi demamnya tidak terlalu tinggi dan ia mengira adiknya akan segera sembuh. Karena itu juga ia mengizinkan adiknya tetap berangkat ke sekolah.

Tapi ternyata saat ia menjemputnya pulang tadi, suhunya sudah semakin tinggi. Adiknya juga terus memuntahakan isi perutnya hingga kosong dan menjadi sangat lemas. Napasnya juga terdengar berat. Beberapa kali adiknya berusaha batuk untuk mengeluarkan dahaknya, tapi batuk yang dihasilkan lemah sekali. Jovan khawatir bukan main saat ini, untungnya ia mendapat izin untuk tidak kembali ke kantor.

"Bang... muntah..."

Dengan cekatan, Jovan langsung memosisikan adiknya agar duduk bersandar di dadanya. Ia meraih handuk yang tadi disiapkannya sebagai penampung muntahan. Muntahan yang keluar nyaris tidak ada isinya, hanya berupa cairan yang disertai aroma asam yang menusuk.  Ketika muntahannya berhenti, Jovan dengan telaten membersihkan mulut dan dagu adiknya menggunakan kain yang sudah disiapkannya sebelumnya. 

Dirga hanya bisa bersandar pasrah pada dada abangnya dengan napas yang berat. Kondisinya yang sudah lemah akibat ALS membuat demam seperti ini menjadikan dirinya semakin tidak berdaya. 

"Coba dibawa tidur," ucap Jovan sambil mengelus dada adiknya yang masih dalam dekapannya. Ia sengaja masih dalam posisi ini karena khawatir Dirga akan tersedak jika terlalu cepat berbaring.

Sedangkan Dirga yang berada di dekapan abangnya sibuk dengan pikirannya sendiri dan sulit untuk tidur seperti titah abangnya. Isi pikirannya selama dua hari ini masih sama. Study tour sekolahnya.

Untuk urusan tanda tangan orangtuanya sudah ia selesaikan dengan menirunya dan menyerahkannya tadi di sekolah, lagipula gurunya tidak pernah melihat tanda tangan orangtuanya. Meski begitu, Dirga sudah berusaha terlebih dahulu sebelum meniru tanda tangan itu. Ia menghubungi kedua orangtuanya dan berakhir sia-sia seperti dugaannya. Ayahnya berkata sibuk, sedangkan Bundanya bahkan tidak mendengarkan sampai selesai dan mengirimkan sejumlah uang saja sebagai solusi.

Untuk masalah orang yang mendampinginya, sejauh ini ia juga masih berbohong kepada gurunya dan mengatakan abangnya lah yang akan mendampingi nanti. Meski sebenarnya Dirga belum menyampaikan soal syarat yang diajukan oleh gurunya kepada Jovan agar ia tetap dapat ikut. Mungkin besok akan ia sampaikan, mentalnya belum siap.

"Belum tidur juga dek?" tanya Jovan yang menyadari adiknya masih membuka matanya yang merah dan sayu. "Ada yang pegel? Mau abang pijet? Atau apa yang gaenak?"

Dirga hanya menggeleng dan berusaha menggeser tubuhnya dari dekapan abangnya. Melihat itu Jovan membantu adiknya kembali berbaring dan membenarkan letak selimut tebal yang membungkus tubuh adiknya.

"Kalau demamnya masih gak turun, kita ke rumah sakit ya?" ucap Jovan yang sekali lagi mengecek suhu tubuh adiknya dengan termometer, masih sama, 39 derajat.

"Gak usah... sehat bentar lagi..."

"Iya sehat kok ini, kan mau study tour,"

&&&

"Iya sayanggg,"

Dirga tidak tahu sekarang ia merasa mual karena sakit atau karena mendengar abangnya yang sedang bucin dengan calon istrinya itu. Berulang kali ia mendengar Jovan mengucapkan kata sayang dan rayuan lainnya.

Ia terbangun dengan tenggorokan yang terasa kering dan sakit. Dadanya juga terasa penuh dan tidak enak. Niat hati ingin meminta air hangat pada abangnya, tapi sepertinya ia akan membiarkan mereka menyelesaikan percakapan mereka terlebih dahulu.

Two Sides of CoinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang