Head 11 (2)

310 62 6
                                    

Restoran yang telah dipesan itu penuh dengan suara tawa dan obrolan para siswa. Mereka semua duduk di dua meja panjang sambil menikmati dengan lahap makan siang mereka yang telah terhidang. Piring-piring berisi ayam goreng, ikan bakar, dan sayur memenuhi meja. Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring menambah riuh suasana. 

Tapi dibalik semua kericuhan itu, di ujung meja, seorang siswa laki-laki tampak memiliki suasana hati yang sedikit berbeda dari yang lain. Dirga duduk di sana dengan piring kosong di depannya. Matanya sesekali melirik ke arah piring teman-temannya, tapi tangannya tetap diam di pangkuan. Ia tidak ikut mengambil makanan seperti yang lain. Bukan karena tidak lapar, tapi karena ia tahu, makan saat ini akan lebih merepotkan daripada menyenangkan. 

Dirga menghela napas pelan. Tangannya yang semakin lemah belakangan ini membuatnya sulit mengangkat sendok dan garpu dengan baik, apalagi untuk memotong lauk yang keras seperti ayam goreng atau ikan bakar yang penuh duri. Jika sampai makanannya jatuh karena tangannya gemetar, ia takut menarik perhatian orang lain. Belum lagi masalah menelan, ada kalanya tenggorokannya berulah dan ia bisa tersedak hanya karena potongan yang terlalu besar atau keras. 

"Lo nggak makan?" 

Suara Yudha membuyarkan lamunannya. Dirga menoleh dan tersenyum tipis. "Nanti aja kalau udah balik," Dirga tidak perlu memberikan penjelasan terlalu banyak. Ia yakin Yudha sudah paham isi pikirannya.

Yudha menoleh ke arah meja lain, meja yang tidak terlalu jauh dari mereka. "Bang Jovan aja makan tuh." 

Dirga mengikuti arah pandangan Yudha dan melihat Jovan duduk di seberang ruangan, bersama para guru dan staf sekolah. Kakaknya itu terlihat santai menikmati makanannya, tidak terlalu banyak berbicara dengan orang sekitarnya. 

"Kalau nggak nyaman, gue temenin di meja lain. Atau mau gabung sama Bang Jovan?" tawar Yudha. 

Dirga menggeleng pelan. "Lo lanjut makan aja, gue aja yang ke Bang Jo." 

Yudha menatapnya beberapa detik sebelum menghela napas. Akhirnya, ia hanya mengangguk dan kembali ke makanannya. Jika sudah seperti ini, temannya cukup keras kepala.

Dirga tersenyum tipis sebelum menggerakkan tuas kursinya perlahan meninggalkan meja panjang itu. Ia melewati beberapa siswa yang asyik mengobrol dan beberapa meliriknya yng bergerak menjauh menuju meja di mana Jovan duduk. 

Jovan baru saja meletakkan gelasnya ketika adiknya tiba di sisinya. Tanpa berkata apa-apa, Dirga berusaha mengambil tempat di sebelahnya. Jovan menoleh sebentar, lalu menggeser kursi agar Dirga bisa lebih dekat ke meja. 

"Kok nggak makan sama yang lain?"

Dirga tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan ponselnya dan mulai memainkannya, seakan tidak mendengar pertanyaan abangnya.

Jovan melirik piring kosong di tempat adiknya duduk sebelumnya. Ia juga memperhatikan menu-menu yang tersedia. Ia merasa sangat bodoh tidak memastikan hal ini sedari tadi. Padahal ia seharusnya memastikan adiknya makan dulu baru dirinya bisa makan.

"Mau abang suapin?" tawar Jovan sambil menurunkan ponsel yang sedang dimainkan Dirga. Hal itu berhasil membuat adiknya langsung menoleh dengan wajah yang sedikit kesal.

"Nggak usah. Nanti aja kalau udah pulang," jawab Dirga cepat. 

Jovan terdiam sambil memikirkan cara untuk memaksa namun tidak membuat adiknya kesal. Bagaimanapun Dirga harus makan. Tadi sebelum berangkat ia hanya sarapan sedikit, sedari tadi juga tidak makan snack atau sejenisnya.

Saat Jovan masih sibuk dengan pikirannya, Yudha tiba tiba datang dan menarik kursi di seberang mereka. "Belum ada makan dari tadi dia Bang," adunya, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Dirga. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Two Sides of CoinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang