Siang itu, Jean duduk bersandar di tempat tidurnya, wajahnya tampak kusut dan enggan. Di tangannya, ia memeluk selimut erat-erat, seolah-olah berharap selimut itu bisa melindunginya dari ancaman di hadapannya, yakni segelas minuman herbal berwarna cokelat tua yang digenggam oleh mamanya. Sebelumnya, ia terlihat asyik bermain dengan pop it elektriknya, tetapi sekarang semua itu terlupakan. Rasa malas dan batuk yang terus mengganggu membuatnya menolak untuk tidur siang, meski Joy, yang duduk di sebelahnya, memperhatikannya dengan cermat. Ekspresi Joy tegas tapi penuh perhatian, siap membujuk adiknya agar menuruti anjuran itu.
Minuman yang dipegang mamanya adalah ramuan herbal tradisional yang dikenal ampuh untuk meredakan batuk. Cairannya sedikit pekat dengan aroma khas yang kuat dan sedikit pahit, perpaduan rasa yang membuat kebanyakan anak-anak langsung menolak saat disodorkan. Ramuan ini terbuat dari campuran bahan-bahan alami seperti jahe, daun mint, madu, dan ekstrak kayu manis. Jahe menambah kehangatan di tenggorokan dan membantu melegakan pernapasan, daun mint memberi sensasi menyegarkan sekaligus membuka saluran hidung, madu melembapkan tenggorokan yang iritasi dan sedikit menutupi rasa pahit, sementara kayu manis menambah aroma wangi dengan sedikit rasa pedas yang membuat ramuan ini terasa hangat di tenggorokan.
Namun, meski minuman itu terkenal berkhasiat, rasanya tetap tak disukai anak-anak dan, ironisnya, juga oleh Jean yang kini sudah remaja. Meski umurnya sudah melewati usia anak-anak, sifatnya yang kekanakan sering kali membuat mamanya dan Joy kewalahan. Di usianya sekarang, Jean seharusnya bisa lebih berani menghadapi rasa pahit, tapi dia tetap bersikap seolah-olah minuman itu adalah musuh terbesarnya.
Joy dan mamanya hanya bisa menghela napas melihat tingkah Jean. Meski sudah bukan anak kecil lagi, sikap Jean yang penuh drama dan enggan terhadap minuman pahit itu tak kunjung berubah. Wajahnya berkerut, bibirnya merengut, dan ia mulai mencari alasan untuk menolak, melirik gelas itu dengan pandangan was-was, seakan minuman itu adalah ramuan yang berbahaya.
"Jean, ayo minum ini, sayang. Biar batuknya cepat reda dan napas kamu bisa lebih lega," kata Tisya, suaranya penuh kehangatan. Dengan hati-hati, ia mengarahkan sendok kecil berisi minuman itu ke arah bibir Jean.
Jean hanya memalingkan wajahnya sambil mengerutkan hidung. "Nggak mau, Ma. Baunya aja udah nggak enak, apalagi rasanya..." gumamnya pelan, namun nadanya terdengar keras kepala.
Joy, yang sedari tadi menyaksikan interaksi antara adik dan mamanya, menghela napas kecil lalu ikut membujuk. "Ayo dong, Jean. Kamu harus minum ini. Biar cepet sembuh, nanti napasnya juga lebih enak. Mau sampai kapan kamu batuk terus?" ucap Joy, nada suaranya sedikit mendesak, namun penuh kasih.
Namun, Jean tetap bergeming. Setiap kali sendok itu mendekat ke mulutnya, ia justru menutup mulutnya rapat-rapat, bahkan menggerakkan kepalanya menjauh untuk menghindari suapan itu. Sesekali, ia melirik gelas yang dipegang Tisya dengan tatapan penuh ketidakpercayaan, seolah-olah benda itu adalah sesuatu yang berbahaya. Baginya, minuman itu lebih menyerupai racun daripada ramuan penyembuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Emas || TRIPLE J [JOY × JENO × JAKE] Versi BARU
Fiksi RemajaDILARANG PLAGIAT!!! ❌ Gue Jean. Banyak yang bilang, jadi anak tengah itu sering kali nggak diperhatiin. Fokus orang tua biasanya cuma ke anak sulung yang diharapkan bisa jadi contoh, atau si bungsu yang butuh banyak perhatian. Tapi, di keluarga gue...