Percayalah!

1.2K 63 27
                                    

Ferdin melangkahkan kakinya ke dalam kelas. Keputusannya untuk menembak Regin di acara jumpa pers nanti semakin kuat. Ia benar- ingin tau bagaimana reaksi Estell saat melihatnya nanti.

Benaknya berkata bahwa gadis itu berbohong. Ia yakin kalau Estell masih menyukainya. Tidak mungkin dengan gampangnya gadis itu melupakan dirinya.
Karena ia juga pernah merasakan bagaimana rasanya menyukai seseorang. Jelas itu sangatlah sulit untuk melupakan orang itu.

Sesampainya di kelas, mata Ferdin tertuju pada bangku yang dulu pernah ia tempati. Di mana saat dia masih membenci gadis itu.

Ferdin jadi tersenyun sendiri, andai waktu bisa diulang, ia tidak akan pernah bersikap tidak baik pada gadis itu kalau tau akhirnya akan menyukai dirinya.

Beberapa detik kemudian, pintu kelas pun kembali terbuka. Menampakkan seorang Estell dengan gaya khasnya yang selalu tersenyum, namun senyum itu memudar begitu melihat Ferdin juga di dalam kelas.

Mencoba memaksa tersenyum lagi, Estell kembali melanjutkan melangkah. Selain itu ia juga mencoba menyapa Ferdin. Meski sudah menolak perasaannya, ia tetap ingin menjadi teman atau pun sahabat bagi cowok itu. Namun, baru saja ia membuka mulutnya, kaki Ferdin kembali melangkah ke bangku Doni.

Tanpa memperdulikan Estell, Ferdin langsung keluar kelas usai ia menaruh tasnya. Ada rasa nyeri pada hati Estell akan tindakan Ferdin. Tapi apa yang bisa ia perbuat? Ia sudah terlanjur membuat hati cowok itu sakit. Jadi, pantaslah untuk dia diperlakukan seperti itu.

Melihat tubuh Ferdin yang sudah terhalang oleh pintu kelas, Estell memutuskan untuk duduk. Biasanya ia juga keluar kelas. Tepatnya ke kantin untuk membeli sarapan. Tetapi melihat Ferdin yang pergi keluar, ia lebih memilih tetap di dalam. Menunggu Erkilla dan Doni yang belum juga datang.

Dalam diamnya menunggu, Estell mengeluarkan buku kimianya. Mengecek kembali tugas yang diberikan. Ia jadi teringat oleh Ferdin, biasanya pagi-pagi begini cowok itu selalu datang lebih awal untuk menyalin tugasnya, tetapi kali ini tidak.

Lamanya hampir sepuluh menit menunggu, Erkilla dan Doni pun datang secara bersamaan. Mereka langsung menyapa Estell dengan riangnya.

"Eh Tell, ke kantin gak?" tanya Erkilla usai menaruh tasnya.

Dengan berat hati Estell pun menggelengkan kepalanya. Doni yang sudah paham kebiasaan Estell yang selalu mau jika diajak ke kantin pagi-pagi, langsung mengerutkan kening.

"Tumben. Kenapa lu?" tanyanya heran.

Menggelengkan kembali sejenak kepalanya, Estell pun menjawab, "gapapa. Lagi males keluar. Makanya gue mau nitip aja."

"Dih.. lo mah Tell, apa sih yang kaga males???" gerutu Doni, secara spontan Estell pun menyahut, "mikirin Ferdin."

Erkilla dan Doni hanya menggeleng kepala. Mereka lantas kembali duduk, "kalo elo masih kepikiran dia terus, kenapa lo ngomong laya gitu ke dia?" tanya Erkilla lembut.

Estell hanya bisa menahan nafas. Ia melempar pandangannya sejenak, "karena gue nggak mau nyakitin sahabat gue." jawabnya pelan.

"Siapa? Regin?" tanya balik Erkilla yang langsung diangguki kepala oleh Estell.

"Ya ampun Tell.. ini namanya lo tuh nyakitin diri lo sendiri. Sok berlaga merelakan tapi sebenarnya kaga bisa." ujar Erkilla mulai sedikit kesal.

"Bener tuh Tell kata si Killa.. lagian juga nih ya, elp tuh juga nyakitin Ferdin dan Regin tau gak?" seru Doni dengan nada pelannya.

Estell mengerutkan keningnya. Kenapa Regin mesti tersakiti? Toh Estell kan melakukan ini semua demi Regin?

"Ya! Lo sama aja nyakitin mereka Tell. Pertama si Ferdin, lo nyakitin dia karena dia itu suka sama lo. Tapi malah lo paksa buat suka sama cewek lain." jelas Doni menarik nafas sebentar.

Actor in My SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang