6. Flashback

83 13 0
                                    

•••

Di sebuah ruangan besar dengan dinding-dinding dingin berwarna abu-abu, Nael yang berusia dua tahun sedang duduk di atas lantai marmer, dikelilingi mainan edukatif yang tidak menarik perhatiannya sama sekali. Tuntutan untuk menjadi sempurna sudah terasa sejak ia mulai bisa berjalan. Setiap langkahnya diawasi dengan tatapan dingin yang tidak pernah puas. Ibu dan ayahnya, selalu menuntut lebih.

"Nael, jangan malas. Mainan ini bukan untuk sekadar dilihat," suara ibunya terdengar tegas, tanpa nada kelembutan yang biasanya diberikan orang tua pada anak seusianya.

Nael menatap ibunya tanpa ekspresi, mencoba meraih mainan dengan ragu. Meski belum sepenuhnya paham, dia tahu bahwa dia harus menuruti perintah itu. Sempurna. Itulah yang diharapkan dari dirinya sejak dini. Tidak ada tawa riang, tidak ada pelukan hangat. Hanya latihan dan latihan.

•••

Saat usianya menginjak empat tahun, rutinitasnya semakin ketat. Nael bangun sebelum matahari terbit, mengikuti pelajaran privat yang sudah disusun dengan disiplin militer. Pagi itu, Nael sedang duduk di depan gurunya, mencoba mengingat kalimat-kalimat panjang dalam bahasa asing.

"Sekarang ulangi apa yang saya katakan," perintah sang guru, nadanya kaku.

Nael menggigit bibir, menahan napas sejenak sebelum mulai berbicara. Dia mengulang kalimat itu dengan fasih, tapi satu kata salah.

"Itu salah! Ulangi lagi!" bentak gurunya, tanpa memberi Nael kesempatan untuk bertanya.

Nael mengulangi kata-kata itu, kali ini dengan benar. Tapi wajahnya tetap datar. Tidak ada ucapan 'bagus' atau 'baik sekali', hanya diam dan terus berlatih tanpa henti. Setiap harinya, Nael belajar banyak hal. Matematika, seni bela diri dan banyak pelajaran lainnya. Semua yang seharusnya masih jauh dari bayangan anak-anak. Dia berjuang memahami semuanya, walau terkadang lelah, dia tak pernah menunjukkan kelemahan.

•••

Saat Nael berumur enam tahun, segalanya berubah dengan datangnya seorang anak angkat. Adik angkatnya selalu terlihat sempurna di mata semua orang, menawan, dan menarik perhatian keluarga.

Nael hanya bisa memandang dari kejauhan ketika adik angkatnya mendapat pujian yang seharusnya bisa dia rasakan juga.

"Lihat, Nael. Adikmu bisa melakukan ini dengan baik. Kamu seharusnya lebih giat lagi," ujar ayahnya saat adik angkatnya berhasil melakukan sesuatu yang sederhana. Nael hanya menatap tanpa kata. Ucapan itu seperti sudah biasa ia dengar, namun tetap meninggalkan rasa perih di hatinya.

•••

Ketidakadilan itu semakin terasa. Setiap kali ada masalah, Nael selalu menjadi kambing hitam.

"Abang Nael yang salah, dia yang memecahkan vas itu!" teriak adik angkatnya dengan suara memelas, seolah-olah dirinya yang terluka. Nael hanya diam, tidak membela diri. Sudah tahu percuma.

Nael mulai merasakan betapa beratnya hidup dalam bayang-bayang adik angkatnya. Setiap kali ada masalah, Nael selalu disalahkan, seakan-akan semua kesalahan hanya miliknya.

Nael bahkan belum belajar hal-hal lain yang lebih serius, seperti menggunakan benda tajam atau senjata, meskipun ayahnya sudah menyinggung hal itu berkali-kali.

•••

Di umurnya yang baru 7 tahun, Nael sudah dihadapkan dengan tumpukan berkas-berkas bisnis.

Suatu hari, di ruang belajar yang gelap dengan cahaya matahari yang redup, Nael dipanggil oleh ayahnya. Di meja besar, ada setumpuk berkas perusahaan yang tampak rumit. Nael berdiri di sisi meja, menatap dengan bingung.

ALTRUIST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang