#27 : Kita dan Waktu

5 3 0
                                    

"Ternyata, semua hanya tentang waktu. Di saat segalanya tepat, tidak ada yang tidak mungkin,"

-Rayna-

Di sudut kafe yang hampir tak pernah berubah sejak bertahun-tahun lalu, Bryan duduk sambil menggoyang-goyangkan cangkir kopinya yang sudah kosong setengah. Matanya sesekali melirik pintu masuk, menunggu seseorang yang sudah lama tak ditemuinya. Bunyi lonceng yang menggantung di atas pintu masuk akhirnya terdengar, dan seorang wanita dengan blouse abu-abu masuk. Itu Rayna.

“Bryan!” sapanya sambil berjalan mendekat. Ada senyum tipis di wajahnya, namun lelah jelas terpancar.

“Rayna… lama ya, nggak ketemu di sini lagi,” sahut Bryan, bangkit dari kursi, lalu menarik kursi di depannya. Rayna duduk dan tersenyum kecil, menatap kopi di hadapannya.

“Iya, nostalgia banget, ya, tempat ini nggak banyak berubah.” Rayna menghela napas panjang, menatap meja yang penuh dengan coretan-coretan kenangan dari para pengunjung.

Setelah hening beberapa saat, Rayna akhirnya membuka percakapan yang terasa berat di dadanya. “Gue… mau cerita. Tentang Julian.”

Bryan terdiam sejenak, hanya menatapnya. "Cerita aja, Ray."

Rayna menggigit bibirnya, lalu menarik napas panjang. “Julian… dia nggak sebaik yang gue kira. Awalnya, gue pikir dia cuma ambisius, tapi ternyata dia udah keterlaluan. Dia manipulatif banget!  Bahkan nggak ragu buat nginjek orang-orang yang dianggapnya penghalang. Termasuk lo.”

Bryan hanya menghela napasnya. Meski ia sudah tahu, mendengar ini langsung dari Rayna membuatnya terasa lebih nyata. “Dia memang pernah ngancem gue, tapi gue nggak bilang apa-apa ke lo.”

Rayna tertegun. “Ngancem lo? Kenapa nggak cerita, sih?”

Bryan menatap matanya dengan ekspresi campuran rasa bersalah dan takut. “Karena… gue pikir, mungkin itu cuma masalah kecil, dan gue nggak mau lo khawatir. Tapi ternyata, makin lama, makin parah.”

Rayna mengangguk, seakan mencerna semua yang baru saja dikatakan Bryan. “Lo nggak cerita, gue nggak tahu. Gue malah terjebak lebih dalam di skemanya. Apa lagi ditambah tuntutan dari keluarga gue.”

Bryan tersenyum pahit. “Gue juga salah. Gue harusnya cerita, harusnya gue nggak biarin lo terjebak sama orang toxic kayak dia.”

Rayna meremas tangannya sendiri. “Setiap kali gue mikirin ini, gue nggak ngerti. Kok gue bisa sebodoh itu mau dijodohin sama dia?”

Bryan menggenggam tangan Rayna, mencoba menenangkan. “Nggak ada yang salah sama lo, Ray. Orang kayak Julian tuh pandai bikin orang percaya. Dia bisa manipulasi keadaan, bikin kita merasa salah atau malah berpikir kalau kita yang nggak cukup paham."

Rayna menatapnya, dan air matanya hampir saja jatuh. “Tapi gue kehilangan banyak waktu. Kehilangan lo… kehilangan kepercayaan gue sendiri.”

Bryan menghela napas, menundukkan kepala. “Gue juga, Ray. Ada banyak yang kita nggak bisa balikkin lagi. Tapi yang bisa kita lakuin sekarang, ya, mungkin ngikhlasin.”

“Lo bisa ngikhlasin semua yang dia lakuin ke lo?” tanya Rayna, matanya merah dan penuh rasa penasaran. Di hatinya, ia masih bergelut dengan perasaan tak terima terhadap semua yang Julian lakukan.

Can I Be Yours? [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang