Jika sedang jatuh cinta, tidak ada sesiapa pun yang bisa menuntun. Benaknya sibuk menciptakan berbagai rancangan bahagia, tanpa sudi menyelipkan kata kecewa, padahal kata itu harus sekali diikutsertakan dalam tiap juang bernama cinta.
---
Pagi yang sempurna untuk Airin kembali melanjutkan kegiatan rutin yang ia lakukan setiap harinya. Senang sekali menuliskan banyak hal yang akan dan ingin ia capai dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek. Mencatat setiap kesyukuran yang ia dapat sepanjang hari kemarin. Begitu juga dengan kesusahan dan kemudahan di tiap hari. Airin senang journaling.
Seharusnya begitu.
Akan tetapi, hal yang sebenarnya ia lakukan pagi ini adalah memandangi layar ponsel tanpa henti. Tersenyum bahagia seolah tidak mengenali istilah luka dan air mata. Bertingkah seakan ekspresi itu akan selalu ia tampilkan di wajah manis miliknya.
"Kiyowo banget, Bang Rafan. Ah, jadi gini rasanya punya cowok. Wajar aja temen-temen aku pada punya pacar. Seru!" teriak Airin yang jelas saja terdengar di seluruh penjuru rumah. Mama Ema sampai harus menutup telinga saat mendengar suara melengking milik putri sulungnya.
"Airin, berhenti, gak, teriaknya! Kuping Mama sakit dengerinnya, astaga. Punya anak gadis ini amat," balas Mama Ema tidak kalah nyaringnya.
Terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa beradu dengan lantai marmer rumah satu lantai itu. "Ma, akhirnya anak gadis Mama yang cantik membahana ini punya pacar. Astaga, ternyata butuh lima semester di jurusan tercinta ini buat dapat cowok." Suara Airin terdengar bersemangat. Matanya berbinar dengan senyum lebar yang sedari tadi menghiasi wajahnya.
Ponsel yang sedari tadi ada di genggaman, kini ia perlihatkan ke arah Mama Ema. Sesuai dugaan, bukannya peduli, Mama Ema malah memukul kepala Airin pelan dengan centong nasi yang berada di tangan kanannya.
"Berisik, Anak Gadis, berisik. Pagi itu waktunya bebersih, cuci muka, gosok gigi, bukan nge-halu begitu," celetuk Mama Ema tanpa memedulikan Airin yang sedang mengusap kepalanya akibat terkena pukulan centong nasi.
"Ye, kocak. Orang beneran, malah dibilang nge-halu. Mama gak tahu aja kalau sebenarnya, selama ini aura kecantikanku itu masih kesimpan, belum keluar secara paripurna. Nah, sekarang lihat, kan? Akhirnya aura itu perlahan tersingkap. Ah, aku jadi semakin penasaran ada berapa banyak cowok di luar sana yang akan kepincut sama aura kecantikan sang bidadari," ucap Airin sambil bersedekap dada dengan bibir naik sebelah, seolah sedang memainkan sebuah peran di layar kaca.
"Ah elah, paling bentar lagi juga di-ghosting."
Nah, kalau sudah respon sadis begitu, pasti pelakunya adalah si bungsu. Nadin Aurora Mikasa. Pemilik berjuta kosa kata judes sepanjang masa.
"Hey, sopankah begitu kepada calon istri abang iparmu?" cetus Airin kepada sang adik yang baru saja selesai mandi.
"Kak?"
Panggilan bersuara rendah ia dapati. Kali ini bukan dari si bungsu yang kini sudah menyantap hidangan yang tersedia di meja makan, tetapi suara itu berasal dari putra satu-satunya keluarga, yaitu Kafka Aditya Mikasa. Si paling santai karena baru lulus SMA.
"Ada apa, Adikku?" tanya Airin sambil mengedipkan mata centil. Nadin yang tidak sengaja melihat ke arah Airin langsung menggulung matanya.
"Gws."
Singkat, padat, gws, alias get well soon.
"Ah, gak seru. Harusnya kalian, tuh, bangga akhirnya Kakak kalian gak jomblo lagi," ucap Airin di tengah ruangan, seolah sedang memberi ceramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Tanpa Suara
RomanceDi tengah kesibukan sebagai mahasiswa semester lima, Airin dikejutkan dengan surat-surat misterius yang sering muncul di loker pribadinya. Belum lagi pesan-pesan anonim yang terus mengganggu hari-harinya yang sedang berada di titik lelah. Beruntung...