Berbaikan

0 0 0
                                    

Sejauh apa pun kita kemarin, nyatanya pertemanan kita masih menjadi yang terindah.

---

Airin berjalan menuju kelas dengan banyak resah yang berkecamuk di dadanya. Melihat Rindu yang memberikan penolakan beberapa kali kepada Bagas, membuat Airin sangsi bahwa Rindu akan memaafkan Bagas. Itu artinya, Rindu masih akan menjauhinya entah sampai kapan.

Pintu kelas sudah bisa Airin jangkau, saat terdengar deru napas tergesa oleh seseorang yang tiba-tiba menepuk pundak Airin cukup kencang. Tepukan yang berhasil membuat Airin tersentak kaget. Pikirannya tentang Bagas dan Rindu melebur sepersekian detik karena tepukan tiba-tiba itu.

"Capek banget gue ngejar lo," ucap Vania sambil kedua tangan memegang lutut. Menunduk dengan napas yang masih terengah-engah. Airin memandangi Vania dengan heran.

"Nggak usah dikejar. Biarin Bang Rafan yang kejar aku," kata Airin sambil menyengir.

"Sial. Itu yang mau gue bicarain," dengus Vania setelah berhasil menormalkan detak jantungnya. Matanya membulat dengan sorot menajam. Amarah bercokol di dadanya.

"Eh, kenapa?" tanya Airin. Jantungnya berdetak kencang, seolah mengetahui bahwa hal yang akan disampaikan oleh Vania tentu akan membuatnya terkejut. Airin memegangi dadanya, menikmati suara detak jantung yang sampai ke telinganya.

"Bukannya kemarin lo nge-date sama cowok lo itu?" tanya Vania menatap tajam Airin.

"Iya. Kayak yang kamu tahu kalau kami ngelakuin art gallery dating. Kan, kamu komen juga di postingan aku," jawab Airin dengan semangat menggebu. Semua tentang Rafan selalu menarik untuk dibahas.

"Nah, itu dia kesalahan terbesar gue. Komen di postingan lo."

"Ada apa, sih?" Dahi Airin mengerut.

"Kemarin, gue liat cowok lo bareng cewek lain di depan toko bunga. Ketawa cekikikan gak jelas. Emosi banget gue liatnya. Pengen gue labrak, tapi Rafka ngelarang gue," adu Vania dengan tangan tergenggam membentuk sebuah kepalan yang siap untuk dilayangkan ke wajah kekasih Airin itu.

Airin terdiam kaku. Tidak percaya sedikit pun dengan ucapan Vania. "Ah, kamu salah liat kali." Dia masih denial tentang ucapan Vania.

"Lo bareng dia sampai diantarin balik?"

"Enggak, sih. Abang pamit pulang duluan karena katanya temannya butuh dia banget."

"Nah, itu bener. Temannya butuh dia banget. Teman perempuannya." Vania menyimpulkan dengan gamblang.

"Salah lihat kamu, Van. Dia izinnya baik, kok, ke aku. Dia sampai elus tangan aku lembut. Makanya aku nggak apa-apa ditinggalin."

"Ai, IPK sempurna ternyata nggak ngejamin bakal mahir buat nilai seseorang, ya," ucap Vania kemudian berlalu meninggalkan Airin dengan pikiran yang berkecamuk. Airin masih tetap dengan prinsip percaya sepenuhnya kepada Rafan. Jelas-jelas Rafan memperlakukannya dengan baik, mana mungkin dia meninggalkan Airin untuk menemui perempuan lain. Rafan tidak mungkin sejahat itu, kan?

Belum selesai dengan keterkejutan akan berita yang disampaikan Vania, kini Airin juga harus bersiap dengan keterkejutan selanjutnya dari Rindu. Gadis itu tiba-tiba duduk di samping Airin dan Vania yang sedang menekukkan wajah. Pandangan heran ia tampilkan saat melihat wajah tidak biasa Vania. Vania sampai tidak menyadari kehadiran Rindu kalau gadis itu tidak memberinya pertanyaan.

"Kenapa lo, Van?" Wajah Rindu mendekat ke depan wajah Vania, membuat gadis itu terperanjat kaget. Vania refleks memukul bahu Rindu kuat sampai membuat Rindu meringis.

"Ya, Allah. Terkejut banget." Vania memegangi dadanya. "Woi, tumben lo ke sini?"

"Sakit, anjir. Kebiasaan, deh, suka mukul-mukul," ucap Rindu memberengut.

Airin terdiam di kursinya, tidak berani menatap ke arah Rindu yang duduk nyaman di sampingnya, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka sebelum ini. Sikap Rindu yang tiba-tiba mendekat seperti ini belum masuk ke dalam prediksi Airin hari ini. Apalagi tadi dia melihat langsung bagaimana Rindu menghindari Bagas yang terus-terusan mengejarnya.

"Lo ngagetin. Syukur nggak gue tempeleng kepala lo." Vania memandang Rindu kesal. "Lagian tiba-tiba banget muncul."

"Sensi banget. PMS lo?"

"Gue kesel sama, tuh, anak." Vania melirik Airin yang masih menunduk kaku.

Rindu bergerak ke arah Airin. Dia memahami betul ekspresi kaku Airin saat ini. Bingung dan heran. Untuk itu, dia perlu meluruskan kesalahpahaman di antara mereka.

"Emang Airin kenapa?" tanya Rindu seolah tanpa beban. Vania tersenyum setelah berhasil memahami keadaan. Rindu sudah bersikap normal, berarti pertemanan mereka akan kembali seperti semula.

"Kemarin gue lihat pacarnya sama cewek lain di depan toko bunga. Dia nggak percaya sama gue," adu Vania menatap Rindu sepenuhnya.

Rindu teringat perkataan Bagas tadi bahwa memang akan sulit sekali menyadarkan Airin yang sedang berada dalam tahap bucin alias budak cinta kepada Rafan. Sepertinya dia butuh personil baru untuk menjadi tim penghancur hubungan Airin dan Rafan. Setelah ini dia harus mengajak Vania dan Rafka untuk bergabung bersamanya dan Bagas.

Melihat Rindu yang terdiam, Vania memandangnya tidak mengerti. Seolah memberi kode dengan sebelah mata, Vania mengerti bahwa ada yang tidak beres dengan hubungan Airin yang Rindu ketahui dan ingin dia bagi dengan Vania. Hingga sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dia tahu Rindu yang mengiriminya pesan, karena Rindu sempat memegang ponselnya.

Rindu
Nanti ada yang mau gue omongin soal Airin dan pacarnya

Sejauh ini, dosen belum terlihat memasuki kelas. Entah akan ada tugas atau memang ada hal yang membuat dosen muda itu terlambat hadir. Mereka bertiga tidak terlalu peduli.

"Em, Ai. Gue mau minta maaf." Kali ini, Rindu menatap Airin yang sibuk menulis sesuatu di bukunya. Tentu saja itu hanya kesibukan pura-pura. "Lihat gue, dong."

Akhirnya Airin menatap Rindu sepenuhnya. "Aku juga minta maaf karena nggak berani jujur. Soalnya aku juga bingung mau ngejelasinnya. Takut kamu nggak percaya sama aku," jujur Airin sedikit lega, karena Rindu yang pertama kali mendatanginya.

"Bagas udah jelasin tadi. Gue nyesal banget nggak dengerin dulu penjelasan dia. Childish banget tiba-tiba silent treatment." Rindu mengembuskan napas kasar.

"Sebenarnya tadi aku lihat kamu sama Bagas. Kamu kayak nolak pas dia mau megang tangan kamu. Di situ aku udah pesimis kalau kamu bakal maafin aku, meski jujur aja aku masih bingung salahku di mana. Tapi pas ngeliat sekarang kamu di sini, bareng kami, aku lega banget. Makasih udah mau percaya." Perasaan lega itu terasa nyaman di hati ketiganya. Seolah ada beban berat yang terangkat begitu saja. Terhempas habis.

"Ah, seneng banget. Gini, kan, enak. Nggak kayak kemarin, asing banget kayak nggak pernah nge-jamet bareng aja," ucap Vania tersenyum bahagia.

"Tapi menurut gue, lo harus pertimbangin perkataan Vania barusan, Ai. Manatau cowok itu beneran pacar lo bareng sama cewek lain. Who knows, kan?" ucap Rindu tiba-tiba.

Setelah dua temannya memintanya untuk percaya bahwa Rafan mungkin saja pergi dengan seorang perempuan, membuat Airin mulai goyah. Jadi, untuk kali ini, apakah dia harus percaya kepada kata hatinya atau kata kedua temannya?

Pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya harus diberi jeda, karena dosen mereka sudah memasuki kelas. Pelajaran dimulai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pesan Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang