Jangan sampai kisah ini menjadi asing yang akan berujung usang.
---
Pagi ini berbeda dari biasanya. Tidak ada sapa dari Rindu. Keduanya seolah asing, seolah tidak pernah saling dekat sebelumnya. Kursi yang biasanya selalu berdampingan, kini tidak lagi bersinggungan.
Vania menatap heran ke arah dua manusia yang terlihat tidak nyaman satu sama lain. Rindu selalu mencoba menjauh sekuat yang ia bisa. Bukan hanya tidak menyapa Airin, dia juga memutuskan untuk tidak melakukan kontak mata dengan Vania.
Tidak bisa dibiarin, nih, batin Vania.
Saat langkahnya ingin mendekati Rindu, dosen mata kuliah broadcasting memasuki kelasnya. Vania mengurungkan niatnya. Nanti saja sepulang kuliah, karena tidak ada mata kuliah sesudah ini.
Pembelajaran selama 2 sks berjalan lancar. Sesudah dosen keluar kelas, Vania langsung menghampiri Rindu yang jelas sekali tergesa-gesa meninggalkan kelas.
"Rindu, tunggu!" teriak Vania menghentikan langkah Rindu. Beberapa pasang mata teman sekelasnya menatap terkejut ke arah Vania yang tampak tidak peduli.
"Lo kenapa buru-buru banget? Ada pekerjaan yang buat lo harus bergegas banget gini?" tanya Vania tanpa menyadari bahwa Airin sudah tidak berada di kelas.
"Ada. Gue memang harus buru-buru," jawab Rindu tanpa mau repot-repot menatap wajah Vania. Matanya terus mengarah ke lantai.
"Lantainya kotor, Rindu. Gak usah dilihat sebegitunya," kesal Vania karena merasa tidak dipedulikan.
"Udah, ya. Gue mau balik."
"Asing banget. Kayak gak pernah berjuang sama-sama aja."
Ucapan Vania menghentikan langkah Rindu sejenak. Setelahnya, dia kembali melanjutkan perjalanan menuju parkiran.
"Kenapa, sih, sama semua orang? Pada aneh banget."
---
Airin terburu-buru menuju loker. Dia belum berani menghadapi Rindu yang tampak masih kesal dengannya, sedang Bagas tidak membalas pesannya sedikit pun. Tidak ada penjelasan yang bisa ia berikan kepada Rindu, saat Bagas saja tidak berniat memberikan pemahaman.
Sesaat setelah Airin membuka pintu loker, matanya kembali mendapati selembar kertas yang dilipat rapi menyerupai surat. Airin memijit pelipisnya. Surat pertama saja belum bisa ia pecahkan, kini ada lagi yang baru. Orang iseng ini sangat meresahkan.
Jangan anggap main-main ucapan saya sebelumnya. Terkadang, kejahatan muncul bukan karena ada niat, tetapi karena ada kesempatan. Hanya saja, orang ini sudah memiliki niat jahat sebelumnya kepadamu. Dia sedang menunggu kesempatan untuk mengeksekusinya. Berhati-hatilah.
Airin mengerutkan kening dalam. Tidak mengerti sedikit pun maksud dari surat ini. Entah siapa orang yang dikatakan. Tidak ada clue sedikit pun yang bisa Airin pikirkan.
"Ah, lo di sini. Gue cariin dari tadi." Suara Vania memecah lamunan Airin yang sedang menatap surat di tangannya. Sebelum sempat menyembunyikan surat tersebut, mata Vania langsung menangkap arah pandang Airin.
"Surat lagi?" tanyanya. Airin tidak berniat menyembunyikannya lagi. Ia mengangguk. Surat tersebut sudah berpindah tangan.
"Dih, siapa, sih, nih orang? Pengecut banget. Beraninya main sembunyi-sembunyi gini. Gak gentle." Suara Vania terdengar kesal. Belum lagi masalah Rindu yang mendadak cuek, kini muncul surat misterius yang entah siapa pengirimnya. Dunia teman-temannya serius sekali.
Tidak ada tanggapan dari Airin. Wajahnya lesu sekali. Tidak terlihat semangat sedikit pun. Sejauh apa pun otaknya memikirkan orang di balik surat ini, dia tetap tidak bisa menerkanya.
"Clueless banget, ya, Ai?" tanya Vania ikut lesu. Airin berdehem.
"Rindu aneh, lo juga ikutan aneh karena surat ini. Lo ngerasa juga, gak, Rindu mendadak asing?" tanya Vania yang membuat Airin tersentak.
"Iya, dari kemarin."
"Lo tau penyebabnya?" tanya Vania dengan sorot mata ingin tahu. Namun, Vania harus menahan ekspresinya, karena Airin menggelengkan kepala. Tanda tidak tahu.
"Aneh banget."
"Balik, yok," ajak Airin dengan wajah lelah. Bukan tanpa alasan Airin memutuskan untuk tidak memberi tahu Vania soal Rindu. Dia hanya belum siap kalau Vania tiba-tiba ikut menjauhinya. Padahal, dia bukanlah pelaku dalam hal ini.
"Kamu dijemput?" tanya Vania hati-hati.
"Aku naik Grab aja. Udah dipesan tadi. Kayaknya udah sampai," jawab Airin pelan.
"Hem, aku balik sama Rafka," ucap Vania merasa tidak enak hati.
"Iya, gak papa. Kok, gak barengan sama Rafka keluar kelasnya?"
"Tadi dia mau ke kantin dulu. Jumpai teman," jawab Vania sambil melangkah menuju parkiran. Rafka sudah mengirim pesan dan memberitahu bahwa dia menunggu di parkiran fakultas.
"Oh, ya, udah. Aku ke depan duluan, ya," pamit Airin kepada Vania yang sudah berbelok menuju parkiran. Sudah ada Rafka dengan motor hitam kesayangannya. Vania tersenyum lebar menatap kekasihnya itu. Rafka dan Vania adalah pasangan impian banyak anak komunikasi.
Vania yang cerewet, dan Rafka yang selalu bisa menanggapi seluruh kecerewetan Vania dan membuatnya tersenyum kembali. Vania dengan amarah yang bisa tiba-tiba menggebu, dan Rafka yang selalu punya banyak cara untuk menenangkan Vania.
Airin menatap hangat ke arah Vania yang sudah berlari ke arah Rafka. Helm yang berada di tangan Rafka, dia pasang ke kepala Vania. Manis sekali.
"Nanti aku suruh Bang Rafan buat romantis juga kayak Rafka. Gak mau tahu."
Benar saja. Grab yang dipesan Airin sudah sampai di depan gerbang kampus. Supir Grab langsung menanya apakah benar dia bernama Airin dan memesan Grabnya. Sontak saja Airin mengiyakan dan masuk ke dalam mobil.
Bau wangi dari pengharum mobil langsung menyapa indera penciuman Airin. Sejenak ia merasa tenang dengan aroma yang diberikan.
Airin teringat kepada Rafan yang belum dia hubungi soal surat itu. Rafan berpesan bahwa Airin harus menghubunginya jika masih ada surat yang diletakkan di lokernya.
Pesan dalam bentuk gambar Airin kirimkan ke nomor Rafan. Tidak langsung ada jawaban. Mungkin, Rafan sedang ada kegiatan yang membuat ia sedang tidak memandangi ponselnya.
Tidak tahu saja Airin bahwa di tempatnya, Rafan sedang mengingat dengan keras tentang pengirim surat tersebut. Dia seperti pernah mengenal tulisan yang tercetak dalam kertas yang Airin kirimkan.
Sampai sepuluh menit lamanya tidak ada balasan dari Rafan. Airin memutuskan untuk mematikan ponselnya sejenak. Aroma mobil yang ditumpanginya sangatlah menenangkan. Dia menghirup sebanyak-banyaknya bau harum mobil, membuat sang supir yang berusia kira-kira setengah baya itu terkekeh.
"Harum, ya, Neng?"
Airin merasa malu luar biasa. Dia menampilkan senyum sungkan. "Iya, Pak. Menenangkan sekali."
"Istri saya yang pilihkan aromanya. Katanya, supaya penumpang merasa nyaman. Eh, beneran nyaman ternyata. Banyak juga penumpang sebelum Neng yang bilang hal yang sama," ucap sang supir dengan senyum bangga.
"Iya, Pak. Semoga dengan ini, rezeki Bapak semakin melimpah dan banyak penumpang yang memakai jasa Bapak," ucap Airin sambil memandangi ponselnya yang kembali dia hidupkan. Ternyata, sudah ada pesan dari Rafan.
Bang Rafan
Sepertinya Abang tahu tulisan siapa ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Tanpa Suara
RomansaDi tengah kesibukan sebagai mahasiswa semester lima, Airin dikejutkan dengan surat-surat misterius yang sering muncul di loker pribadinya. Belum lagi pesan-pesan anonim yang terus mengganggu hari-harinya yang sedang berada di titik lelah. Beruntung...