Fakta Baru

7 5 0
                                    

Faktanya, aku semakin tidak mengerti dengan seluruh rahasia semesta. Kali ini, apa lagi yang harus kuhadapi?

---

Masih terlalu dini untuk membuka mata. Namun, fakta yang kemarin disampaikan oleh Rafan masih terus mengganggu pikiran Airin. Jam tidurnya terganggu karena memikirkan pesan yang Rafan kirimkan.

Itu tulisan Bagas.

Tiga kata yang terus terngiang tanpa bisa Airin cegah. Ada banyak sekali pertanyaan yang sialnya tidak bisa Airin temukan jawabannya. Sama seperti Bagas, Rafan juga menolak membalas pesannya.

Airin : Abang kenal sama Bagas?

Pertanyaan utama yang ingin sekali Airin dapatkan jawabannya. Namun, Rafan seperti tidak berniat membahasnya. Hal yang membuat Airin semakin bingung dan merasa bersalah kepada Rindu.

Kenapa Bagas repot-repot mengirimi surat di lokerku, sedang pesanku tidak sedikit pun dia balas dan juga bagaimana ceritanya Bang Rafan sudah kenal dengan Bagas, padahal aku baru saja berniat mengenalkan mereka?

Berbagai pertanyaan bersarang di otaknya membuat pagi yang semula tentram, mendadak ricuh karena suara teriakan Airin yang menggema di seluruh sudut rumah.

"Kenapa lagi kakakmu itu, Nadin?" tanya Mama Ema memandang malas ke arah Nadin yang baru saja selesai mandi.

"Biasalah. Kakak, kan, kadang suka kesambet. Gak usah heran, Ma," jawab Nadin tidak peduli sambil berjalan ke arah kamar.

Pemandangan pertama yang menyambutnya saat masuk ke dalam kamar adalah posisi Airin yang seperti sedang bersujud di atas kasur. Nadin menggelengkan kepala. Dia tidak akan terkejut dengan banyak kelakuan aneh kakaknya. Sudah biasa.

Boneka yang berada di atas kasur Airin menjadi tujuan Nadin. Dia mengambil boneka tersebut dan memukulkannya ke badan Airin. Sontak Airin menjerit heboh.

"Drama queen banget, sih, Kak. Berenti, gak?" Mata Nadin melotot ke arah Airin yang sudah memandang marah Nadin.

"Apa, sih? Ganggu aja." Suara Airin naik beberapa oktaf.

"Yang ada kamu yang ganggu. Masih pagi juga, udah buat heboh. Nanti tetangga protes."

"Biarin! Siapa suruh mau jadi tetangga kita," jawab Airin kembali ke posisi semula. Kali ini dengan boneka di pelukannya.

"Ampun, dah. Punya Kakak gini amat."

Nadin memutuskan untuk tidak lagi memedulikan kakaknya. Lebih baik dia segera memakai seragam dan bersiap sarapan. Nadin bersekolah di SMA Bina Bangsa kelas sepuluh.

"Jangan lupa makan. Galau juga butuh tenaga. Apalagi teriak-teriak gak jelas kayak tadi. Minimal minum. Kasian tenggorokan Kakak, pasti tersiksa," ucap Nadin sebelum meninggalkan kamar.

Di tempat lain, Rafan sedang merasa tidak tenang. Mengetahui bahwa ternyata Bagaslah yang sudah mengirimi Airin surat, membuat Rafan menyorotkan ekspresi marah ke sebuah pigura poto yang diam-diam masih dia simpan.

Apakah Rafan mengenal Bagas?

Jawabannya, tentu saja. Dia jauh mengenal Bagas lebih dari Airin atau Rindu sekalipun. Namun, fakta ini belum siap dia sampaikan kepada Airin. Mungkin saja, tidak akan pernah dia beritahu kepada Airin sampai kapan pun.

Untuk pesan yang dia kirimkan kemarin pun, hingga kini masih dia sesali. Seharusnya, dia tidak perlu repot-repot mengatakan yang sebenarnya kepada Airin. Rafan terlanjur terkejut, sehingga membuat ia tidak berpikir panjang dan langsung mengatakan yang sebenarnya.

"Tolol banget, sih, Rafan. Harusnya gue gak usah ngasih tahu. Kan, Airin jadi nanya kenapa gue bisa kenal sama Bagas, bahkan sampai tahu tulisannya. Itu artinya gue tahu banget soal Bagas. Bodoh!" marah Bagas kepada dirinya sendiri. Dia sampai memukulkan kepalanya ke dinding kamarnya.

Hingga kini, Rafan belum membalas pesan dari Airin. Biar saja Airin bertanya-tanya. Meski dia tahu, Airin pasti akan terus mencecarinya sampai menemukan jawaban yang tepat.

"Gue harus nyari alasan yang bisa buat Airin percaya. Gak bakak gue mau jujur."

Bang Rafan : Bagas itu pernah jadi Adik kelas Abang.

🍀🍀🍀

Setelah Nadin dan Kafka pergi ke sekolah, Mama Ema mendatangi Airin yang masih bergelut dengan kasur. Dia belum berniat untuk beranjak, padahal adiknya sudah sedari tadi mengajak sarapan.

"Kak, gak makan?" tanya Mama Ema lembut.

"Bentar lagi, Ma," jawab Airin langsung menghadap Mama Ema. "Tumben, nih. Kenapa, Ma?"

"Kamu ada simpanan, gak?" tanya Mama Ema pelan. Tampak berhati-hati dalam menanyakannya.

"Astagfirullah, Ma. Aku baru aja punya pacar, masa langsung ada simpanan. Gak baik. Aku orangnya setia banget." Airin tampak shock mendengar pertanyaan Mama Ema.

Tangan Mama Ema bergerak memukul bahu Airin. "Bukan simpanan itu maksudnya. Uang, loh. Kamu punya uang, gak?"

Airin terdiam kaku. Pantas saja Mama Ema masuk ke kamarnya, ternyata berhubungan dengan keuangan. Sesuatu yang biasa dia hadapi.

"Ada, Ma, tapi buat bayar makalah. Kami harus bagikan ke tiap kelompok. Terus, aku juga mau bayar paket COD," jawab Airin seadanya.

"Bisa Mama pakai sebentar buat bayar uang seragam adikmu? Kamu butuhnya kapan?" tanya Mama.

"Baru minggu depan, sih, Ma, sama paketnya juga. Ya, udah, bentar aku ambilkan dulu."

Airin memberikan uang tukaran seratus ribu. Niatnya, uang itu untuk dipakai membayar novel yang baru ia pesan di Shopee. Sebisa mungkin, Airin akan membeli minimal satu buku setiap bulannya. Kalau sedang ada diskon, bisa lebih dari dua. Impian membuat perpustakaan pribadi itu harus terealisasikan.

Gak apa-apalah. Buat keluarga, apa, sih, yang enggak. Nanti juga bakal ada rezekinya lagi. Kan, Allah maha pengasih.

Begitulah kebanyakan pemikiran anak pertama. Yang kadang mengalah untuk keluarganya. Airin tidak masalah, meski terkadang iri melihat orang yang tidak pernah diberatkan dengan beban membantu keuangan keluarga. Wajar saja, bukan?

"Makasih, ya. Nanti Mama ganti. Catering Mama lagi seret, Ai."

Airin tetap meng-iya-kan, meski dia tahu uang itu tidak akan kembali. Paling nanti, dia minta saat benar-benar perlu dan tidak ada pegangan sama sekali.

"Emang seragamnya berapa, Ma?" tanya Airin sekedar basa-basi.

"125 ribu. Katanya udah diminta dari kemarin."

"Ya, udah. Langsung dibayarin aja besok, Ma," ucap Airin mencoba tersenyum tulus.

Edisi sandwich generation ini, semoga bisa dihentikan, ya.

Mama Ema beranjak keluar dari kamar saat sudah mengantongi uang yang diberikan Airin. Airin menatap ponsel yang berada cukup jauh dari jangkauannya. Mungkin saja salah satu dari dua manusia yang sedari kemarin dia tunggu pesannya, sudah bersedia membalas. Benar saja. Meski Airin harus kecewa karena hanya Rafan yang membalas pesannya.

"Oh, Adek kelas? Pantes, tahu banget soal tulisan. Sedekat itu?" Airin bermonolog. Dia memutuskan untuk beranjak menuju meja makan. Perutnya sudah meronta ingin diisi. Sampai kemudian dia teringat satu hal.

"Kalau mereka sedekat itu, kenapa Bagas melarang aku buat pacaran sama Bang Rafan? Harusnya dia mendukung dan merasa senang, dong?"

Pesan Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang