Entah kebenaran mana yang bisa aku percayai. Semakin ke sini, rasa percaya itu semakin memudar.
---
Pernyataan Rafan kemarin masih belum bisa Airin terima secara benar. Ada bagian dirinya yang menyangkal perihal fakta yang disampaikan Rafan. Kesalnya, hingga kini Bagas belum bersedia membalas pesannya yang sudah berlimpah. Airin yakin, notifikasi di ponsel Bagas penuh dengan pesan darinya yang diabaikan begitu saja.
Untuk menghubungi Rindu pun, jelas saja Airin belum berani. Sebanyak apa pun kalimat penjelasan, tidak akan bisa meyakinkan Rindu begitu saja. Airin butuh Bagas sebagai pemberi keterangan yang jelas.
Pagi ini, Airin memutuskan untuk datang ke kampus lebih cepat dari biasanya. Sialnya, ketika Airin sampai, gerbang fakultas belum terbuka sama sekali. Airin sampai harus menunggu satpam yang memegang kunci selama hampir sepuluh menit.
"Cepet amat datangnya, Neng. Saya baru aja sampai. Semangat banget mau dengerin materi dosen. Suka, nih, saya sama tipikal mahasiswi yang rajin seperti ini," celetuk satpam dengan name tag Yono itu sambil berdecak kagum. Tidak ketinggalan kepalanya yang bergoyang, menambah tanda kagum akan sikap rajin mahasiswi di hadapannya. Tidak tahu saja dia kalau Airin memiliki niat terselubung.
"Iya, Bapak. Saya udah gak sabar banget buat masuk kelas sampai enam sks hari ini. Makanya saya mau ambil bangku paling depan. Pas di hadapan dosen. Biar seluruh ilmu yang keluar dari mulut dosen, langsung dicerna oleh otak saya, Pak," ucap Airin begitu menggebu, sampai membuat Pak Yono bertepuk tangan semakin kagum.
Duh, gak tahu aja si Bapak kalau aku lagi gak ada matkul hari ini, batin Airin.
"Silakan, Neng. Saya doakan masa depan Neng akan cerah secerah sinar matahari di siang hari."
"Silau, dong, Pak?"
"Saking kemilau dan menyalanya, Neng," jawab Pak Yono sambil cengengesan.
"Siap, Pak. Saya masuk dulu, ya," pamit Airin bergegas menuju loker. Ya, kali ini dia akan benar-benar membuktikan perkataan Rafan. Dia tidak mau menelan mentah-mentah informasi yang Rafan sampaikan tanpa mengeceknya dengan jelas.
Airin mengambil tempat paling sudut, yang tidak akan bisa terlihat dengan pandangan jelas. Kali ini, dia harus menuntaskan satu misteri yang mengganggunya akhir-akhir ini. Bagas dan banyak sikap janggalnya perlu dia ketahui alasannya.
Selang lima menit Airin bersembunyi, tampak seorang lelaki memakai jaket hitam dan celana senada memasuki loker dengan berhati-hati. Matanya awas menatap kiri dan kanan, seolah aksinya takut ketahuan oleh siapa pun.
Nah, kena kau. Sial, kenapa pakai masker?
Mata Airin memandang tajam sosok yang masuk dengan penuh curiga. Airin terkesiap. Sekuat apa pun lelaki itu berusaha menyembunyikan dirinya, dengan modal sering bermain bersama, tentu saja Airin dapat mengenalinya dengan jelas.
Lelaki itu beranjak keluar setelah menuntaskan tujuannya, loker Airin. Satu surat kembali masuk lewat sisi atas pintu loker yang tidak terlalu rapat. Kejadiannya begitu cepat, sampai Airin tidak sempat menghentikan langkah lelaki itu. Airin terkesiap kaget. Tidak percaya dengan hal yang terjadi di hadapannya beberapa detik yang lalu.
Benar. Dia Bagas.
Sadar dengan kebungkamannya barusan, Airin bergegas menuju loker dan membukanya dengan tergesa. Tidak ada kesabaran dalam tindakannya. Sedikit lagi saja, pintu loker itu bisa saja rusak.
Kembali Airin membuka surat berisi pesan yang ditinggalkan oleh Bagas barusan. Kakinya lemas tidak berdaya. Tanpa sadar, air mata mengalir dari pipinya. Ketakutan dan kekhawatiran menyeruak.
Jangan cari tahu siapa saya. Itu hanya akan sia-sia saja. Pikirkan dirimu sendiri dengan menjauhi kekasihmu saat ini. Dengarkan dan taati perkataan saya atau kamu akan menyesal.
Dengan sisa kesadaran yang tersisa, Airin mengejar langkah Bagas yang mungkin saja masih berada di fakultas. Airin tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja. Bagas menjadi pihak yang harus menjelaskan semua bentuk kebingungan.
Mata Airin menangkap sebuah motor yang masih bertengger di halaman fakultas. Benar saja, itu motor Bagas. Tidak ada penyangkalan untuk hal ini. Pengirim pesan misterius di lokernya adalah Bagas, kekasih sahabatnya sendiri.
Airin berlari sekuatnya menuju halaman depan fakultas. Bagas yang berjalan dengan santai, terkesiap kaget. Tidak menyangka akan bertemu dengan Airin di sana. Setahunya, Airin dan Rindu sedang tidak ada jadwal kuliah hari ini. Itulah alasan dia santai saja berjalan di halaman fakultas yang bukan miliknya.
"Bagas, berhenti!" teriak Airin murka. Air wajahnya tampak sekali penuh amarah. Bagas menghentikan langkah. Selang beberapa detik saja, dia bisa mengembalikan ekspresi tenang setelah menampilkan keterkejutan yang nyata.
"Apa maksud dari surat ini?" tanya Airin dengan meremas surat yang tadi Bagas tinggalkan di lokernya.
"Loh, Airin? Ngapain di kampus? Bukannya kalian gak ada mata kuliah hari ini?" tanya Bagas dengan ekspresi yang dibuat senormal mungkin.
"Sial! Kamu buat aku semakin muak, Bagas. Jangan berpura-pura lagi. Aku butuh penjelasan sekarang juga," ucap Airin dengan napas yang menggebu-gebu. Dia tidak peduli dengan banyak pasang mata mahasiswa yang baru sampai di halaman fakultas.
"Penjelasan apa?"
"Surat ini! Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri tadi. Kamu yang meletakkan surat ini di lokerku. Berhari-hari aku nyari tahu siapa yang mengirimiku surat ini. Berhari-hari juga pesanku tidak satu pun yang kamu balas. Maksudmu apa, sih?" tanya Airin marah luar biasa. Suaranya menggelegar. Banyak orang memandang takut. Tidak menyangka badan semungil itu, memiliki suara begitu powerful.
"Maksudku jelas tertera di surat itu. Baca sendiri!" ucap Bagas santai.
"Kata Bang Rafan, kamu adik kelasnya. Harusnya kalian akrab, dan kenapa kamu malah nyuruh aku jauhin dia." Akhirnya Airin menyampaikan ucapan Rafan tentang status mereka.
Bagas terdiam sejenak, kemudian tertawa geli. Pesona lelaki dingin tidak tampak lagi kali ini. Airin teman Rindu, tentu saja dia akan berlaku berbeda.
"Adik kelas?" tanya Bagas dengan sorot mata tidak percaya.
"Benar, kan?" Airin kembali ragu.
"Sejak kapan aku jadi adik kelas lelaki itu. Enggak. Gak pernah."
"Jadi, hubungan kalian apa sebenarnya?" tanya Airin dengan tidak sabar.
"Ah, kamu gak perlu tahu. Kalau memang kamu tidak mau menuruti perkataanku, ya, sudah. Tanggung akibat sendiri. Udah, aku mau ke kelas. Dosen udah datang. Kamu juga jangan lupa balik. Kan, gak masuk. Effort banget ke sini," ucap Bagas mengakhiri percakapan mereka pagi itu.
Bukan jawaban yang Airin dapatkan, malah pertanyaan lanjutan. Perihal alasan di balik Bagas yang memintanya untuk menjauhi Rafan dan juga Rafan yang berbohong perihal hubungannya dengan Bagas.
Itu artinya, hubungan mereka bukan sekedar abang dan adik kelas, karena Bang Rafan tahu tulisan Bagas. Tentu hubungan mereka lebih dekat daripada itu. Tuhan, kenapa ini semakin rumit saja?

KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Tanpa Suara
RomantikDi tengah kesibukan sebagai mahasiswa semester lima, Airin dikejutkan dengan surat-surat misterius yang sering muncul di loker pribadinya. Belum lagi pesan-pesan anonim yang terus mengganggu hari-harinya yang sedang berada di titik lelah. Beruntung...