RUMAH

9 7 1
                                    

Meskipun sudah didamaikan oleh Willy, nyatanya pikiran Stefani masih sibuk melanglangbuana hingga ke pelosok negeri.

Hubungan dia dengan Surya memang tak seheboh hubungan para pasangan di sosial media, yang kelihatannya ada aja yang bisa dijadikan konten. Namun, Stefani sendiri malah merasa senang dan tenang dengan hubungan mereka yang rendah konflik, ya meskipun sekalinya ada masalah akan merepotkan sekali sih, namun dia tetap suka.

Stefani takut dengan laki-laki, dia juga tak begitu bisa akrab dengan anak kecil, alasannya pun cukup sederhana, dia hanya takut kalau anak-anak kecil itu akan menolaknya, jadi bisa dikatakan kalau Stefani juga takut akan penolakan.

Dan untuk mengapa dia takut akan laki-laki, untuk yang satu ini akan mudah sekali untuk dijelaskan, namun akan sulit sekali untuk dipahami, bahkan Stefani sendiri pun sampai sekarang masih tak paham "mengapa" hal tersebut bisa terjadi. Intinya, sejak kecil dulu hingga SMA pasti ada saja anak laki-laki yang tak suka padanya, dan ujungnya malah mengajak berkelahi. Ada beberapa yang dia layani, ada juga yang dia abaikan karena memang rasanya tak begitu penting, toh dia juga tak merasa punya masalah dengan orang-orang itu.

Dia merasa beruntung sekali bisa bertemu dengan Surya, yang sejak awal kemunculannya tidak membuat Stefani merasa takut seperti biasanya dan terbuka-terbuka saja. Terima kasih juga untuk Brian yang kala itu tercuri perhatiannya akan sosok Surya hingga Stefani bisa melihat dan bertemu dengan tipe idealnya. Ya, karena ini pula Stefani masih tak masalah untuk menyapa mantannya itu, karena Brian juga turut andil dalam masuknya Surya ke hidupnya.

Sekarang hari sudah malam, Surya sudah bersiap untuk pulang dari rumah Stefani, karena merasa kalau permasalahan di sini sudah tuntas. Meskipun masih ada yang tersisa di kepala Stefani dan Stefani sangat amat takut untuk melayangkan pertanyaannya pada Surya.

"Yang?" Panggil Stefani di ambang pintu kamar yang biasa di tempati oleh Surya, memandang Surya yang kini sibuk menyimpan baju-baju kotornya ke dalam ransel yang dibawa.

"Kenapa, Yaang?"

Stefani mengusap tengkuk, wajahnya tampak begitu tak enak, dia mendesis pelan sebelum mengeluarkan kata. "Kamu ada target nikah umur berapa?"

"Hm??" Kedua alis Surya naik, laki-laki itu langsung menoleh, memandang Stefani lucu. "Tumben nanya kaya gitu?"

"Pengin tau ajaa.."

"Gak ada target sih, soalnya aku nungguin kamu siapnya kapan. Eh, tapi omonganku jangan jadiin beban ya, aku gak ada niat buat desak kamu kok."

Stefani jadi terdiam, rasa tegang yang tadi merasukinya kini perlahan-lahan mulai menghilang. Dia menghela napas pelan, berjalan masuk ke dalam kamar dan memeluk tubuh besar Surya dari samping.

Mendapat pelukan tak terduga dari pacarnya yang anti kontak fisik berlebih itu pun jelas buat Surya terkejut, dia bahkan sampai refleks menahan napas beberapa detik karena rasa terkejutnya. Meskipun begitu, dia tetap membalas pelukan Stefani, meskipun dia tak paham mengapa.

"Kamu jangan kebanyakan mikir aneh-aneeh.." Ucap Surya mengusap pelan puncak kepala Stefani. "Urusan nikah atau apalah itu aku bakalan nungguin kamu, kalau kamu siap aku juga bakalan siap, jadi kamu tenang aja."

Di ruang tamu, Doni tanpa sadar ikut kalut dengan keadaan dua pasangan di kamar tamu sana. Dia menghela pelan, kemudian duduk di sofa dan dengan sadar menyalakan televisi dengan remote kontrol yang tergeletak di atas sofa, dia mau mengusik momen haru antara Stefani dan Surya.

Bisa dibilang keusilan Doni agak berhasil, namun tidak membuahkan hasil seseru yang ada dalam pikiran Doni.

Masih dalam posisi berpelukan, Surya menepuk-nepuk punggung Stefani, lalu berucap dengan lembut. "Nanti kalau kita nikah, kamu tinggal di rumahku aja ya? Kita jual ini rumah sama Doni-Doninya."

🐾

Genap dua minggu, setelah rumah Utomo laku terjual, sosok Sultan yang sebelumnya gencar sekali menawarkan rumah tersebut pada Stefani, sosoknya jadi jarang sekali terlihat, terutama untuk Stefani.

Stefani sendiri juga tak begitu mengharapkan akan bertemu dengan Sultan, toh dia juga tak punya hal yang harus dia keluhkan soal rumah yang dia beli. Dia sudah menebak di dalamnya ada apa, akan lucu jadinya kalau dia mengomel pada Sultan setelah membeli rumah 100 jutaan itu dan berharap kalau rumahnya tak ada apa-apanya.

Namun, hari ini, entah ada angin apa, Sultan tiba-tiba muncul di depan Stefani. Kebetulan saat hendak turun ke lantai bawah mereka menunggu di depan lift di jam yang sama.

Karena memang tidak seakrab itu, Stefani si introvert itu juga tak ada pikiran untuk menyapa Sultan sampai Sultan yang terlebih dahulu menyapanya dengan pertanyaan langsung.

"Rumahnya gimana, Fan? Nyaman?"

Stefani menoleh, tersenyum kecil pada Sultan seraya menganggukkan kepala. "Nyaman-nyaman aja, bener lho katamu, akses ke mana-mana gampang, makasih ya udah nawarin rumahnya ke aku."

Sultan terdiam untuk beberapa saat, lelaki itu tahu soal desas desus rumah keluarga jauhnya itu, dia sendiri sebenarnya juga selalu merasa kurang nyaman jika disuruh untuk datang ke rumah Utomo. "Gak ada minusnya?" Tanya Sultan, hebat sekali kalau dengan adanya Stefani bisa menghilangkan gangguan entah apapun makhluk astral yang ada di sana.

Stefani menggelengkan kepala, tersenyum tulus. "Gak ada."

Meskipun tak yakin dengan keseriusan jawaban dari Stefani, merasa kalau tak ada keluhan yang ingin disampaikan Stefani padanya, Sultan pun tak ingin lanjut bertanya ataupun berterus-terang soal keadaan rumah Utomo.

"Sultan, duluan ya?" Pamit Stefani begitu mereka sampai di teras lobby, itupun juga karena Stefani melihat ada mobil Surya yang terparkir di luar pagar kantor.

"O-oh, iya."

Ditinggal pergi, Sultan jadi merasa tak enak pada Stefani, dia jadi berpikir mungkin Stefani merasakan aura aneh di rumah Utomo namun enggan untuk mengajukan komplain pada Sultan karena tak enak hati. Yaa... memang apa sih yang mau diharapkan dari rumah murah di tengah kota. Posisi rumah di tengah kota harusnya punya harga yang mahal, bukan cuma 100 jutaan saja.

Dan Sultan sendiri pun ragu harus mengatakan apa adanya atau tidak, karena hasil penjualan rumah kemarin sudah dia berikan seluruhnya pada orang tua Doni yang masih ada di desa.

Setelah mendengar kabar duka tentang purta mereka, orang tua Doni sudah tak mau lagi kembali ke kota, jasad Doni kala itu juga dibawa mereka ke desa, dikuburkan di sana. Dan ya, herannya mengapa arwah Doni masih ada di rumah Utomo padahal sudah dikuburkan dengan layak, soal itu, sepertinya hanya Tuhan yang tahu, karena Doni sendiri juga masih belum tahu mengapa.

rumah ft. yoon dowoon, park sungjin (au)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang