Setelah berpisah dengan Emilia, Yalena memutuskan untuk singgah di kafe favoritnya sebelum mampir ke spa untuk menenangkan diri. Jam menunjukkan pukul dua, dan dia merasa enggan pulang cepat karena pikirannya masih kacau. Yalena ingin menikmati secangkir cokelat panas di Flore untuk memperbaiki suasana hatinya.
Saat Yalena duduk di sudut dekat jendela, seorang pemuda tiba-tiba muncul dan menyapanya. “Hallo, Yalena!” sapanya dengan senyuman ramah yang tampaknya terlalu cerah untuk suasana hatinya. “Aaron Woodley.” Dia mengulurkan tangan, mengajak Yalena berkenalan.
Yalena menerima ajakan berkenalan Aaron demi kesopanan, meski senyumannya tidak bisa mengubah suasana hati gadis itu yang masih suram. Dia merasa seperti sedang ditatap oleh seseorang yang terlalu mengenalnya, meski dia baru pertama kali melihat pemuda ini.
“Boleh duduk di sini?” tanya Aaron sambil menunjuk kursi satu meja dengan Yalena. Permintaan itu membuat Yalena merasa tidak nyaman, seolah ada yang salah dengan situasi ini.
“Begini ….” Manik mata Yalena membulat saat Aaron duduk di kursi yang ditunjuk dengan sikap seenaknya. Sifat Aaron yang terlalu sok dekat membuat Yalena merasa tertekan.
Aaron menghela napas panjang dan menaruh tas gendongnya di dekat kaki kursi. “Hari yang melelahkan,” katanya pada diri sendiri, seolah merasa sangat dekat dengan Yalena.
Suasana hati Yalena semakin memburuk. Dia merasa terjepit oleh sikap Aaron yang kurang menghargai ruang pribadinya. Yalena membatalkan niatnya untuk bersantai sejenak dan segera memanggil pelayan. “Kemas pesanan saya. Saya akan membawanya pulang,” ujarnya dengan tegas.
Dia memasukkan ponselnya yang sedari tadi dia mainkan ke dalam tas dan beranjak dari kursi tanpa mengacuhkan Aaron. Namun, pemuda itu mengikuti langkahnya, menunjukkan ketertarikan yang agak mengganggu. “Maaf jika aku mengganggu,” ucap Aaron, gelisah kala melihat Yalena meninggalkan meja. “Aku hanya …”
Yalena melirik sekilas dan mengangguk singkat tanpa menjawab, masih tampak ingin menjaga jarak. Setelah membayar, dia mengambil kotak cokelat panas yang sudah dikemas dan segera bergegas menuju pintu keluar.
Aaron tetap mengikuti di belakang, dan saat Yalena hendak keluar, dia meraih tangan Yalena dengan gelisah. “Tunggu!” ucapnya dengan nada penuh kecemasan. “A–aku... sudah lama memperhatikanmu. Aku cuma ingin .…” Aaron tampak sangat gelisah, dan tatapan matanya menunjukkan bahwa dia memang sudah lama mengamati Yalena.
“Maaf, saya harus pergi. Tolong lepaskan tangan saya,” ucap Yalena sambil berusaha melepaskan tangannya. Rasa muak yang dia rasakan perlahan berubah menjadi kemarahan. Dia takut akan kehilangan kendali, memaki Aaron, dan merusak citra elegan yang selama ini dia pertahankan.
“Tidak!” bentak Aaron dengan tangan gemetar membuat Yalena tersentak. “Ah, m–maaf,” katanya, tetapi tetap enggan melepaskan tangan Yalena.
Yalena menatapnya dengan dingin. Jantungnya berdegup kencang, dan dia khawatir tidak bisa menahan diri untuk tidak membanting pria kurang ajar itu. “Tolong lepaskan tangan saya,” pintanya dengan nada tegas, berusaha tetap tenang. Dalam hati, dia memperingatkan diri tentang citra baik dan wajah cantiknya yang tidak boleh terkena stres. Yalena berusaha mengendalikan emosi dan mimik wajahnya.
Aaron menatap Yalena dengan tatapan yang campur aduk antara rasa bersalah dan keputusasaan. “Aku hanya ingin bicara ... kumohon ....”
Yalena menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam kekesalannya. “Ini tidak pantas. Kamu sudah membuatku merasa sangat tidak nyaman.”
“A–aku minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti ini. Aku hanya ingin mengobrol denganmu.” Aaron masih tak melepaskan pergelangan tangan Yalena.
Yalena menyeringai sinis, merendahkan suaranya, berbisik, “Kamu pikir, kamu siapa? Kamu ….”
Hingga ketika datang pelanggan baru, seorang pemuda. Dia melihat aksi tarik menarik halus di antara Yalena dan Aaron. Melihat air muka suram Yalena, dia pun menyimpulkan sesuatu.
“Sayang, akhirnya aku menemukanmu!” serunya, lalu memeluk Yalena dengan lembut, membuat Aaron terkejut sampai melepaskan genggamannya. Luka dalam tatapan Aaron mengintensif, terpukul oleh kejadian ini.
Yalena—terkejut oleh tindakan kurang ajar itu—menatap pemuda tersebut dengan kesal. Namun, dia segera menyadari kesempatan ini dan memanfaatkan situasinya. “Oh, Aaron,” kata Yalena, mengikuti peran yang dimainkan pemuda itu. Dia yang marah ingin memberi Aaron pelajaran. “Ini pacarku, Luca. Tampan, bukan?”
Luca Elgort merupakan teman satu fakultas Yalena, mahasiswa tampan dan populer yang menjadi incaran para hawa di universitas mereka. Tiada wanita yang tidak mengenal Luca di universitas tersebut. Tatapan tegasnya membuat Aaron semakin terpojok. “Dia siapa?” Luca memindai Aaron dari atas hingga ke bawah.
“Bukan siapa-siapa,” balas Yalena cepat, ingin segera pergi dari sana. “Bisa kita pergi sekarang?” Dia menatap Luca dengan senyuman hangat yang dipaksakan.
“Tentu. Ayo!” Luca merangkul Yalena dengan lembut dan mengarahkan dia ke pintu keluar—menatap tajam Aaron, menunjukan ketidaksukaannya—disambi berpamitan pada pemuda itu sebagai formalitas. Aaron berdiri diam, tak mampu merespons.
Setelah jauh dari kafe, rangkulan Luca pun lepas. Yalena menoleh kepada Luca dengan ekspresi lega. “Aku berhutang padamu. Terima kasih. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu tidak datang.” Kemudian membatin, “Aku mungkin akan meledak, mencaci maki, lalu membanting pria itu.”
Luca mengangguk seraya tersenyum ramah, tatapan matanya penuh perhatian. “Tidak masalah. Itu hanya bantuan kecil. Bukan apa-apa.”
Yalena mengangguk, menghela napas panjang untuk menenangkan diri. “Aku sangat menghargai apa yang kamu lakukan.” Dia teringat cokelat hangat yang dibawanya. “Ah, iya. Sebagai ucapan terima kasih, terima lah ini.”
Luca melambaikan kedua tangannya seraya tersenyum bersahaja, menolak. Karena dia membantu Yalena tanpa pamrih. “Oh, tidak perlu. Jangan. Itu bukan apa-apa. Sungguh.”
“Tidak. Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Jadi, terima lah. Untuk sekarang aku hanya bisa memberimu ini. Lain kali, aku akan mentraktirmu.” Yalena mendesak dengan lembut, ingin menunjukkan rasa terima kasihnya.
Luca akhirnya menerima dengan senyuman. “Baiklah, terima kasih. Tapi, lain kali, traktir aku ya?”
Yalena tersenyum dengan elegan. “Tentu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Tengil Om CEO
Romance"Kamu siapa? Ada keperluan apa datang kemari?" Bastille terkejut mendapati anak kecil yang dia nikahi sepuluh tahun silam telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Namanya Yalena, Bastille terpaksa menikahinya yang kala itu berumur sepuluh ta...