Dua belas tahun yang lalu ….
“Kita mau ke mana, Yah?” tanya gadis delapan tahun itu pada ayahnya.
“Kita akan pergi ke rumah Kakek Simon. Si kembar baru saja pulang setelah mendapatkan gelar prestisius dari Harvard. Salah satu dari mereka akan memegang kendali Timothy Dynamics,” jelas Adriansyah pada Yalena–anak semata wayangnya.
“Apakah itu artinya salah satu dari mereka akan menjadi bos Ayah?” Yalena melihat ayahnya mengangguk seraya tersenyum. “Kalau begitu, aku harus bersikap baik agar Ayah tidak mendapatkan masalah.”
Adriansyah tergelak mendengarkan ucapan penuh perhatian dari Yalena. “Jangan menahan diri, jadilah diri sendiri. Tapi Ayah akan berterima kasih jika kamu bersikap baik.”
“Baik, Ayah.” Yalena menganggukkan kepala seraya tersenyum lebar.
Keluarga Brawijaya dan Timothy memiliki hubungan yang erat dari generasi ke generasi. Almarhum Raditya–kakeknya Adriansyah–adalah ilmuwan berbakat yang terlibat dalam proyek-proyek penting yang membantu membangun fondasi teknologi perusahaan. Raditya adalah sosok visioner yang menanamkan benih inovasi yang terus tumbuh di Timothy Dynamics.
Dr. Pandhita Brawijaya–ayah Adriansyah–melanjutkan warisan tersebut. Sebagai tokoh kunci dalam pengembangan teknologi senjata canggih, dedikasi dan keahliannya telah membantu perusahaan mencapai banyak pencapaian signifikan. Pandhita dikenal karena kepiawaiannya dalam mengembangkan teknologi yang tidak hanya efektif tetapi juga inovatif.
Adriansyah Brawijaya merupakan keturunan ketiga dalam keluarga Brawijaya yang terus menjalin hubungan erat dengan Timothy Dynamics. Lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang menghargai ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi, Adriansyah menempuh pendidikan tinggi di universitas terkemuka sebelum bergabung dengan Timothy Dynamics.
Sebagai ilmuwan yang dihormati, Adriansyah berkontribusi pada proyek-proyek penting perusahaan, melanjutkan warisan keluarganya dengan integritas dan visi yang sama. Namun, dia juga membawa beban berat di pundaknya: Sindrom Brawijaya–penyakit genetik yang memengaruhi kesehatan keluarganya dan memperpendek umur mereka, membatasi hidup mereka rata-rata hingga usia empat puluhan.
Adriansyah bertekad untuk menemukan pengobatan bagi penyakit ini, bekerja tanpa lelah di laboratorium untuk mencari terobosan yang dapat menyelamatkan nyawa dirinya dan keluarganya, mematahkan kutukan 40 tahun keluarga Brawijaya. Dengan semangat juang dan cinta untuk keluarganya, Adriansyah berharap dapat mengatasi tantangan ini dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi putrinya–Yalena.
“Kakek Simon!” seru Yalena dengan gembira sembari melambaikan tangan.
“Selamat datang, Yalena!” Simon tersenyum lebar pada gadis kecil yang berdiri di samping Adriansyah. “Rian, ayo masuk!” Tangannya terulur untuk menyambut sepasang ayah dan anak itu.
“Tuan Simon, bagaimana kabar Anda?” Adriansyah menyapa dengan ramah, menggenggam tangan Simon dengan erat.
Simon tertawa, suaranya penuh kehangatan. “Setelah menginjak sembilan puluh satu tahun, aku menjadi lebih sensitif dengan sapaan seperti itu. Apakah semuanya mulai mengkhawatirkanku yang semakin tua ini?”
Adriansyah tersenyum. “Tentu saja kami semua peduli, Tuan Simon. Tapi kami juga tahu Anda masih sangat kuat dan penuh semangat.”
Simon mengangguk, matanya bersinar dengan kebanggaan dan kebijaksanaan usia. “Kamu benar. Usia mungkin bertambah, tapi semangatku untuk Timothy Dynamics tidak akan pernah surut.”
Adriansyah mengulum senyum, lalu mengangguk. “Anda yang terbaik, Tuan Simon!”
“Kakek Simon, si kembar mana?” Yalena celingukan mencari cucu-cucu Simon yang sepanjang perjalanan tadi ayahnya ceritakan.
“Oh, mereka ada di taman belakang. Sedang bersantai,” jawab Simon, matanya berbinar penuh kebanggaan.
“Ayo, Yalena. Mari kita temui mereka,” ajak Adriansyah, menggenggam tangan putrinya dengan lembut.
Mereka bertiga berjalan melewati koridor rumah besar itu, menuju taman belakang yang dipenuhi bunga-bunga dan pepohonan hijau. Di sana, dua pemuda yang identik sedang duduk di sebuah meja: yang satu sedang membaca buku, sedangkan yang lainnya mengotak-atik gitar.
Senyuman bersahaja lantas merekah dari wajah Bastille dan Brayan. Bastille menutup buku yang sedang dibacanya, sedangkan Brayan menaruh gitar yang sedari tadi dia perbaiki, lalu keduanya beranjak menyapa Adriansyah dengan ramah.
Senyuman bersahaja lantas merekah dari wajah Bastille dan Brayan. Bastille menutup buku yang sedang dibacanya, sedangkan Brayan menaruh gitar yang sedari tadi dia perbaiki, lalu keduanya beranjak menyapa Adriansyah dengan ramah.
Bastille menatap Adriansyah dengan tegas. "Selamat datang, Om Rian. Apa kabar?" ucapnya singkat, tetapi penuh wibawa.
Brayan, dengan senyuman hangatnya, menambahkan, "Om Rian! Lama tidak berjumpa. Bagaimana perjalananmu ke sini?" Dia menyambut dengan ramah dan antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Tengil Om CEO
عاطفية"Kamu siapa? Ada keperluan apa datang kemari?" Bastille terkejut mendapati anak kecil yang dia nikahi sepuluh tahun silam telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Namanya Yalena, Bastille terpaksa menikahinya yang kala itu berumur sepuluh ta...