33. Hobi Rahasia

2 0 0
                                    

SugarDaddy: Pulanglah. Malam ini kita makan malam di rumah kakek.

Setelah membalas pesan dari Bastille, Yalena segera mengumpulkan buku-buku yang ingin dibelinya. "Aku harus pulang sekarang," ujarnya sambil menyusun buku-buku tersebut. "Ada acara mendadak." Dia memeluk tumpukan buku, menoleh pada Elijah sebelum melangkah menuju kasir.

Elijah yang terkejut, buru-buru merapikan buku pilihannya dan mengejar Yalena ke kasir. "Aku juga sudah selesai. Mau aku antar pulang?" tawarnya cepat, berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya.

Yalena menoleh, sedikit mengernyit bingung. "Bukankah kamu bilang tidak punya kendaraan?" Dia memindai ponselnya pada layar kasir setelah diberitahu total pembayarannya.

Elijah menyeringai kikuk, menggaruk kepalanya dengan canggung. “Oh, maksudku, aku … bisa mengantarmu pakai angkutan umum?” 

Yalena terkekeh mendengar usahanya. "Tidak perlu," tanggapnya dengan senyum tipis. "Supirku sebentar lagi sampai."

"Oh … ya, baiklah." Elijah memaksakan senyum tipis, menyesalkan keadaan itu. Seharusnya dia berpura-pura berasal dari kelas menengah, sehingga bisa mengaku punya motor atau mobil, bukan berpura-pura miskin seperti ini.

"Aku duluan, Elijah. Sampai jumpa besok!" Yalena melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam Mercedes hitam metalik yang menjemputnya.

“Sampai jumpa, Yalena!” Elijah membalas lambaian itu dengan senyum ceria, tetapi begitu mobil Yalena melaju, ekspresinya berubah dingin. Dia menoleh ke kanan dan kiri dengan waspada, memperhatikan beberapa pria berpakaian kasual yang perlahan meninggalkan tempat setelah Yalena. Mereka: pengawal yang dipekerjakan oleh Bastille untuk menjaga Yalena dari kejauhan, memastikan keselamatannya tanpa diketahui oleh siapapun.

Yalena mengirim pesan singkat kepada Athena—ketua tim terapis pribadinya, memintanya dan tim untuk bersiap. Ada makan malam mendadak malam ini, dan dia tidak mungkin menghadirinya dengan penampilan sekarang. Setidaknya, dia harus terlihat segar dan bebas dari kesan lelah. "Bisa lebih cepat, Pak?" tanyanya, mendesak kepada sopirnya.

“Bisa, Bu!” sang sopir mengangguk cepat, lalu segera menekan pedal gas, membuat Mercedes-Benz S-Class itu meluncur lebih cepat di jalanan. 

Sementara mobil melaju, Yalena meraba kulit wajahnya yang terasa lelah dan sedikit lengket. Dia tahu betul bahwa kulitnya butuh perawatan cepat agar terlihat segar, terutama setelah seharian beraktivitas. Dia hanya berharap masih ada waktu untuk menyegarkan penampilannya sebelum makan malam.

Untung saja, waktu perjalanan yang biasanya 30 menit berhasil dipangkas menjadi 12 menit. Masih ada waktu satu jam sebelum makan malam dimulai. Begitu tiba, Yalena langsung bergegas mandi dan berpakaian dengan bantuan para pelayan yang cekatan dan profesional.

Yalena merasa lega ketika perawatan kulit dan riasan sederhananya akhirnya selesai, tepat sebelum Bastille tiba untuk menjemputnya. 

Seperti biasa, pria itu selalu suka melihat wajah cantik istrinya. Namun, Bastille tidak bisa memberikan pujian yang layak untuk penampilan Yalena, karena setahu sang istri, dirinya tunanetra. Meskipun begitu, dia setengah hati membohonginya, sebab ada kalanya tindakan dan kata-katanya membuat Yalena curiga akan keadaan sebenarnya.

“Selamat malam, Om Ganteng,” sapa Yalena kala memasuki mobil, lalu duduk di samping Bastille.

“Selamat malam.” Bastille kembali tenggelam dengan laptop dan perangkat jelamanya, tetapi Yalena memaklumi itu. Bahkan, dia merasa kagum, sebab kekurangan Bastille tidak menjadi hambatan dalam memimpin perusahaan maupun menjatuhkan mental suaminya.

“Gimana pekerjaan, Om, hari ini?” Yalena memulai percakapan, berbasa-basi.

"Sibuk seperti biasa." Bastille tetap fokus, jemarinya dengan cepat meluncur di atas bantalan sentuh laptop, seakan dunia di sekitarnya tak berarti.

Yalena menopang dagu sambil mengamati suaminya dengan tatapan lesu. “Sepertinya pekerjaan, Om, selalu banyak. Apa, Om, tidak lelah?” tanyanya iseng.

“Terkadang,” jawab Bastille datar, tanpa jeda dalam pekerjaannya. “Manusiawi jika merasa lelah.”

“Om, termasuk workaholic, ya?” Yalena sedikit mengernyit, menatap Bastille penuh minat.

Senyum tipis muncul di wajah Bastille. “Aku tidak segila itu,” sahutnya singkat, matanya tetap tertuju pada layar. “Masih dalam batas normal.”

Yalena sedikit mendesah, menyandarkan punggung ke sandaran jok. “Benarkah? Tapi, Om, selalu sibuk dengan headset dan laptop di mana pun?” Manik matanya memandang Bastille tak berhasrat.

Bastille masih tak mengacuhkan Yalena. “Sungguh?”

“Hmm hmm.” Yalena mengangguk, bibirnya melengkung dalam senyum tipis. “Aku sering melihat, Om, sibuk dengan laptop, bahkan saat sedang bersantai minum kopi di balkon.”

Bastille mengernyit, jemarinya membeku di atas bantalan sentuh. “Di balkon? Bagaimana kamu tahu?”

Seperti tersengat listrik, Yalena buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Dia hampir mengungkapkan hobi rahasianya yang diam-diam suka mengamati Bastille dari jendela kamarnya. 

Balkon kamar suaminya cukup jauh, sehingga dia biasa melihatnya dengan bantuan teropong jarak jauh. Yalena tersenyum kecil, berusaha mengalihkan perhatian. "Oh, ya ... itu James yang mengatakannya ...."

“Oh, ya? Sepertinya James terlalu ember. Aku harus memecatnya.” Bastille menutup laptopnya seraya tersenyum tipis, menegakan bahunya.

“A-apa? Tidak! Jangan dipecat.” Yalena buru-buru menanggapi, wajahnya sedikit pucat. “Ini bukan salahnya. Dia cuma keceplosan. Eh, maksudku .…” Yalena berusaha meralat ucapannya, mulai merasa panik. “Aku yang iseng bertanya, dan dia jawab. I—itu saja yang terjadi,” lanjutnya, suaranya terdengar gagap, seperti anak kecil yang ketahuan berbohong.

Bastille menyeringai kecil, menikmati kegugupannya. “Benarkah? Jadi, kamu sering menanyakan hal-hal yang tidak perlu?”

Yalena tertawa gugup, mencoba tidak membuat Bastille yang seolah tahu lebih dari yang dia katakan itu curiga. "A—ah, ya ... semacam itu," balasnya sambil tersenyum tipis, berusaha mengalihkan topik.

Istri Tengil Om CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang