36. Pembunuh Bayaran

2 0 0
                                    

Dengan hati-hati, Dr. Maes mulai membersihkan luka di pipi Bastille, sedangkan Yalena memandangi setiap gerakan sang dokter dengan cemas. Saat kapas yang basah dengan antiseptik menyentuh luka, Yalena meringis meski Bastille tak bereaksi, padahal dia yakin itu pasti perih.

"Untung saja tidak terlalu dalam," gumam Dr. Maes, sembari mengoleskan salep ke luka yang sudah bersih. "Namun, ada kemungkinan akan meninggalkan bekas jika tidak dirawat dengan baik. Akan lebih baik jika Anda menghindari tekanan atau benturan pada area ini selama beberapa hari."

Bastille hanya mengangguk lagi, tanpa banyak bicara. Yalena, yang sedari tadi diam, akhirnya bertanya khawatir. "Apakah lukanya akan sembuh dengan baik, Dok?"

Dr. Maes menoleh, tersenyum lembut. "Jangan khawatir, Nyonya. Luka ini akan sembuh dengan sempurna asalkan dijaga kebersihannya. Saya akan memberikan obat untuk mencegah infeksi."

Bastille tetap tenang di kursinya, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa menit, Dr. Maes selesai membalut luka di pipinya. "Saya akan meninggalkan beberapa perban tambahan di sini. Gantilah balutannya setiap hari."

“Iya, Dok. Terima kasih,” ucap Yalena tulus.

“Sudah menjadi tugas saya, Nyonya.” Dr. Maes kembali tersenyum bersahaja sebelum pamit.

Sepeninggalan Dr. Maes, Bastille bangkit dari sofa tanpa banyak bicara, hendak ke kamar kakeknya. “Om, tunggu!” Yalena berjalan cepat menyusulnya usai mengantarkan dokter keluarga itu keluar.

“Hmm? Aku ingin melihat keadaan kakek,” ujar Bastille sambil sedikit menengok.

“Aku juga,” balas Yalena, nadanya khawatir namun tegas.

Keduanya berjalan bersisian menuju kamar Simon. Riak khawatir tampak jelas dari sorot mata Yalena saat melihat kakeknya tidur terbaring lemah di atas ranjang, selimut tebal membungkus tubuh tuanya. Di sampingnya, Brayan duduk di bibir ranjang dengan letih.

Brayan mendekat saat melihat mereka memasuki ruangan. “Kakek demam, Bast. Sebaiknya malam ini kalian menginap,” suaranya rendah, penuh rasa khawatir yang terpendam.

Bastille menatap Simon dalam-dalam, wajah kerasnya sedikit melunak melihat kondisi pria tua yang begitu dia hormati. “Baiklah,” ucapnya tanpa pikir panjang.

Yalena masih berdiri di sisi ranjang, memandangi Simon dengan sorot cemas yang tak kunjung pudar. Sementara itu, Bastille hanya mengangguk kepada Brayan sebelum meninggalkan kamar. Yalena tidak bergerak, memilih untuk tetap di sana, memperhatikan kakeknya sedikit lebih lama.

Bastille keluar dari kamar tanpa banyak kata, langkahnya pelan dan terukur saat dia menyusuri lorong yang familiar itu. Setiap langkahnya membawa kenangan yang tiba-tiba muncul ke permukaan, saat dia melewati dinding dan pintu yang dulu sering dilaluinya. Begitu sampai di kamarnya, dia berhenti sejenak, memandang pintu yang sudah lama tak disentuh. Tanpa ragu, dia membuka kenopnya dan masuk.

Kamar tidur Bastille terasa besar dan sunyi, hampir sebesar kenangan yang terpatri di dalamnya. Dinding berwarna hijau tua mendominasi ruangan, memancarkan keheningan yang tegas. Tirai hitam tebal menggantung di jendela, seperti selalu siap untuk menutup dunia luar dan menenggelamkan kamar dalam kegelapan. Di sudut ruangan, sebuah perangkat komputer lengkap masih berdiri seperti dulu, meskipun sudah lama tak tersentuh, seolah menunggu pemiliknya kembali.

Ranjang besar dengan sprei monokrom terletak di tengah ruangan, tetap seperti yang Bastille ingat. Tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali dia tinggal di sini. Sentuhan mewah ada di setiap sudut—lampu gantung berornamen perak dan karpet tebal yang terhampar di lantai kayu, semuanya terasa jauh dan dingin sekarang. Di sini, di rumah kakeknya, Bastille kembali menjadi dirinya yang dulu, seorang pria muda dengan pikiran yang penuh ambisi, tapi juga beban keluarga yang berat.

Dia duduk di bibir ranjang, memandang hampa ke jendela. Pikirannya masih berkutat pada peristiwa di meja makan tadi, sebuah momen di mana pamannya tiba-tiba menunjukkan wajah aslinya. Di ruangan ini, di mana Bastille dulu merencanakan banyak hal, sekarang malah dipenuhi dengan pertanyaan dan kebingungan. Udara dingin malam itu seperti turut meresapi pikirannya, membuatnya merasa lebih hampa dan terpisah dari kehidupan yang dia jalani.

Kenapa tiba-tiba pamannya itu bersikap agresif? Apakah ada sesuatu yang telah terjadi, yang tidak dia ketahui? Biasanya Mark selalu bergerak di balik bayangan, seserakah apa pun dia, dia akan tetap menjaga sikapnya bila berhadapan dengan keluarganya, menyembunyikan wujud aslinya, kecuali lidahnya yang pandai bersilat.

Akan tetapi, kali ini, apa penyebabnya? Bastille masih belum tahu apa-apa. Dan untuk memuaskan rasa ingin tahunya, dia pun bangkit dari duduk, merogoh ponsel, berjalan ke ruangan lain dalam kamarnya. Antonio di ujung sana, menerima panggilan telepon Bastille.

“Selamat malam, Tuan,” ucap sang asisten pribadi.

“Selamat malam. Ada yang ingin aku periksa. Apakah ada aktivitas mencurigakan yang sedang dilakukan Mark?” Bastille menyentuh dahinya, memejamkan mata.

“Tidak ada, Tuan.”

“Benarkah?” Bastille ragu, mungkin Antonio salah. Entah kenapa dia begitu yakin jika ada yang sudah terjadi dan dia lewatkan. Sebab hal semacam tadi tidak pernah terjadi sebelumnya: Mark menunjukan niat jahatnya di depan Simon dan mengancamnya secara terang-terangan.

“Iya, Tuan, saya yakin. Tapi ….” Suara Antonio terdengar ragu-ragu menyampaikan temuannya.

“Tapi apa?” sambar Bastille tidak sabaran. Dia berharap apa yang akan Antonio sampaikan memiliki kesinambungan dengan sikap Mark malam ini.

“Dua hari yang lalu Master Simon menemui pemimpin Sicarovkaya.”

“Apa?” Bastille terkejut mendengar laporan itu. Untuk apa kakeknya menemui pemimpin organisasi pembunuh bayaran berbahaya itu? Jangan-jangan ….

“Master menargetkan Mark dan anaknya.”

Istri Tengil Om CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang