25. Kemarahan

2 0 0
                                    

“Makasih banyak, Om! Aku suka hadiahnya!” Yalena memeluk kotak beludru itu dengan penuh gembira. Di dalamnya terdapat kalung berlian sebagai kado ulang tahunnya. Lalu, dengan antusias, dia beralih pada beberapa karton berisi penuh oleh-oleh dari London: pakaian, sepatu, tas, dompet, jam tangan, dan parfum eksklusif.

“Sama-sama,” balas Bastille, menyesap kopinya. Dia merasa puas melihat reaksi gembira Yalena. Jika dia tahu Yalena akan sesenang ini, Bastille mungkin sudah memborong semua barang bagus di London. Namun, ingatannya tiba-tiba melayang pada acara konferensi di London. Ada pembahasan pasal Covid 19 yang sedang mewabah di Asia. “Mulai sekarang, pakai masker setiap kali keluar rumah.”

“Kenapa? Apakah COVID-19 sudah masuk Prancis?” tanya Yalena penasaran. Dia melihat berita di televisi dan internet tentang wabah virus ganas ini. Mulanya, Yalena berpikir bahwa virus ini hanya akan berhenti di Wuhan dan tidak akan menyebar ke negara lain. Namun, pagi ini dia mendapatkan informasi bahwa virus yang dinamakan COVID-19 ini sudah mewabah di beberapa negara tetangga Tiongkok, seperti: Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan negara-negara lainnya.

“Ya, mungkin tidak akan lama lagi.” Bastille melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu satu jam yang dia alokasikan untuk menemui Yalena sudah hampir habis. Setelah ini, dia harus ke kantor, karena masih ada beberapa pekerjaan yang perlu diselesaikan.

“Emm … Om, tentang keinginan kakek, bagaimana?” tanya Yalena ragu-ragu. Dia merujuk pada harapan Simon akan keturunan. Yalena juga merasa bahwa sudah saatnya, mengingat usia Bastille yang cukup dewasa dan matang untuk menjadi seorang ayah.

“Keinginan?” ulang Bastille, curiga bahwa Yalena akan membicarakan tentang anak yang diharapkan Simon. Suasana hatinya seketika memburuk; dia tidak tahu doktrin macam apa yang telah diterapkan Simon pada Yalena. Namun, Bastille tidak ingin pembicaraan mereka mengarah ke topik itu.

“Tentang keturunan. Kakek ….” Yalena tersentak dan ikut bangkit dari duduk saat Bastille beranjak. “Om, tunggu!” Panik dia mengejar Bastille yang hendak pergi.

“Apa lagi?” Manik mata Bastille mengelih, sinis, enggan berbalik.

Yalena benar-benar terkejut mendapati tanggapan Bastille yang demikian. Hal itu membuatnya semakin gugup, tetapi dia bertekad untuk tetap mengatakannya. Semua ini dia lakukan demi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Dengan tangan yang berkeringat, Yalena mengepal, berusaha menenangkan diri. “Kasihan kakek. Dia ….”

“Kenapa kamu mengasihaninya? Apakah dia tua bangka yang tidak berdaya?” potong Bastille, mencibir dengan nada bicara yang ketus. 

Kemarahan telah menggumpal di dadanya, dimulai dari pertemuannya dengan Mark di London, lalu provokasi yang dilakukan pria paruh baya itu, dan kini Yalena malah menyulut bara api yang hampir menyala. “Selalu saja tentang anak, anak, dan anak! Memang, apa yang akan terjadi jika aku tidak memiliki anak?” Iris Bastille menatap Yalena nyalang, tetapi lantas mengusap wajahnya kasar, mendapati Yalena menunduk bungkam.

Yalena benar-benar terkejut menerima sambutan seperti itu dari Bastille. Dia terpegun, tak tahu lagi harus mengatakan apa. Sepertinya dugaannya memang benar, Yalena bukan tipe wanita idaman Bastille. Bastille mungkin merasa risih selalu diekori oleh 'anak kecil' bertubuh pendek sepertinya, seperti bayang-bayang yang selalu mengikutinya tanpa bisa berbuat apa-apa. Rasa minder itu semakin membebani pikirannya, merasa tidak cukup istimewa untuk mendapatkan perhatian yang layak.

Seandainya ada operasi atau terapi yang dapat meningkatkan tinggi badannya, Yalena pasti akan menjalaninya. Bastille—dengan tubuh tinggi tegap dan wajah rupawan—membuat Yalena merasa kecil. Wajar saja jika pria dewasa mengagumkan seperti dia menginginkan wanita dengan fisik sempurna, seperti Karlie Kloss.

Istri Tengil Om CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang