Setelah berhasil mengalahkan bayangan api, Jianyu, Meilin, dan Wei kembali menyusuri jalan berliku di dalam gua dengan semangat yang lebih kuat. Namun, perjalanan mereka belum selesai, dan di luar gua, hutan lebat menanti mereka—hutan yang menurut legenda penuh dengan roh penjaga dan rahasia yang terlupakan.
Langit mendung menggantung rendah ketika mereka melangkah keluar dari gua. Daun-daun bergemerisik dihembus angin, dan suara burung yang menakutkan berkicau dari jauh. Hutan di depan mereka tampak gelap dan misterius, seolah menyembunyikan sesuatu di balik bayangannya. Jianyu merasakan hawa dingin merayap di kulitnya, tapi ia berusaha tetap tegar. Baginya, tantangan ini bukan sekadar perjalanan, tetapi pengabdian untuk menyelamatkan desa mereka.
"Menurut peta, kita harus melintasi hutan ini untuk mencapai dataran di mana batu suci itu disembunyikan," ujar Meilin, sambil menunjukkan gulungan peta tua di tangannya.
"Aku pernah mendengar cerita tentang hutan ini dari kakekku," kata Wei, sedikit ragu. "Katanya, hutan ini memiliki kehidupan sendiri. Orang-orang yang masuk tidak selalu keluar dengan selamat."
Jianyu menepuk bahu Wei, memberi dukungan. "Tidak ada jalan kembali. Kita harus percaya pada diri kita dan saling menjaga."
Ketika mereka memasuki hutan, suasana menjadi semakin suram. Pohon-pohon tinggi menjulang, daunnya tebal dan gelap sehingga sinar matahari nyaris tak menembus. Hanya sedikit cahaya yang menyelinap di antara celah dedaunan, memberikan nuansa mistis di sekeliling mereka.
Setelah beberapa langkah, mereka mulai merasakan kehadiran yang aneh. Bukan makhluk hidup, tetapi seperti bisikan halus yang melayang di udara. Jianyu mendengarkan dengan seksama, mencoba menangkap arti dari bisikan-bisikan yang nyaris tidak terdengar itu.
"Apakah kalian mendengar itu?" tanya Jianyu, suara serak karena rasa waspada.
Meilin mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Seperti ada yang memanggil kita... suara lembut, tapi terasa dalam."
Wei mencoba memfokuskan pendengarannya, dan dengan tiba-tiba ia menunjuk ke arah pohon yang tampak berbeda dari yang lain. Pohon itu memiliki ukiran aneh di kulitnya, menyerupai simbol kuno yang mengingatkan mereka pada cerita kakek mereka.
Mereka bertiga mendekat, dan bisikan itu semakin jelas, seolah suara hutan berbisik melalui pohon itu. Jianyu mengulurkan tangan untuk menyentuh ukiran tersebut, dan saat jemarinya menyentuh kulit pohon, suara itu berubah menjadi kata-kata yang lebih jelas.
"Anak-anak pemberani, kalian telah memikul beban yang besar. Tapi ingatlah, kejujuran adalah kekuatan kalian, dan kebersamaan adalah kunci untuk membuka jalan."
Kata-kata itu menghantui pikiran mereka, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Jianyu menarik napas dalam-dalam, mencoba memahami arti dari pesan tersebut.
"Apa maksud dari 'kebersamaan adalah kunci'?" tanya Wei, kebingungan tergambar jelas di wajahnya.
Meilin memikirkan hal itu. "Mungkin... kita harus bekerja lebih erat. Mungkin hanya dengan saling menjaga, kita bisa melalui semua ini."
Saat mereka melanjutkan perjalanan, mereka mulai sadar bahwa setiap langkah terasa lebih berat, seolah hutan mencoba menahan mereka. Jianyu, yang berjalan paling depan, merasakan tanah di bawahnya bergerak. Tanpa peringatan, tanah di sekelilingnya tiba-tiba membuka menjadi lubang besar!
Jianyu hampir terjatuh, tapi Wei dan Meilin dengan sigap menariknya kembali. Mereka bertiga jatuh terduduk, terengah-engah, merasa ngeri dengan apa yang baru saja terjadi.
"Kita memang harus terus bersama. Bahkan untuk melangkah, kita tidak boleh saling melepaskan," ujar Jianyu, dengan tatapan serius. "Jika tidak, kita bisa terjebak di sini selamanya."
Mereka saling bergandengan tangan, bergerak lebih hati-hati, saling menjaga satu sama lain. Dengan cara itu, mereka mulai melihat jalan setapak yang sebelumnya tersembunyi. Jalan tersebut seakan memandu mereka ke arah yang benar, seolah hutan mengizinkan mereka lewat sebagai penghargaan atas kebersamaan mereka.
Setelah perjalanan panjang yang penuh tantangan, mereka akhirnya tiba di sebuah dataran kecil. Di tengah-tengah dataran itu terdapat sebuah batu besar, dengan simbol naga terukir di permukaannya—batu suci yang selama ini mereka cari.
Namun, ketika mereka mendekati batu tersebut, sebuah suara berat terdengar, menggelegar di seluruh dataran. "Siapa yang berani menginjakkan kaki di tanah suci ini?"
Dari balik bayangan pepohonan, muncul sosok naga raksasa, kulitnya berkilauan dengan sisik emas yang memancarkan cahaya magis. Naga itu menatap mereka dengan tatapan penuh kebijaksanaan, sekaligus penuh kekuatan.
"Aku Jianyu, dan ini temanku, Meilin dan Wei," jawab Jianyu, suaranya tetap tegar meski hatinya berdebar kencang. "Kami datang untuk meminta bantuanmu, wahai Naga Agung, untuk menyelamatkan desa kami dari kehancuran."
Naga itu mengangguk perlahan, matanya yang tajam menilai mereka. "Keberanianmu sudah terbukti, tapi apakah hatimu cukup bersih untuk menerima kekuatan yang kau cari?"
Jianyu bertukar pandang dengan Meilin dan Wei, lalu berkata dengan tegas, "Kami tidak datang hanya untuk diri kami sendiri, tapi untuk semua orang yang kami cintai."
Naga itu menatap mereka dengan tatapan penuh penghargaan. "Jika begitu, kalian layak menerima petunjuk dari api yang akan mengalahkan kegelapan."
Naga tersebut mengangkat cakarnya, menunjuk ke arah batu suci di hadapan mereka. Batu itu tiba-tiba bersinar, memperlihatkan ukiran yang sebelumnya tak terlihat—sebuah pola rumit yang menunjukkan jalan menuju kekuatan yang mereka butuhkan.
Dengan rasa syukur dan harapan, mereka membungkuk menghormati sang Naga. Saat mereka melangkah mundur, naga itu menghilang bersama kabut hutan, meninggalkan mereka dengan petunjuk penting yang akan menjadi panduan di sisa perjalanan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adventure Behind the Fireworks (Indonesia Version)
AdventureDi sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung, legenda kuno tentang makhluk jahat bernama Nian kembali menghantui. Setiap tahun, saat Imlek, Nian bangkit untuk menghancurkan desa, dan hanya kembang api serta ornamen merah yang dapat mengusirnya...