Bab 1: Awal

556 34 1
                                    

Selamat membaca

Suatu malam, Zee dan Marsha menerima panggilan tugas mendadak. Mereka harus segera bersiap menuju pelabuhan, tempat mereka akan memulai misi bersama untuk pertama kalinya. Meskipun pernikahan mereka masih di awal, dan hubungan mereka masih dalam tahap saling mengenal, Zee dan Marsha sama-sama profesional dalam pekerjaan mereka. Marsha, sebagai dokter, sudah mempersiapkan perlengkapan medis, sementara Zee, sebagai perwira Angkatan Laut, memastikan semua berjalan sesuai prosedur.

Saat mereka hendak keluar rumah dan memasukkan barang-barang ke dalam kendaraan, Zee menyadari bahwa Marsha tampak lelah dan sedikit pucat. Marsha berusaha mengabaikan rasa sesak yang mulai dirasakannya, berusaha tetap tenang agar tidak menimbulkan kekhawatiran. Namun, tiba-tiba ia terhenti, memegangi dadanya dengan napas yang semakin berat.

Zee, yang memperhatikannya dengan waspada, segera berlari mendekatinya. "Marsha, kamu tidak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir, suaranya tegas namun lembut.

Marsha berusaha tersenyum, tetapi wajahnya jelas menunjukkan rasa sakit. "Aku... aku hanya merasa sedikit sesak," katanya sambil berusaha mengatur napas.

Zee dengan sigap memegang bahunya, membantunya untuk duduk dan mengambilkan air minum. Ia memastikan Marsha bisa bernapas dengan tenang, memberikan ruang dan waktu baginya untuk pulih. "Marsha, istirahat sebentar. Kalau kamu tidak merasa baik, kita bisa mencari cara lain."

Melihat kepedulian Zee yang begitu tulus, Marsha merasa sedikit lega. Setelah beberapa saat dan napasnya mulai stabil, Marsha tersenyum kecil dan berkata, "Aku tidak ingin menjadi beban di misi ini, Zee. Aku bisa melakukannya."

Zee menatapnya dengan lembut, namun tegas. "Kamu bukan beban, Marsha. Kesehatanmu adalah prioritas. Jangan pernah memaksakan diri jika tidak memungkinkan. Jika kamu butuh waktu, kita bisa menundanya sebentar."

Mendengar kata-kata Zee, hati Marsha terasa hangat. Di balik sikap dingin dan disiplin Zee sebagai seorang tentara, ia melihat ketulusan yang selalu menghargai perasaannya. Setelah beberapa saat, Marsha merasa lebih baik dan siap untuk berangkat. Malam itu, perhatian kecil dari Zee mulai membukakan hatinya sedikit demi sedikit, membuatnya mulai merasakan kehangatan yang selama ini ia rindukan.

Di perjalanan menuju pelabuhan, suasana terasa canggung di dalam mobil. Zee menyetir dengan tenang, sementara Marsha duduk di sampingnya, sesekali melirik keluar jendela untuk menghindari kontak mata. Keheningan menyelimuti mereka, seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan keduanya, walaupun mereka duduk berdekatan.

Namun, di tengah perjalanan, mereka mendapati jalanan macet parah. Lampu-lampu kendaraan berjejer memanjang, dan suara klakson terdengar bersahutan. Zee menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa kesal, sementara Marsha merasa sedikit gelisah, khawatir mereka akan terlambat sampai di pelabuhan.

Berusaha mencairkan suasana, Zee akhirnya berkata, "Sepertinya ini akan menjadi perjalanan yang cukup panjang." Ia melirik Marsha, berharap bisa memulai percakapan.

Marsha tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Ya... kelihatannya seperti itu," jawabnya singkat, masih merasa canggung untuk lebih banyak bicara.

Setelah beberapa saat, Zee mencoba lagi. "Aku tahu ini bukan awal yang mudah untuk kita. Tapi aku ingin kita bisa menjalani semuanya dengan lebih baik."

Marsha menoleh, sedikit terkejut dengan keterbukaan Zee. Mendengar kata-katanya, hatinya perlahan mulai luluh, dan ia pun menjawab, "Aku juga berharap kita bisa beradaptasi. Maaf kalau aku belum bisa bersikap terbuka."

Keheningan dalam kemacetan malam itu akhirnya terpecah oleh percakapan ringan antara mereka, perlahan menghangatkan suasana di antara mereka. Terkadang, momen-momen kecil seperti ini justru membuat mereka semakin memahami satu sama lain.

Kita dan Samudra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang