Selamat Membaca ❤️✨
“Bas, maaf tadi aku malah nangis. Makasi, ya udah ditemenin,” kata Bulan setelah lift yang mereka naiki sampai di lantai empat.
“Iya, sama-sama,” balas Baskara.
Kedua orang itu keluar dari lift lalu berjalan bersama menuju lorong ke arah ruangan mereka yang berdekatan.
Suara roda tiang infus terdengar berisik di dalam keheningan yang melanda.
Cklek.
Pintu kamar Bulan dibuka dari dalam dan memperlihatkan Mama Bulan yang terlihat kebingungan.
“Ya ampun, Mama cariin ternyata keluar bareng Baskara, toh...”
“Ah, iya Ma. Maaf tadi Bulan keluar. Bosen di kamar terus, Ma,” kata Bulan.
“Kan gak boleh, Sayang... Tadi dokter sama tenaga medis lain sempet datang untuk visit. Itu katanya harusnya perban kamu udah boleh dibuka. Kepala kamu masih sakit jangan jalan-jalan dulu,” kata Mama Bulan.
“Ah, iya harusnya jangan jalan keluar dulu,” kata Baskara seolah ikut menasehati Bulan juga.
“Oalah, kamu juga mestinya jangan ikutan keluar kamar, Bas. Kalian berdua janjian keluar, ya?” kata Mama.
“Enggak kok, Ma,” bantah Bulan.
Baskara tersenyum saja mendengarnya.
“Loh, kamu nangis?” terka sang ibu.
“Enggak... Siapa bilang?” Bulan salah tingkah karena dituduh menangis. Gadis itu memilih untuk membuka pintu agar percakapannya dengan sang ibu berlangsung di dalam kamar saja.
“Bas, aku duluan, ya,” kata Bulan lalu segera masuk ke dalam kamar.
Baskara lebih dulu keluar dari rumah sakit karena ia tidak lebih parah ketimbang Bulan yang kepalanya memang harus lebih diberi perhatian lebih.
Pria itu sempat pamit pada Bulan.
Hingga hari ini, Baskara masih saja memikirkan Bulan. Bahkan saat ia sudah kembali datang ke kantor dengan kepala yang harus dicek rutin untuk melihat apakah luka jahitan di bagian samping kepalanya benar-benar sudah lebih baik.
Pria itu beralih memandang ke arah kalender duduk di atas meja kerjanya.
“Tanggal 10 November. Harusnya di tanggal ini aku sama Bulan dinner di restoran,” pria itu melingkari angka kalender dengan ballpoint.
“Coba aja kalo itu beneran...” gumam Baskara diikuti dengusan kecilnya. Kepalanya menggeleng kecil. “Mana mungkin.”
Baskara tersenyum bak orang gila mengingat momen betapa bahagianya ia saat bersama dengan Bulan.
“Kalau aku menikah sama Bulan, apa benar-benar sebahagia itu, ya?” monolognya.
Baskara beralih melihat meja ruangannya yang tak memiliki foto pernikahan dirinya dengan Bulan.
Ah, ia benar-benar ingin kembali ke masa itu. Hidup dan tinggal bersama Bulan. Ia rasa ia akan bahagia.
Tok. Tok. Tok.
Pintu ruangan diketuk dari luar.
Baskara melihat ke arah pintu dan salah satu sisi dinding ruangannya yang terbuat dari kaca.
Pria itu menganggukkan kepalanya sehingga salah satu sekretarisnya masuk ke dalam ruangan.
“Pak, vendor iklan datang untuk bahas project,” kata staff laki-laki yang adalah sekretaris Baskara.
![](https://img.wattpad.com/cover/375818151-288-k208563.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
✓ 49. J - Our Sweet Dreams (Jangkku Ver)
ChickLit"Ini kapan kita nikahnya?" ⚠️ Berisi keuwuan