Harvor berlari melewati lorong-lorong rumah sakit, matanya bergerak liar mencari ke setiap sudut, berlari ke ruang demi ruang mencari sosok yang mengundang rasa panik dalam dirinya. Setiap langkahnya terasa berat, seperti ada beban yang terus menekan dadanya.
Namun saat akhirnya ia menemukan kamar yang disebutkan dalam surat, pandangannya langsung kosong seperti ruangan yang kosong itu. Hanya ada kasur pasien yang tampak berantakan dan tiang infus yang menggantung dengan jarum yang masih terpasang, seolah baru saja dilepas paksa.
Saat itu juga Harvor merasa jantungnya telah berhenti berdetak. Ke mana... kenapa tidak ada di sini?
Harvor menyentuh permukaan kasur yang masih hangat memberi tanda bahwa penghuninya baru saja beranjak dari sana, seseorang mungkin baru membawanya pergi.
Tatapannya bergerak menyusuri ruangan, seakan berharap sesuatu–apa pun yang bisa memberinya petunjuk lebih jelas tetapi semuanya hanya menambah rasa hampa di dalam hatinya. Harvor tidak menemukan jejak apa pun.
Tanpa sadar kakinya lemas dan ia terjatuh ke lantai, terduduk di ubin rumah sakit yang dingin. Isak tangisnya mulai terdengar, mengguncang tubuhnya yang terlihat lelah.
Air mata mengalir tanpa bisa dibendung lagi, menyatu dengan darah yang mulai menetes dari tangannya yang tanpa sadar sudah memukul tembok rumah sakit berkali-kali, mencoba mengeluarkan semua rasa sakit yang tertahan.
Tangannya terluka, namun Harvor tidak merasakan sakit. Yang terasa hanya kehampaan serta kehilangan yang mendalam. Perasaannya dipermainkan seperti boneka tali yang ditarik oleh seseorang.
Saat itu, sebuah pesan yang masuk ke ponselnya. Pesan itu seperti pisau yang menancap ke dalam lukanya.
Selalu terlambat dan kali ini kau terlambat lima menit, sungguh kau tidak mencintainya, Harvor.
Tangannya gemetar saat ia mencoba menatap layar ponselnya, berusaha untuk membalas pesan misterius itu. Namun tak membutuhkan waktu yang lama untuk Harvor menyadari bahwa nomor pengirimnya adalah nomor sekali pakai, sebuah nomor yang langsung dimusnahkan setelah pesan terkirim.
Meski begitu Harvor masih berusaha keras melacak asal nomor tersebut. Namun semua usahanya hanya sia-sia, nomor itu telah menghilang. Sang pengirim benar-benar mengatur semuanya dengan sangat hati-hati.
Dan tujuan orang ini bukanlah Halvet, melainkan Harvor. Sejak awal peneror ini menggunakan sosok yang ia yakini sebagai Halvet sebagai senjata untuk menyerang Harvor, entah apa motif dan tujuannya.
Selalu terlambat.
Terlambat.
Itu kata kuncinya, bagaimana orang itu bisa tau bahwa Harvor selalu terlambat? Penyesalan terbesar Harvor yang masih menggerogotinya hingga kini adalah terlambat menyelamatkan Halvet.
Saat itu Harvor memang terlambat, dan hari ini pun sama, ia terlambat. Tetapi bagaimana orang itu seolah tau?
Suara dentingan lembut terdengar saat Harvor membiarkan ponselnya terjatuh ke lantai. Ia merasa dikepung dalam kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone Else's Hands
RomanceSetelah mengalami trauma mendalam dan kehilangan cinta pertamanya dalam sebuah misi rahasia membuat kehidupan Harvor, seorang prajurit khusus kehilangan arah dan tujuan hidupnya. Bayang-bayang akan Halvet, cinta pertamanya yang terus menghantui kehi...