24

189 45 5
                                    

Nova pulang dengan perasaan yang tak terarah. Bayangan tubuh Maya tanpa busana dalam panggilan video beberapa detik yang lalu menghantui pikirannya.

Hanya saja, bukan wajah Maya yang ia bayangkan. Justru ia membayangkan kalau itu adalah Anggia sang istri yang ada dalam panggilan video tersebut dan menggodanya.

Namun, itu jelas tidak mungkin. Anggia adalah gadis baik. Gadis yang ia tahu pasti bisa menjaga diri untuk tidak disentuh oleh laki-laki manapun sebelum sebuah akad menghalalkannya.

Berbeda hal dengan Maya, dimana perempuan itu sudah pernah melakukannya sebelumnya bahkan berani bergerak meminta dulu padanya dan mengajarinya tentang hal itu —yang berujung membuatnya ketagihan.

Ya, semua kebobrokannya, sifat buruknya, berasal dari satu perempuan bernama Maya. Dan bukannya risih, Nova justru senang dan menerima Maya apa adanya.

Pikirnya dulu hanya satu, tidak peduli bagaimanapun Maya dulunya —sebelum gadis itu menjalin hubungan dengannya, yang jelas ia mencintai perempuan itu. Jadi ia akan menerima semua kekurangan dan kelebihan gadis itu tanpa peduli dengan omongan orang lain tentang gadis itu.

Ia bahkan juga tidak peduli pada tatapan jijik disertai umpatan dan cacian yang Hasbi dan Nakula berikan kepadanya —saat ia bercerita tentang bagaimana puasnya dirinya setelah bergaul dengan Maya. Dan setelah ditelaah, pantas saja kenapa Hasbi dan Nakula begitu tidak rela kalau gadis sebaik Anggia harus menjadi miliknya.

Ternyata dia memang seburuk itu dahulu. Ia sudah rusak, dan ia takut bagaimana kalau suatu saat nanti Anggia mengetahui masa lalunya yang buruk.

Sekali lagi, ia tidak mau Anggia pergi dari hidupnya.

"Kok, lesu?"

Nova mengerjap. Laki-laki itu bahkan tidak sadar sudah berdiri di ambang pintu dengan Anggia yang berdiri menyambutnya. Dan ia juga melupakan pesannya sendiri yang ia kirimkan pada Anggia tadi pagi dimana ia akan membeli makanan di luar dan meminta Anggia untuk tidak memasak malam ini.

Tidak menjawab, Nova melepas sepatunya dan masuk setelah Gia meraih tangannya untuk dicium.

Nova semakin merasa bersalah dan takut karenanya. Gia terlalu baik, berbanding terbalik dengan dirinya.

Tanpa sadar, dalam sekali hentakan Nova menarik tubuh Gia untuk masuk ke dalam pelukannya. Mencoba menyalurkan kecemasan dan ketakutannya. "Jangan tinggalin aku ya, Gi. Tolong, jangan pernah tinggalin aku. Aku nggak mau kehilangan kamu, Gi. Aku beneran sayang sama kamu."

Gia mengerjap terkejut akan ucapan dan perbuatan Nova. Namun gadis itu memilih membalas pelukan Nova seraya mengusap punggung lebar laki-laki itu pelan. "Aku di sini, mas. Tenang aja, aku akan tetap di sini dan nggak akan kemana-mana."

~~ 24 ~~

Nova memeluk tubuh Gia begitu erat. Saat ini mereka tengah duduk berdampingan di sofa ruang tamu sembari menonton televisi yang menampilkan salah satu film kegemaran sang istri.

Makan malam yang Nova beli melalui online sore tadi pun sudah tandas sejak satu jam yang lalu dan berhasil membuat keduanya kekenyangan di atas sofa.

"Ada yang ganggu pikiran kamu, ya, mas?"

Sejujurnya, sedari tadi Gia tahu kalau ada yang salah dengan Nova. Terlebih saat Nova pulang dan langsung memeluknya dengan mata berkaca-kaca.

Ia tidak tahu apa yang sudah terjadi, dan sulit rasanya untuk menebak. Tapi Gia tahu kalau Nova benar-benar takut untuk kehilangan dirinya.

Seperti sekarang, setelah ia bertanya, Nova dengan linglung menatap dirinya dengan tatapan yang tak tentu arah.

"Mas bisa loh cerita ke aku apapun itu. Aku siap mendengarkan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OPTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang