Sudah tiga hari berlalu sejak Gia memberitahunya akan jadwal bepergian gadis itu —dan yang akan berangkat dua hari lagi. Dan selama tiga hari pula ia tidak bisa berpikir dengan baik sampai ia memilih untuk bercerita pada Hasbi akan kerisauan hatinya.
Namun jawaban Hasbi tidak membuatnya cukup puas. Temannya itu memintanya untuk percaya pada Gia sepenuhnya yang akan pergi karena bekerja —dan pastinya tidak akan macam-macam di belakang dirinya.
Pasalnya, yang ia khawatirkan sepenuhnya itu bukanlah Anggia. Ia tahu —serta yakin dan percaya, Gia cukup pandai menjaga diri, terbukti dengan hubungan gadis itu bersama Nakula sebelumnya. Jadi yang membuat dirinya risau tidak lain adalah, adanya banyak laki-laki nanti di sana yang mungkin para laki-laki itu akan menggoda dan mencoba mendekati istri cantiknya ini.
Ia ingin sekali bisa ikut pergi untuk menemani istrinya itu. Tapi jelas tidak mungkin.
"Besok hari Jum'at aku antar, ya?"
Gia mendadak kikuk. Ia lupa satu hal lagi. "No, maaf, aku lupa kasih tahu kamu, tapi... besok Jum'at aku akan dijemput kak Nakula. Dia ikut juga dalam rombongan sebagai team dokumentasi."
Perasaan Nova yang sudah kacau balau semakin berantakan saja mendengar ucapan Gia.
Ternyata tidak hanya si bule, tapi Nakula —laki-laki terindah Gia— juga turut serta. Lantas bagaimana bisa ia tetap waras mengetahui semua itu?
"Nggak papa, biar aku akan antar kalian ke bandara nanti. Kasih tahu saja kita harus berangkat jam berapa, biar kita tidak terlambat."
~~ 22 ~~
Nyatanya, saat hari itu tiba, Nova tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya yang sudah beberapa hari ini ia latih untuk diredam. Melihat Gia dan Nakula yang duduk berdampingan di kursi belakang sembari membaca jadwal perjalanan yang keduanya rundingkan sedemikian rupa, berhasil membuat Nova kehilangan fokus dalam mengemudi.
Kepala Nakula dan Gia nyaris menempel, sementara jari telunjuk gadis itu menunjuk susunan jadwal yang masih menjadi momok karena jadwal perjalanan kali ini jatuh di bulan yang tidak terlalu bagus untuk berwisata di Bromo.
"Kamu sudah bawa mantel, Gi?"
Gia mengangguk menjawab pertanyaan Nakula. Dan itu tidak ketinggalan dalam penglihatan Nova.
"Kamu ingat nggak, sih, kak. Tahun kemarin saat kita berangkat di bulan ini, kabutnya itu tebal banget, belum lagi gerimis juga. Aku takut drone kamu nanti kehilangan sinyal seperti tahun kemarin."
Jidan yang duduk di samping Nova di kursi depan pun lantas menjawab, "Aman, kak. Aku sama kak Nakula habis beli drone baru yang spek-nya lebih bagus dari sebelumnya. Sudah aku coba juga, kok, kemarin di Bogor sama di Bandung. Dijamin aman."
Mendengar penuturan Jidan, Gia belum juga merasa tenang. Belum lagi salah satu temannya yang asli orang Malang memberitahunya kalau kemarin sempat ada pohon tumbang ketika rombongan jeep akan kembali ke lautan pasir, hingga banyak jeep yang terpaksa terhenti di tengah jalan dan terlambat begitu jauh dengan jadwal yang sudah disusun.
"Tapi kecepatan anginnya, kan, beda, Ji." Gia tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya. Banyak hal yang membuatnya kepikiran diperjalanan kali ini, berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
"Kamu ini kenapa, Gi? Kamu nggak biasanya seperti ini." Tanpa sadar Nakula mengusap punggung Gia pelan, mencoba memberi ketenangan pada gadis di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OPTION [✔️]
Short StoryBagaimana jadinya kalau ada orang ketiga dalam sebuah hubungan?