Di tengah malamnya Ibu Kota, Nova melajukan mobilnya secara perlahan. Di sampingnya, Anggia tengah duduk sembari memandang kosong keluar jendela.
Tidak ada lagi air mata yang mengalir di pipi gembul gadis itu. Tapi isakan tertahan pasca menangis masih bisa terlihat dengan jelas.
"Kita turun di sini, ya." Nova menepikan mobilnya, memarkirkannya dengan aman. Sementara Gia masih tidak bergeming di tempatnya. Hanya helaan nafas panjang yang terdengar di rungu Nova.
Nova meraih tangan Gia perlahan, menggenggam tangan gadis itu yang lemah dan tampak rapuh.
"Kita keluar, yuk. Beli yang seger-seger dulu." Nova tersenyum manis saat Anggia menoleh menatapnya.
Gadis itu tidak menjawab, namun kepalanya mengangguk perlahan. Dan dengan segera Nova mematikan mesin mobilnya dan keluar. Lalu berputar, membukakan pintu untuk Anggia.
"Kamu tunggu di sini. Aku mau masuk dulu." Nova menghentikan langkahnya dan meminta Anggia untuk duduk di bangku yang tersedia di depan sebuah minimarket yang terletak tak jauh dari tempat mobil Nova terparkir.
Anggia menurut dengan baik. Gadis itu duduk dan menyandarkan diri dengan nyaman.
Beberapa menit kemudian, Nova kembali. Namun begitu ia berdiri dihadapan Gia, ia mendapati gadis itu kembali menangis tanpa suara.
Beruntung minimarket dua puluh empat jam yang mereka kunjungi tampak sepi malam ini. Setidaknya itu tidak akan membuat Anggia tidak nyaman.
"Minum dulu." Nova menyodorkan sebotol air mineral dingin di hadapan Anggia setelah mendudukkan diri di samping gadis itu.
Anggia dengan buru-buru menghapus buliran air matanya dan tersenyum kecil saat menerimanya. Bahkan netra gadis itu juga melihat ada dua bungkus coklat di tangan Nova.
"Katanya, sih, coklat itu sangat membantu kalau kita lagi sedih. Jadi semoga ini membantu buat kamu, ya." Nova kembali menyodorkan dua bungkus coklat itu di hadapan Anggia. Dan kali ini tidak hanya tersenyum, bahkan gadis itu mengucapkan terimakasih yang lirih kepadanya.
Keduanya terdiam cukup lama setelahnya. Tapi netra keduanya sama-sama terpaku pada jalanan yang masih terlihat ramai kendaraan berlalu-lalang.
Nova tahu, pikiran dan perasaan Anggia pasti begitu kacau saat ini. Terlebih kekacauan gadis itu terjadi karena dirinya.
Perbincangannya dengan Nakula tadi siang yang ia pikir tidak akan dipedulikan oleh sepupunya itu, ternyata salah. Nakula mendengarnya, menyetujui permohonannya. Padahal ia sendiri sadar kalau tidak hanya Nakula yang ia sakiti perasaannya akan perilakunya, tapi juga Anggia. Gadis yang kali ini duduk di sampingnya dengan lagi-lagi menatap kosong ke depan sana dengan bulir-bulir air mata yang kembali mengalir perlahan.
"No, kamu tahu nggak, kalau mencintai seseorang itu sebenarnya sangat mudah?"
Gumaman lirih Anggia yang terdengar sengau berhasil membuat Nova menoleh, mencoba menatap Anggia yang bahkan tidak menoleh sedikit pun padanya.
"Kamu tahu, semua itu tergantung mata, pikiran dan hati kita. Apa kita bisa melihat orang yang ada di depan kita, atau kita justru menutupnya karena kita memilih untuk tertarik pada ada orang lain yang ada di ujung sana."
Ya, Nova tahu. Ia pernah merasakannya. Ia pernah tutup mata sebelum ini. Tidak hanya pada Anggia, namun juga pada banyak perempuan sebelum ini juga.
Karena ia lebih memilih untuk tertarik dan mengejar-ngejar Maya yang terus menerus menolaknya. Padahal ia sadar dan tahu, Maya tidak tertarik padanya yang kata banyak orang mempunyai rupa tak terkalahkan itu. Dan tidak hanya itu, Maya juga sempat menjalin hubungan dengan laki-laki lain sebelum akhirnya ia bisa memiliki gadis itu sepenuhnya. Menjadi miliknya.
![](https://img.wattpad.com/cover/373829186-288-k971299.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
OPTION [✔️]
Short StoryBagaimana jadinya kalau ada orang ketiga dalam sebuah hubungan?