20

638 85 13
                                    


Anggia tidak tahu, ternyata menghadapi Nova yang blak-blakan seperti semalam ternyata tidak baik untuk hatinya.

Ia tidak tahu harus menjawab dan bereaksi seperti apa. Terlebih saat Nova mencium keningnya begitu saja.

Belum lagi mengingat image yang selama ini ia bangun di depan Nova adalah yang terburuk dari yang pernah ia tunjukkan ke kebanyakan orang. Ia yang terkenal ramah dan baik ke semua orang —walaupun itu disaat pertemuan pertama mereka, harus menjadi Gia yang pemalu diawal pertemuannya dengan Nova dan berakhir menjadi kasar dan mudah meledak-meledak kemudian disaat ia ingin balas dendam pada laki-laki itu dan berharap mampu membuatnya ilfeel.

Belum lagi disaat misi balas dendam itu, ia sering kali mendiami laki-laki itu karena tingkah Nova yang menurutnya sudah keterlaluan —atau juga karena satu atau dua kata dari Nova yang tidak ia sukai dan membuatnya overthinking. Ia juga jadi lebih serampangan dan berulah seperti gadis murahan yang dengan sengaja memamerkan tubuh seksinya di depan Nova —yang tidak menampik juga kalau memang dia sudah ditakdirkan menjadi seksi dari orok.

Ini semua karena pikiran impulsifnya. Andai dia tetap tenang seperti sebelumnya, menjadi Gia yang anggun dan pendiam yang sengaja ia bentuk supaya bisa menarik laki-laki itu —walau akhirnya laki-laki itu tidak tertarik sama sekali padanya— pasti saat ini ia sudah berpisah dengan damai dan dapat merajut kasih dengan laki-laki lain —dan ia harap itu adalah Nakula kalau seandainya saja ia tidak tahu kalau Nova dan Nakula ternyata adalah sepupu.

Dan pagi ini, ia nyaris saja tersenyum damai karena tidak menemukan keberadaan Nova di sampingnya. Namun itu tak berselang lama saat mendapati pintu kamar kembali terbuka dan menampilkan Nova yang lagi-lagi dengan senyum mentereng menatapnya.

Laki-laki itu dengan baik mengucapkan selamat pagi lalu meraih belakang kepalanya hendak mencium keningnya. Untungnya, dengan reflek yang cepat, Anggia bergerak mundur hingga ciuman Nova berhenti di udara.

"Mau siap-siap sholat sekarang?"

Gia mengangguk ragu, lalu meloloskan diri dengan cepat saat Nova bergerak duduk di sampingnya.

Ia harus pergi dari sana secepatnya. Karena kalau tidak, bisa jadi Nova akan kembali dengan ulahnya yang tidak biasa dan berhasil membuat pipinya memerah.

"Aku tunggu di depan ya, Gi?" teriak Nova dari depan pintu kamar mandi. Berharap Gia dapat mendengarnya. Dan sebelum mendapatkan jawaban dari dalam sana, Nova sudah lebih dulu melangkah keluar dari kamar.

Sementara itu di dalam kamar mandi, Gia masih setia berjongkok di dekat pintu. Hatinya bergerak tidak tentu arah.

Dan pertanyaannya sekarang, apakah dosa saat ia memundurkan kepala tadi ketika Nova hendak mencium keningnya?

Menggeleng cepat, Gia langsung membasuh muka dan bersiap-siap untuk ke masjid bersama Nova.

~~ 20 ~~

"Gia ternyata anaknya asyik, ya. Gitu lo, kok, bisa nggak tertarik sama Gia dari awal?" pertanyaan Hasbi yang saat ini tengah duduk di sofa ruangan Nova, berhasil membuat Nova mencebik keras.

Nova jengah sekali rasanya mendengar Hasbi yang beberapa hari ini tidak berhenti memuji Gia, istrinya, di depannya. "Gue bilang, lo stop muji-muji Gia."

"Lah, kenapa? Lo, kan, nggak ada rasa sama dia. Jadi harusnya nggak masalah, kan, kalo gue muji dia sesuka hati gue."

"Ya, tapi dia istri gue," tekan Nova disetiap katanya.

"Nggak masalah. Pegadilan Agama buka dari Senin sampai Jum'at kalau lo lupa..."

"Jaga mulut, lo!" Nova menggeretak dengan tangan terkepal. Membuat Hasbi langsung terpingkal saat itu juga.

OPTION [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang