10

532 81 5
                                    

Keesokan harinya, Nova menemukan Anggia sudah berdiri memunggunginya di dalam dapur.

Seperti biasa, gadis itu tengah sibuk menyiapkan secangkir kopi untuknya. Dan begitu Anggia membalikkan badan, ia langsung menyadari sesuatu yang tak bisa ia lupakan dari semalam.

"Kalungnya... kok, nggak dipake?" tanya Nova setelah mendudukkan diri dan Anggia berdiri di sampingnya.

"Enggak."

"Kenapa?" tanya Nova lagi tak suka.

"Sayang aja."

"Hm?"

"Kenapa? Kan emang sayang kalau kalungnya dipakai sehari-hari..."

"Aku beliin kamu kalung itu untuk dipake, Gi. Ya, disayang dan dijaga baik-baik juga kalau bisa. Tapi bukan berarti cuma kamu simpan saja. Kamu nggak suka?" Nova sadar, selama di toko kemarin, Anggia hanya melihat koleksi perhiasan dengan harga terendah, dan membuat pilihan gadis itu menjadi terbatas.

Kemungkinan Anggia tidak enak padanya, Nova memaklumi itu. Jadi ia memaksa Anggia untuk benar-benar memilih yang sesuai dengan selera gadis itu. Dan bukannya menurut, Anggia justru memilih kalung yang paling dekat dengan jangkauannya. Sialnya untuk Nova, itu adalah kalung yang masih termasuk ke dalam koleksi harga terendah dalam toko tersebut.

"Udah aku ambil ini aja, jangan banyak protes!"

Ancaman dari Anggia tidak main-main, berakhir Nova hanya bisa mengangguk menyetujui pilihan gadis itu.

"Suka, kok. Aku pakenya nanti aja kalau lagi ada acara. Sekarang lebih baik disimpan aja."

Nova pasrah. Dengan lemah kepalanya mengangguk lalu memulai sarapannya, sementara Anggia seperti biasa sudah hilang kembali ke lantai dua untuk bersiap-siap.

"Aku hari ini sudah mulai pameran lagi," jelas Anggia saat gadis itu sudah kembali dari kamar dan duduk di hadapannya.

"Tapi, ini kan masih jam segini. Bukannya pamerannya baru mulai jam sepuluh?"

Anggia mengangguk, menyesap susunya seteguk lalu kembali menatap Nova. "Mau ke kantor dulu nanti sebentar. Terus baru ke tempat pameran. Ada salah satu tamuku yang datang ke pameran, jadi aku harus ambil dokumennya dulu ke kantor."

Nova mengangguk paham, lalu menawarkan diri untuk mengantar gadis itu, "Aku antar aja, ya. Biar kamu nggak capek di jalan nanti."

"Nggak, kok. Tenang aja. Udah biasa begini juga dari dulu. Lumayan soalnya, tamuku yang ini sering kasih aku tip." Anggia tersenyum senang, padahal nominal tip itu tidaklah seberapa. Tapi nyatanya gadis itu justru lebih bahagia dibandingkan dapat kalung pemberian dari Nova semalam.

Dan itu berhasil membuat Nova tidak suka.

"Kamu nggak ada keinginan untuk resign, Gi?" tanya Nova yang langsung mendapatkan tatapan tidak suka dari gadis itu. "Enggak, maksudnya ganti dengan pekerjaan lain gitu?"

"Lihat, dari sebelum hari pernikahan kita, sampai hari ini, itu sudah terhitung dua bulan. Sementara hari liburmu cuma bisa dihitung baru beberapa kali saja. Emang kamu nggak capek?"

Anggia mengangguk setuju, tapi ia terlanjur cinta dengan pekerjaannya. "Aku suka bertemu dengan banyak orang, No. Bertemu dengan orang yang berbeda setiap harinya, membangun relasi. Itu seperti kesenangan tersendiri buat aku. Makanya aku nggak bisa kalau disuruh hanya diam saja... Ah, maaf, ya, aku jadi over cerita gini." Anggia terkekeh kecil, lalu melanjutkan acara minum susunya yang tertunda.

"Aku serius waktu aku bilang kalau aku bisa menghidupimu dengan layak setelah kita benar-benar bisa menjadi suami istri, Gi." Ingat Nova akan ucapannya pada saat ia pertama kali memberikan sebuah kartu atm untuk gadis itu.

OPTION [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang