Chapture 17

407 61 13
                                    

"Ngapain jongkok di situ?"

Argas terkekeh pelan melihat kelakuan Aven yang malah menunggu di samping pintu kamar mandi. "Makan sana baru tidur." Yang paling muda dengan lesu berjalan ke dapur dan membuka tudung saji.

"Sorry." Lagi-lagi Argas sengaja memesan makanan yang begitu mudah membuat kalori Aven naik. "Cobain dulu, dek. Bakwan jagungnya enak lo harus coba, yakin 100% lo doyan."

"Kalau ga enak gimana?"

"Mas beliin apapun yang adek mau." Tumben ngomongnya baik banget pasti ada kejadian, deh. "Gimana?"

"Deal, ya? Engga boleh di tarik."

"Iya."

Satu gigitan pertama. Kepala Aven miring sebentar menimang-nimang rasa yang masuk ke dalam perutnya. Argas yang sudah duduk di kursi hanya menatap Aven dengan geli. Ada saja tingkah laki-laki manis itu yang membuatnya merasa gemes.

Not bad, sebenarnya. Batin Aven tetapi ia menolak untuk mengatakan makanan di hadapannya ini demi barang yang di inginkan. Kemarin ia ada lihat di situs belanja online yang menjual sebuah barang khusus untuk dapur dalam bentuk sepaket maksudnya lengkap ada anak, cucu, ayah, ibunya.

"Rasanya gimana?"

"Biasa aja, engga ada yang spesial banget sampai buat mata aku harus balik ga ngantuk."

"Yakin? Kok gue ngerasa lo boong."

Aven hanya menatap sinis. Sebelum menunggu Argas di depan pintu masuk kamar mandi ia sudah terlebih dahulu memanaskan sup tahu yang ia buat tadi pagi. Sedangkan Argas lebih dahulu memakan gorengan yang ia beli pas pulang sekolah.

"Bhaaa!!!" Hampir saja kuah sup panas tumpah ke arah Argas. "Eh, eh... maaf, Ven." Kan Athur jadi tidak enak. Niatnya memang mau numpang makan ke rumah temannya.

Sedangkan Bargas yang melihat kedatangan temannya langsung mempersilahkan untuk bergabung bersama. Hapal sudah sama tingkah laku temannya ini. "Kenapa kak?" Tanya Aven mengisi piring dengan nasi dan lauk-pauk yang terhidang untuk Bargas begitu juga dengan Arthur.

"Mau minta tolong sama Argas buat kencengin rantai motor gue. Sudah berapa kali lepas untuk aja ada Adit sama Dimas."

"Engga di bawa ke bengkel aja." Argas melirik singkat ke arah Aven baru saja melontarkan sebuah pernyataan. Sadar dengan apa yang ia katakan. "Eh! Maaf, engga maksud begitu. Aduh..."

Arthur hanya tertawa pelan saja. Siapa juga yang tersinggung. Ia tidak terlalu memikirkan, orang Argas saja biasa-biasa saja memang Aven adalah istri temannya ini. Tetapi dari cerita Rehan dan Oky, Aven orangnya memang suka berbicara blak-blakan tanpa di sadari beruntung ada Argas yang kerap menegur. Walau begitu Aven selalu di anggap anak kecil oleh teman-temannya sama seperti Rehan.

"Ga masalah, Ven. Tapi Gas lo sempat atau ga? Kalau engga sempat biar besok aja."

"Sempat aja. Emangnya lo mau kemana?"

Sedangkan laki-laki SMK itu hanya cengar-cengir bodoh. "Motor emak gue barusan gue bawa balapan sama anak SMP di belakang." Argas yang mendengar itu langsung menendang kursi yang di tepati Arthur hingga sedikit termundur.

"Anjay banget lo, Thur. Kek punya nyawa 9 aja lo, mah."

"Nakutin bangsat."

"Terus emak lo pake apa ke pasar? Bukannya dia ga bisa motor lo?"

"Sebenarnya bisa-bisa aja tapi emak kadang ga tahan soalnya tinggi gitu."

Yang dominan menoleh ke samping tepatnya ke mangkuk sup tahu lebih di dominasi oleh wartel dan kentang masih sisa setengah. Padahal Aven makannya sambil diam tapi masih lambat dari Argas, porsi Bargas banyaknya loh engga sedikit tapi tetap dia yang menang. Yang benar saja padahal seharusnya Aven yang selesai terlebih dahulu.

𝗔𝗿𝗴𝗮𝘀 [𝗼𝗻𝗴𝗼𝗶𝗻𝗴]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang