Bagian Kesebelas

10 6 1
                                        

Sosok pria itu terapung di permukaan sungai yang mengalir tenang. Tubuhnya tertunduk, kepalanya terendam air, rambutnya pendek, mengenakan setelan jas yang masih terlihat rapi meski basah, seolah mempertegas bahwa ia adalah seseorang yang pernah terhormat.

Di tepi jembatan, seorang wanita berdiri. Tatapannya dingin, wajahnya tampak tak tergoyahkan, memperhatikan arus air yang membawa pria itu, tanpa satu emosi pun yang tampak jelas.

Tiba-tiba, dari tubuh pria yang tak bernyawa itu, muncul bayangan-bayangan hitam. Satu per satu mereka bangkit, wajah-wajah pucat dengan mata sendu. Wajah-wajah itu menatap wanita itu, lalu tertawa sinis, sebelum melayang ke angkasa, menghilang perlahan. Beberapa di antaranya adalah gadis-gadis muda, ada yang lebih tua, dan beberapa mungkin seusia Lia Ruhani. Semua dengan rambut dikepang, namun kematian seolah datang terlalu cepat menyentuh mereka.

Saat bayangan-bayangan itu menghilang, rantai-rantai tak kasat mata muncul dari kedalaman sungai, menggulung tubuh pria itu, menariknya semakin ke bawah, menjauh dari permukaan.

Wanita itu mendongak, menatap anak-anak yang melayang menjauh, wajahnya tetap datar, sulit ditebak apa yang tengah ia pikirkan.

Langit mulai menunjukkan warna fajar. Sinar samar, waktu yang biasanya tepat untuk berangkat sekolah, terasa kontras dengan kesunyian di sekitar sungai.

Titik... titik... titik...

Tetes hujan jatuh perlahan, ragu-ragu mengetuk bumi, sebelum akhirnya berubah menjadi deras. Percikan air dari permukaan sungai mengabur oleh hujan yang semakin deras, menutup pandangan akan tubuh pria itu.

Wanita itu mendongakkan kepala, menatap langit yang menghitam. Dalam sorot matanya, muncul sekilas bayangan sebuah payung kuning, sebuah topi kuning, dan...

Setumpuk pasir di taman sekolah.

Ia berhenti, terdiam dalam renungan yang menghampirinya tanpa aba-aba.

"Aku ingin membangun gunung."

"Selama kita terus menumpuk seperti ini, suatu hari kita akan bisa membangun gunung."

Suara itu terngiang lembut di telinganya, seolah-olah angin yang menyelinap di antara tetes hujan.

Wanita itu perlahan melangkah, berjalan di bawah tirai hujan, tubuhnya basah, namun ia terus maju hingga tiba di tempat itu – tumpukan pasir kecil di taman sekolah yang berbalut kantong plastik bening.

Dia tahu, gunung itu takkan pernah terbentuk. Tak lama lagi, tak ada yang akan menumpuk pasir di sana. Ia menatap gundukan itu lama, seakan melihat bayangan dirinya sendiri di masa lampau, atau mungkin serpihan harapan yang tersisa.

Lalu, tatapannya beralih, pikirannya melayang dalam kebisuan yang sulit diterjemahkan, sebelum akhirnya ia berbisik dalam hatinya, "Si kecil pasti sedih kalau pasirnya hancur, ya?"

Baru kemarin mereka menumpuk pasir itu bersama-sama, dengan semangat yang menghangatkan.

...

Tetesan air hujan mendarat di jendela rumah tua itu, menyisakan jejak-jejak kabut yang perlahan mengalir. Di balik tirai yang tersibak, Lia berdiri menatap hujan deras dengan wajah cemas. Tanpa alas kaki, ia melesat keluar dari kamar, meninggalkan jejak langkah kecil di lantai kayu yang berderit.

"Ah—gunungku!" jeritnya dengan nada penuh kekhawatiran.

Di wajah bulat Lia, alisnya terangkat, memancarkan rasa panik yang begitu tulus.

"Lia! Pakai sepatumu dulu!" Hantu Pria Muda itu menegur, hanya dari suaranya saja sudah tahu bahwa Lia berlari tanpa alas kaki. "Gunung apa yang kau maksud?"

Keluarga BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang