[DISCLAIMER]
Episode ini mengandung perundungan, kekerasan/berdarah, dan upaya bunuh diri yang mungkin mengganggu untuk sebagian pembaca serta tidak pantas untuk di tiru.
Makasih udah mampir jangan lupa vote ya... Happy reading guys
...
Satu tahun berlalu terlalu cepat, sejak hari itu Gabriel tak melepaskanku dari pandangannya. Natasha pun tak melakukan perundungan sama sekali setelah Gabriel selalu ada di sisiku. Ini memuakkan sejujurnya, setidaknya hal ini lebih baik dibandingkan aku menerima perundungan. Entah kedamaian ini akan berlangsung berapa lama, namun harapanku semua berjalan seperti biasa untuk tahun-tahun selanjutnya.
Sayangnya aku keliru, takdir seolah mengolok-olokku dengan terbuka. Aku mematung saat melihat jajaran nama teman sekelasku di tahun kedua. Namaku. Nama Gabriel. Terakhir nama Natasha. Aku terdiam. Jajaran nama-nama lain seperti Nathalia, Aurora, dan Sheila pun ada seolah semua telah terencana. Ingatan beberapa bulan lalu tiba-tiba hadir tanpa di minta, pukulan Nathalia, tendangan taekwondo Aurora, dan hinaan Sheila terasa segar dalam ingatan.
Jemariku meremas seragamku dengan erat, dengan langkah berat aku melangkah masuk ke dalam kelas. Taakdir benar-benar sedang mempermainkanku. Seolah tak cukup dengan keberadaan Gabriel yang semakin memuakkan, aku di hadapkan dengan segerombolan geng yang benar-benar anarkis. Aku menelan ludah sebelum masuk, menelisik seisi kelas dengan pandangan was-was. Aku tersenyum ramah. Terpaksa. Aku harus menjaga citra anak pintar dan ramah, untuk sekedar menjaga pula nama Frederick dan Alexander yang tersemat di keluargaku.
Mataku menangkap Natasha dan gengnya yang sedang bersama Gabriel, mereka bercanda dan tertawa seperti kawan lama yang jarang jumpa. Aku langsung duduk di bangku kosong paling depan dan berhadapan dengan bangku guru. Lebih tepatnya paling jauh dari gerombolan itu, beruntungnya orang-orang itu tak ada yang menyadari keberadaanku.
"Halo, bangku ini kosong?" Seorang siswi datang menghampiriku, ia tampak ramah dengan kacamata yang membingkai wajahnya.
"Kosong," jawabku.
"Eh kamu ... Asha kan? Aku Lani," ia menyapaku dengan hangat. Aku mengangguk dengan senyum ramah, ini pertama kalinya seseorang menyapaku. "Kamu ternyata baik ya gak kayak rumornya," aku mengernyitkan dahi untuk ucapannya. "Sebenernya dari dulu aku pengen banget kenalan sama kamu, tapi gitu aku agak takut sama Gabriel," aku tak menyalahkan dirinya yang takut pada Gabriel, karena nyatanya beberapa orang mundur teratur setiap ingin berkenalan denganku hanya karena alasan serupa. "Kamu pacarnya Gabriel?"
"Bukan," aku menggeleng keras.
"Iii suara kamu ternyata lembut banget ya, aku kira tadi salah denger," ia tersenyum dengan manis. Sejak saat itu Lani menjadi teman sebangku yang baru, ia bercerita banyak dan cukup aktif. Aku nyaman dengannya.
Sejak saat itu pun, entah mengapa Gabriel tak seperti sebelumnya. Ia tak mengambil kursi Lani atau mengikutiku kemanapun. Ia tetap berada di sekitarku, namun tak seintens sebelumnya. Aku mulai terbiasa dengan Gabriel yang sepertinya mulai bosan bermain-main denganku, selain itu aku memiliki Lani yang menjadi teman baruku. Semuanya berjalan terlalu normal hingga Gabriel mulai bolos sekolah.
"Halo Asha," suara Natasha membuatku mengalihkan pandangan dari Lani, aku dan Lani sedang mengobrol terkait janji temu kami sepulang sekolah nanti. Selain aku, Lani pun menoleh dan ia langsung membuang muka. Ekspresinya ketakutan. "Lan," Natasha menyentuh bahu Lani, membuat ia menduk ketakutan. "Aku ikut duduk ya," suara itu jelas membuat Lani langsung pergi ke bangku lain tanpa menoleh kepadaku. "Ginikan enak," Natasha langsung duduk di bangku Lani saat itu juga.
![](https://img.wattpad.com/cover/379486207-288-k336120.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissident : I Want Freedom!
Teenfikce"Papa Mama kamu apa gak marah tahu kamu perokok?" Baskara tampak santai berjalan mengikuti Asha, jarak mereka tak terlalu jauh sebetulnya. "Papa? Mama? Maksudnya sepasang manusia yang ngasih beban ekpektasi ke aku?" Asha menghentikan langkahnya dan...