Bab 3: Jejak yang Tersembunyi

1 0 0
                                    

Nara berdiri di luar bangunan tua itu, tubuhnya kaku. Hatinya berdebar-debar, seolah detak jantungnya bisa terdengar sampai ke telinga. Dia masih bisa mendengar suara pria itu, mengingatnya dengan jelas. "Jangan coba-coba mundur." Kata-kata itu terngiang, mengikutinya bahkan setelah pria misterius itu menghilang di balik pintu.

Apa yang Kaela lakukan dengan orang seperti itu? Siapa dia sebenarnya? Mengapa Kaela terlihat begitu takut?

Nara berjalan mondar-mandir di depan pintu yang terbelah, bingung. Matanya tertuju pada celah sempit di antara dinding tua. Dia ingin pergi, tapi kakinya terasa terikat. Sebuah dorongan untuk tahu lebih banyak, untuk memastikan Kaela baik-baik saja, menguatkan langkahnya. Setiap detik yang berlalu membuat kecemasan itu semakin besar.

Dia memutuskan untuk kembali. Perlahan-lahan, dia melangkah ke pintu yang sedikit terbuka itu, mengintip lagi. Di dalam, Kaela masih duduk di meja kayu tua, tapi kali ini dia tampak lebih rapuh. Matanya menunduk, bibirnya terkunci rapat. Pria itu telah pergi, tetapi ketegangan masih menggantung di udara. Nara merasa ada yang sangat salah, dan semakin ia berpikir, semakin berat beban itu terasa.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Nara panik, refleksnya membuat tubuhnya bergerak cepat ke belakang. Ia bersembunyi di balik tumpukan sampah di sudut ruangan, perasaan tak nyaman merayapi sekujur tubuhnya. Nafasnya terengah-engah, berusaha menenangkan dirinya. Langkah-langkah pria itu terdengar semakin menjauh, dan Nara menunggu beberapa detik sebelum memutuskan untuk kembali maju.

Hatinya berdebar kencang saat ia melangkah masuk kembali ke dalam ruangan yang suram itu. Kaela masih duduk di sana, matanya tampak kosong. Nara memandanginya dengan hati yang berdebar. Kaela terlihat berbeda dari biasanya—bukan hanya lelah, tapi ada sesuatu yang hilang dari tatapannya.

"Nara?" Kaela terkejut melihat Nara tiba-tiba masuk. "Kenapa kamu di sini?" Suaranya kering, hampir seperti berusaha menahan sesuatu.

Nara mengangguk pelan, berusaha menenangkan diri. "Aku... aku lihat kamu barusan. Sama pria itu. Ada apa, Kaela? Kenapa dia—siapa dia?"

Kaela terdiam, menunduk. Beberapa detik berlalu begitu saja, keheningan mengisi ruangan yang gelap. Nara bisa merasakan ketegangan yang semakin menebal. Kaela menutup wajahnya dengan tangan, seolah mencoba menutupi sesuatu yang dalam.

"Aku nggak bisa, Nara. Kamu nggak ngerti," Kaela akhirnya mengeluarkan suara pelan, penuh penyesalan. "Ini bukan masalah yang bisa kamu bantu."

"Apa maksudmu? Aku teman kamu, Kaela. Aku di sini buat bantu, bukan malah menjauh." Nara mendekat sedikit, mencoba membaca ekspresi Kaela yang tampak begitu rapuh. "Kamu nggak bisa terus-terusan menyembunyikan ini."

Kaela mengangkat wajahnya. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia berusaha keras untuk tetap tenang. "Aku terjebak dalam sesuatu yang besar, Nara. Sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kamu bisa bayangkan. Kalau aku nggak lakukan apa yang dia minta... semuanya bisa hancur. Bukan cuma hidupku, tapi juga hidup orang-orang yang aku sayang."

Kata-kata itu menggantung di udara, menusuk hati Nara dengan tajam. Dia merasa seperti ada beban berat yang Kaela sembunyikan, dan untuk pertama kalinya, Nara merasa terasing. Sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, sedang terjadi di depan matanya. Kaela, yang selama ini dia anggap kuat, kini tampak seperti seseorang yang sudah kehabisan pilihan.

"Siapa orang itu, Kaela?" Nara bertanya dengan suara penuh kebingungan. "Kenapa kamu nggak bisa cerita sama aku? Kita bisa cari jalan keluar, kita bisa bantu kamu."

Kaela menggeleng, wajahnya tampak penuh kebingungan dan ketakutan. "Aku nggak tahu kalau masih ada jalan keluar, Nara. Ini... ini lebih rumit dari sekadar utang yang nggak bisa dibayar. Ini tentang hidup—hidup orang yang aku sayang."

Kaela menarik napas panjang, tampaknya berjuang untuk mengatakan lebih banyak. Nara bisa melihat ketakutan di matanya, rasa takut yang begitu nyata. "Aku nggak bisa terus-terusan berbohong. Tapi aku juga nggak bisa membuat kamu terlibat dalam ini. Dia bisa menghancurkan hidupmu, Nara. Semua yang aku coba sembunyikan, itu bukan hanya untuk melindungi diri aku, tapi juga... kamu."

Nara merasa dadanya sesak. "Aku nggak takut, Kaela. Aku janji, kita hadapi ini bersama. Apa pun yang terjadi, kita lewati ini berdua."

Kaela terdiam lama. Pandangannya kosong, seperti dia sedang mempertimbangkan kata-kata Nara. Tapi dia terlihat sangat rapuh, seperti seseorang yang sudah terlalu lama berdiri di tepi jurang, takut jatuh. "Aku nggak tahu... aku nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kalau aku salah langkah... semuanya bisa hancur lebih cepat dari yang kamu bayangkan."

Nara menggenggam tangan Kaela dengan lembut, berusaha memberi sedikit rasa aman. "Kita nggak akan salah langkah. Aku ada di sini. Kita pasti bisa cari jalan keluar. Kamu nggak sendirian, Kaela."

Kaela menatap Nara, dan untuk pertama kalinya sejak mereka mulai berbicara, ada sedikit harapan yang muncul di matanya. "Aku... aku nggak yakin, tapi... mungkin kamu benar. Mungkin... aku bisa mencoba untuk percaya."

Tapi di balik kata-kata itu, Nara tahu. Mereka masih berada di ujung jurang, dan jalan keluar yang mereka cari belum tentu ada. Namun satu hal yang pasti: apapun yang akan terjadi, Nara tidak akan membiarkan Kaela menghadapi semua ini sendirian.

Alterego sisi lain KaelaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz