Nara merasakan ketegangan yang terus membelit dadanya sejak percakapan yang tak terlupakan itu. Kaela, sahabatnya, tampak semakin jauh, semakin tertutup. Setiap kali Nara bertanya tentang keadaan Kaela, dia hanya mendapat jawaban yang samar, atau yang lebih buruk—jawaban yang membuat Nara merasa semakin terasing. Namun, Nara tahu satu hal pasti: ada yang tidak beres.
Pagi itu, seperti biasa, mereka berdua berjalan bersama menuju kampus. Namun ada yang berbeda. Kaela berjalan lebih cepat dari biasanya, seolah dia ingin segera sampai di kelasnya. Nara merasa perasaan tidak enak mulai menyergapnya lagi. Semua yang terjadi minggu-minggu terakhir ini terasa seperti sebuah bayangan gelap yang semakin mendekat.
"Nara, kamu nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja," kata Kaela dengan senyum yang sudah terlalu sering ia paksa.
Tapi Nara tahu itu bukan senyum yang asli. Itu hanya pelindung, sebuah topeng yang dibuat agar orang lain tidak melihat luka yang ada di bawah permukaan.
Nara menghela napas. Sudah terlalu lama dia merasa seperti ini—ragu dan cemas. "Kaela," katanya, mengubah langkahnya agar bisa sejajar dengan sahabatnya, "Aku nggak bisa cuma diam aja. Kita harus bicara. Kamu nggak bisa terus kayak gini, Kaela."
Kaela mendengus pelan, dan kali ini dia berani menatap Nara. "Aku bilang, aku nggak apa-apa." Jawabannya lebih keras dari yang Nara harapkan, dan itu membuat hatinya sedikit terluka.
Nara tahu, Kaela sedang berusaha menahan sesuatu yang jauh lebih besar. Di balik sikap keras kepala dan kebiasaannya yang ingin melindungi orang lain, ada sesuatu yang lebih gelap—sesuatu yang Kaela sembunyikan dari semua orang, bahkan dari Nara.
Namun, Nara tidak bisa menunggu lebih lama. Dulu, mereka bisa berbagi segalanya. Dulu, Kaela akan langsung menceritakan masalahnya, tidak ada yang ditutup-tutupi. Tapi sekarang, seakan ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka. Nara tidak bisa membiarkan sahabatnya terjebak sendirian.
"Kaela," kata Nara dengan suara yang lebih lembut, mencoba menenangkan ketegangan di antara mereka. "Aku tahu ada yang kamu sembunyikan. Aku tahu kamu nggak bisa terus terjebak dalam semuanya sendirian."
Kaela menahan napas. Ada ketegangan dalam dirinya yang hampir bisa dirasakan oleh Nara. Matanya melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Nara, ini bukan cuma masalah aku," kata Kaela pelan. "Ini masalah yang bisa menghancurkan semuanya. Bukan cuma aku, tapi juga orang-orang di sekitar aku."
Nara berhenti sejenak, mencoba mencerna kata-kata Kaela. "Apa maksudmu? Masalah seperti apa? Apa yang sedang terjadi, Kaela?" tanyanya, sudah tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
Kaela berjalan lebih cepat, dan Nara mengikuti di belakang, masih berusaha menjaga jarak tanpa membuat sahabatnya merasa tertekan. "Aku berutang banyak, Nara. Dan bukan hanya soal uang," suara Kaela mulai bergetar. "Orang yang aku utang itu... dia bukan orang biasa. Dia... dia punya pengaruh besar. Dan kalau aku nggak bisa bayar atau memenuhi apa yang dia minta, semuanya bisa berakhir sangat buruk."
Hati Nara serasa berhenti berdetak. "Siapa dia, Kaela? Apa yang dia inginkan darimu?" Nara merasa mulutnya kering, perasaan takut dan cemas menyelimuti dirinya.
Kaela berhenti berjalan, dan untuk pertama kalinya, dia menatap Nara dengan tatapan yang begitu serius, penuh ketakutan. "Aku nggak bisa menjelaskannya semua sekarang, Nara. Tapi percayalah, dia bukan orang yang bisa kita hadapi begitu saja. Kalau aku melawan atau menentang, aku bisa membahayakan banyak orang, bahkan kamu."
Sekali lagi, Kaela berusaha menjauhkan dirinya dari Nara. Dia tahu persis apa yang akan terjadi jika Nara terlibat lebih jauh. Kaela merasa terperangkap, tidak hanya oleh utangnya, tapi juga oleh kenyataan bahwa dia harus menghadapi situasi ini sendirian.
Nara menggenggam lengan Kaela dengan erat. "Kamu nggak akan sendirian, Kaela. Aku di sini. Kita cari jalan keluar bareng-bareng."
Kaela menatap Nara dengan mata yang penuh kebingungan. "Kamu nggak tahu siapa dia. Kamu nggak tahu betapa berbahayanya orang itu. Jika dia tahu kamu terlibat, dia akan... dia akan menghancurkanmu juga."
Nara menggigit bibirnya, berusaha keras untuk tidak membiarkan ketakutannya mengambil alih. "Aku nggak peduli. Aku nggak akan biarkan kamu berjuang sendirian. Apa pun yang terjadi, aku akan ada di sini."
Kaela merasa air mata menggenang di matanya. Selama ini, dia telah berusaha keras untuk menjaga semua orang yang dia sayang agar tetap aman, dan Nara adalah salah satu orang yang paling dia takuti akan terjebak dalam masalah ini. Tapi mendengar kata-kata Nara—kata-kata yang penuh dengan kehangatan dan tekad—sesuatu dalam dirinya mulai goyah.
"Kenapa kamu nggak takut?" tanya Kaela, suaranya hampir berbisik.
"Karena kamu sahabatku," jawab Nara dengan tegas, matanya penuh keyakinan. "Aku nggak akan biarkan kamu jatuh sendirian."
Ada keheningan sejenak di antara mereka. Kaela menatap Nara dengan tatapan yang campur aduk, bingung antara keinginan untuk melindungi sahabatnya dan rasa takut yang menyesakkan dadanya. Namun, kali ini, dia merasa sedikit lebih ringan. Ada kehangatan yang mengalir di antara mereka, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, dia merasa tidak sepenuhnya sendirian.
"Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti," Kaela akhirnya berkata dengan suara pelan. "Tapi... mungkin kita bisa coba cari jalan keluar. Bersama-sama."
Nara tersenyum, walaupun masih ada banyak ketegangan di wajah Kaela. Namun, dia tahu satu hal: Kaela tidak lagi berjuang sendirian. Mereka akan melewati ini bersama, apapun yang terjadi.
CZYTASZ
Alterego sisi lain Kaela
Dla nastolatkówKaela selalu merasakan ada yang berbeda dalam dirinya. Sejak kecil, ada perasaan aneh-sebuah kekuatan dalam dirinya yang tak bisa dijelaskan, seperti ada dua sisi dalam dirinya yang saling bertentangan. Ketika ia bertemu dengan Nara, seorang remaja...