Melihat mu, kutemukan warna kegemaranku.
~~~~~~~~~~~
Kiana terbangun dengan perasaan yang sama seperti beberapa bulan yang lalu—sesak dan penuh kekosongan. Meski matahari sudah mulai memancarkan cahaya lembutnya, di dalam hatinya, dunia terasa kelam. Rasa sakit yang dulu pernah menghantui, kini kembali merasuk ke dalam setiap sudut pikirannya. Meski ia mencoba untuk berpura-pura baik-baik saja, luka itu tetap terasa. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan pengkhianatan yang datang dari orang yang dulu begitu ia percayai?
Kiana duduk di tepi tempat tidurnya, memandang jendela yang terbuka, membiarkan angin pagi berhembus pelan. Namun, meski dunia di luar terasa tenang, dalam dirinya, sebuah badai perasaan terus bergejolak. Tidak ada yang bisa menghapus bayangan Dimas yang terus menghantui—bahkan dengan segala janjinya untuk tidak mengganggu lagi. Semua kata-kata itu tidak mampu menghapus kenangan pahit tentang perselingkuhan yang mengoyak hatinya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang familiar terdengar mendekat. Gavi muncul di ambang pintu kamar, wajahnya tetap cerah meski ia tahu persis apa yang sedang Kiana rasakan. Ia menyunggingkan senyum kecil, senyum yang selalu bisa menenangkan Kiana, meskipun tak pernah berlebihan.
"Naa, kamu lagi banyak pikiran?" Gavi bertanya dengan lembut, suaranya penuh perhatian, namun tidak memaksa.
Kiana mencoba tersenyum, meskipun ia tahu senyum itu hanya setengah hati. "Sedikit, Gav. Cuma butuh waktu. Masih berusaha buat nggak mikirin hal-hal yang nggak penting," jawab Kiana, suaranya terdengar pelan, namun penuh dengan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.
Gavi mengangguk, seolah mengerti betul bahwa Kiana hanya membutuhkan waktu dan ruang. Namun, ada satu hal yang ia tahu pasti—Kiana butuh hiburan, sesuatu yang bisa membuatnya keluar dari perasaan itu, meski hanya sementara. Ia mendekati Kiana, duduk di ujung tempat tidur dengan senyum yang lebih lebar, mencoba mencairkan suasana.
"Yuk, kita pergi sebentar. Aku tahu tempat yang bisa bikin kamu lupa dari semua ini," kata Gavi, matanya berbinar dengan antusias.
Kiana menatapnya dengan ragu, meski dalam hatinya ia merasa sedikit tertarik dengan ajakan itu. "Kemana, Gav? Aku nggak tahu kalau aku bisa menikmati apa pun hari ini."
"Gramedia. Kamu suka baca, kan? Ayo, kita ke sana. Aku janji, kamu bakal ketemu sesuatu yang bisa bikin kamu mikir ulang soal hal-hal yang lagi bikin kamu sedih," Gavi menawarkan dengan lembut, seperti sebuah janji yang penuh harapan.
Kiana terdiam sejenak. Ia merasa ragu, tetapi entah kenapa ada sesuatu dalam diri Gavi yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Dengan langkah kecil, akhirnya ia setuju, "Oke, aku ikut."
---
Mereka berdua akhirnya melangkah menuju Gramedia. Di sana, suasana tenang dan penuh dengan buku-buku yang tersusun rapi seolah mengundang mereka untuk berlarian di antara cerita dan petualangan yang belum mereka kenal. Kiana merasa sedikit lebih rileks, meskipun hatinya masih terperangkap dalam kenangan yang menyakitkan.
Gavi berjalan di sampingnya, dan keduanya memasuki setiap lorong rak buku dengan santai, seolah dunia di luar sana tidak lagi peduli dengan apa yang sedang mereka alami. Gavi dengan penuh perhatian mengamati Kiana, sementara Kiana mengabaikan segalanya dan terfokus pada buku-buku yang ada di hadapannya.
Mereka mulai memilih beberapa buku. Kiana tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melihat rak buku yang penuh dengan cerita-cerita baru yang bisa ia telusuri. Satu buku menarik perhatian Kiana—tentang seorang perempuan yang berjuang untuk menemukan makna cinta dalam hidupnya, meskipun pernah terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dan warnamu
RandomAku memelukmu erat sekali,namun yang aku dapati hanyalah dekap tanpa hangat. Harum tubuhmu petang itu tercampur dengan aroma gadis lain, mungkin harus membelah isi kepalaku untuk menghapus ingatannya. lihat, semuanya sudah kukemasi hanya tinggal ik...