Ternyata Masih Sakit Sekali Bu

1 1 0
                                    

Mengapa mengajakku berlayar?
Jika pada akhirnya aku harus bersakit-sakit berenang ke tepian agar tak tenggelam dalam riaknya pengkhianatanmu?






~~~~~~~~~~~~~~~~~

Hujan deras mengguyur, membuat malam terasa lebih berat. Ketukan di pintu kembali terdengar, kali ini lebih keras.

“Naa, tolong buka pintunya. Aku cuma mau ngomong,” suara Dimas terdengar, memohon.

Kiana berdiri di ruang tamu, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak…” bisiknya, menatap Nia dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu nggak perlu keluar,” ujar Nia tegas. “Dia cuma mau bikin kamu sakit lagi.”

Tapi Kiana seperti tak mendengar. Ia mela ngkah ke pintu dan membukanya. Di sana, Dimas berdiri basah kuyup, napasnya berat seperti habis berlari.

“Naa…” panggilnya, suaranya rendah dan sarat penyesalan. “Aku tahu aku salah. Aku cuma mau bilang aku nyesel. Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu.”

Kiana menatapnya, air mata sudah menggenang di matanya. “Dim… semua ini terlambat. Kamu udah milih jalan kamu. Kenapa kamu balik lagi?”

“Nggak terlambat kalau kita masih…”

“Masih apa?” potong Kiana, suaranya mulai bergetar. “Masih cinta? Kamu bilang cinta, tapi kamu selingkuh. Kamu ninggalin aku di saat aku paling butuh kamu. Kamu pikirin nggak waktu itu? Kamu pikirin nggak kalau kamu bakal nyesel?”

Dimas terdiam, wajahnya penuh rasa bersalah. Sebelum ia bisa menjawab, suara pagar terbuka keras. Gavi muncul dengan langkah tergesa, tubuhnya basah oleh hujan.

“Masih suka bikin keributan, ya, Dim?” kata Gavi pelan, tatapannya dingin.

Dimas menoleh, mendengus kecil. “bukan urusan kamu .”

Gavi mendekat, menjaga nadanya tetap tenang. “saya disini karena ini keluarga saya, Kiana butuh. Bukan karena Anda.”

“Kamu pikir kamu siapa?” balas Dimas, sinis. “Kamu cuma numpang di keluarganya. Kamu nggak pernah tahu apa yang aku sama Nana punya dulu.”

“Yang saya tahu,” ujar Gavi dengan nada datar, “Anda yang ninggalin dia. Anda yang pilih orang lain, bukan Kiana. Sekarang Anda mau balik, kenapa?”

“Jangan sok tahu, Gav,” balas Dimas tajam. “Kamu nggak ngerti apa apa.”

“Udah cukup!” Kiana akhirnya berteriak, air matanya tumpah. “Aku capek, Dim. Aku udah susah payah bangkit sendiri, dan sekarang kamu datang buat apa? Pulanglah ke Salsa. Dia lagi hamil anak kamu. Jangan bikin semuanya tambah buruk.”

“Naa, aku…” suara Dimas melembut, tapi Kiana menggeleng.

“Udah, Dim. Aku nggak butuh kamu lagi. Kamu bilang nyesel, tapi penyesalan kamu nggak ngubah apa-apa. Semua ini salah kamu.”

Tiba-tiba, suara Hera terdengar dari dalam rumah. Langkahnya lembut namun penuh ketegasan. “Dimas,” panggilnya dengan suara pelan, penuh kelembutan seperti biasanya. “Nak, apa yang kamu cari di sini?”

Dimas menoleh, matanya basah. “Ibuk… aku tahu aku salah. Aku tahu aku udah nyakitin Kiana. Aku cuma mau minta maaf.”

Hera mendekat, wajahnya terlihat sedih namun tak ada sarat kebencian yang terlihat. “Dimas, kamu tahu betapa besar harapan ibuk untuk kamu dulu? Tapi kamu hancurkan itu semua. Kiana sudah cukup menderita karena kamu. Sekarang kamu datang, membawa luka yang sama, apa kamu pikir itu adil?”

Dimas terdiam, air mata mulai jatuh di wajahnya. Dengan perlahan, ia berlutut di depan Hera. “Ibuk, aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Aku cuma ingin memperbaiki semuanya. Aku menyesal…”

Senja Dan warnamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang