Jangan kembali dengan alasan apapun
Kita pantas berjarak
~~~~~~~
Kiana terbangun dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya. Seakan-akan waktu berjalan mundur, membawa kembali rasa sakit yang begitu nyata, meski sudah berbulan-bulan berlalu. Ia membuka matanya perlahan, merasakan beratnya dunia yang menyelimuti dirinya. Pagi itu, meski matahari baru saja menyinari bumi, Kiana merasa seolah cahaya itu tak mampu menembus kabut gelap dalam hatinya. Dia hanya bisa menatap langit yang samar di luar jendela kamar, tak tahu ke mana arah hidup ini akan membawanya.
Ketika tubuhnya terangkat dari ranjang, rasa lelah itu seakan tak berujung. Segala kenangan tentang Dimas datang kembali, memeluknya dengan erat dan penuh, seperti bayangan yang tak pernah bisa ia lepaskan. Dimas—pria yang pernah mengisi seluruh ruang hatinya, yang dulu dijadikan impian masa depan—kini hanya menyisakan luka yang dalam. Luka yang tak bisa ia sembuhkan, tak peduli berapa banyak waktu yang telah berlalu.
Kiana berjalan lunglai menuju jendela, menatap dunia yang tak mengenalnya. Seperti biasa, hidup seakan terus bergerak meski ia terjebak dalam ruang yang gelap. Tiba-tiba suara-suara tetangga terdengar dari luar rumah, mereka berbicara tentangnya, tentang Dimas, tentang apa yang telah terjadi pada hubungan yang dulu mereka janjikan untuk bertahan. Tiba-tiba Kiana merasa seolah dunia ini menyaksikan setiap deritanya, setiap luka yang ia coba sembunyikan. Semua orang tahu, semua orang menilai, dan Kiana tidak bisa lagi menghindar dari kenyataan itu.
"Apa mereka tahu betapa sakitnya?" batin Kiana, suara hatinya terjebak dalam dinding kesedihan yang semakin tinggi. "Apa mereka tahu bahwa aku hancur?"
Tetangga yang berbicara di luar rumah seolah menjadi gema bagi setiap rasa sakit yang Kiana coba sembunyikan. Mereka tak tahu bahwa di balik senyum yang dipaksakan, ada luka yang tak bisa dijelaskan. Mereka tak tahu bahwa setiap kenangan tentang Dimas terasa seperti pisau yang perlahan mengiris hatinya. Tetapi di dunia ini, siapa yang peduli tentang luka yang tak terlihat?
Kiana menunduk, merasakan berat di dadanya. Di luar sana, dunia seolah terus berputar. Tetapi di dalam dirinya, segalanya terasa terhenti. Kenangan tentang Dimas datang tanpa ampun. Kenangan tentang bagaimana mereka merencanakan masa depan bersama, bagaimana mereka saling berbagi impian dan harapan. Namun kini, impian itu hanya tinggal puing-puing, dan Kiana harus menghadapinya—sendirian.
Ia berjalan kembali ke tempat tidur dan duduk dengan pelan, merasakan ketegangan yang merayap ke seluruh tubuhnya. Kiana menatap ke arah cermin di kamar, wajahnya yang masih basah oleh air mata. Mata itu, yang dulu penuh dengan harapan, kini tampak redup dan kosong. Kiana berusaha mengusap wajahnya, berharap bisa menghapus semua air mata yang telah jatuh. Namun seakan tak ada yang bisa menghapus jejak luka itu.
Seperti biasa, perasaan tak terungkapkan itu muncul—sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa sakit. Ada perasaan hampa, seolah ia kehilangan bagian dari dirinya yang tak akan pernah kembali. Dimas, lelaki yang ia cintai dengan begitu dalam, kini menikahi orang lain, dan meninggalkannya dengan kesedihan yang tiada habisnya. Bagaimana mungkin ia bisa mengerti perasaan ini? Bagaimana mungkin ia bisa melupakan semua yang telah mereka lalui bersama?
“Apa yang salah denganku?” Kiana bertanya dalam hati, meski tak ada yang bisa menjawabnya.
Sambil menatap ke luar jendela, Kiana merasakan dunia yang begitu asing baginya. Semua yang dulu ia yakini tentang cinta dan harapan kini terasa seperti ilusi. Apa yang dulu begitu nyata, kini hanya menjadi bayangan samar yang terus menghantui.
Suara pintu kamar yang terbuka membuatnya tersadar dari lamunan. Nia, dengan langkah ringan, memasuki kamar. Kiana melihat kakaknya itu dengan pandangan kosong, tak tahu harus berkata apa. Nia hanya menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dan warnamu
AcakAku memelukmu erat sekali,namun yang aku dapati hanyalah dekap tanpa hangat. Harum tubuhmu petang itu tercampur dengan aroma gadis lain, mungkin harus membelah isi kepalaku untuk menghapus ingatannya. lihat, semuanya sudah kukemasi hanya tinggal ik...