CHAPTER 13

143 29 8
                                    

Huekk...

Huekk...

Entah sudah yang keberapa kalinya Jevano terus memuntahkan isi perutnya, membuat pemuda itu mulai lelah dengan perut yang terasa keram.

"Abang...udah cukup hari ini. Perut Vano udah keram banget" ucapnya lemah.

Deri dan Jaegar saling pandang dan menatap Jevano dengan perasaan iba, "Sabar ya, ini dikit lagi kok" ucap Deri menenangkan.

Jevano menggeleng, "Udah gak sanggup" lirihnya.

Jaegar kembali memeriksa sudah sampai dimana pekerjaan mesin pencuci darah tersebut, lalu melangkah untuk lebih dekat dengan Jevano. "Sabar ya, 10 menit.....lagi" ucap Jaegar.

"Tidur aja kalau gak sanggup" ucap Deri.

Jevano akhirnya hanya bisa pasrah dan mulai memejamkan matanya, walau sulit namun ia tetap berusaha untuk tenggelam dalam dunia bawah sadarnya.

Hingga beberapa menit setelahnya dengkuran halus terdengar dari Jevano, bersamaan dengan selesainya Hemodialisis pertama remaja itu.

Jaegar dengan perlahan membuka alat yang melekat pada tubuh Jevano, sambil terus memastikan ia tak mengganggu tidur remaja itu.

Tangan Deri terangkat untuk mengusap pergelangan tangan Jevano, saat mendengar ringisan keluar dari kedua bilah bibir tipisnya ketika Jaegar menarik jarum yang digunakan untuk jalur keluar masuknya darah dari tubuh ke mesin dan sebaliknya.

"Lo yakin gak mau ngasi tau kondisi Vano yang sebenernya sama Tuan dan Nyonya?" tanya Jaegar pelan.

Deri menggeleng, "Gue bingung, awalnya gue pengen kasi tau secara diem-diem tanpa sepengetahuan Vano. Tapi, ngeliat gimana interaksi Vano sama keluarganya tadi gue jadi makin gak yakin" ucap Deri.

"Gimana kalau terjadi sesuatu-"

"Gak. Vano bakalan baik-baik aja. Lo udah janjikan buat sembuhin Vano?"

Jaegar mengangguk lemah, "Tapi kita cuma manusia yang bisa berencana. Gimana kalau ternyata kita gak berhasil nemuin pendonor, sampe akhirnya Vano nyerah?".

"Vano anak kuat, gue percaya dia bakalan nunggu sampai kita berhasil nemuin Ginjal baru untuk dia" ucap Deri.

"Der, dia bukan Eric. Vano bukan adek lo" ucap Jaegar.

Deri menghentikan gerakan tangannya, "Tapi, dia mirip sama Eric" ucap Deri pelan.

"Itu cuma kebetulan, lo gak bisa ngambil keputusan disaat lo sendiri sedang putus asa karena kehilangan adek lo" ucap Jaegar lagi.

"Tapi ini kemauan Vano, gue udah coba jelasin ke Vano. Tapi dia tetap kekeh untuk nutupin semuanya dari keluarganya" ucap Deri dengan nada putus asa.

Jaegar mengangguk mengerti, "Tapi, lo beneran tulus kan sama Vano? Jangan jadiin dia second choice, Der. Kita gak tau apa yang Vano hadapi selama ini, jangan sampe kita yang harusnya jadi Dokter untuk Vano malah kembali menambah bebannya".

Deri dengan cepat menggeleng, "Gue beneran sayang sama Vano, gue beneran udah anggap Vano adek gue. Mungkin awalnya gue anggap Vano adek gue karena dia memang mirip Eric. Tapi setelah lihat dari sisi lain, Vano punya dirinya sendiri yang harus gue sayangi secara tulus tanpa embel-embel apapun" ucap Deri jujur.

"Syukurlah" ucap Jaegar tenang, "Btw, kenapa Vano sama keluarganya? Keluarganya kelihatan sayang sama dia, tapi..."

"Tapi Vanonya yang menolak semua perhatian keluarganya" ucap Deri.

Jaegar mengangguk setuju, "Kenapa?" tanyanya bingung.

Deri mengedikkan bahunya, "Karena Papanya nikah lagi, maybe".

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mistakes In The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang