Perdamaian Saudari

6 1 0
                                    

Hari ini, hari kepulangan Erine. Seharusnya Erine bahagia bisa kembali sehat. Tapi, hatinya sedih karena ia bahkan tidak bertemu dengan Hugo selama seminggu. Pria itu seperti menghilang ditelan bumi. Bahkan Erine juga sudah memarahi Athisa, mungkin saja wanita itu menyembunyikan sesuatu lagi darinya tapi hasilnya nihil. Athisa memang tidak mengetahui apapun.

" Ayo kak, kita pulang ke rumah. " Nabila mengajak Erine masuk ke mobil. Tanpa sadar, Erine sudah berjalan sampai ke parkiran.

" Rumah? " Ingatan Erine terbang saat dirinya yang terjatuh dari kamar apartemennya.

" Tidak terasa, sudah lama tidak bertemu dengan Erine. " Sapa Kris membukakan pintu mobil.

" Kris, ini benar dirimu? " Erine menepuk-nepuk pelan pundak dan punggung Kris.

Kening Kris berkerut bingung, " Tentu saja ini aku,  tidak kusangka kamu juga akan merindukanku. " Kekeh Kris yang langsung mendapatkan tepukan keras di punggungnya oleh Nabila.

Erine mengajak Nabila dan Kris segera masuk ke mobil, " Sebelum kita berjalan pulang ke rumah, aku ingin menanyakan hal yang penting pada kalian berdua dan harus dijawab dengan jujur ya. " Nabila dan Kris mengangguk pelan meskipun mereka agak kebingungan. " Apa diantara kalian, ada yang menyimpan dendam padaku? Atau aku pernah berbuat salah pada kalian? "

Nabila langsung menggeleng cepat begitu pula dengan Kris yang langsung menggoyangkan kedua tangannya. " Kakak selalu baik padaku tapi mungkin Kris pernah kesal pada kakak. " Kata Nabila menunjuk Kris dengan dagunya.

Erine menatap Kris, " Benarkah? Ceritakan saja Kris."

Kris menggeleng lagi, " Aku tidak pernah menyimpan dendam pada Erine hanya saja kesal mungkin pernah. " Suara Kris memelan. " Saat itu kamu melempar sup sumsum yang telah susah payah kucari kemana-mana padahal dirimu sendiri yang ingin sekali memakan itu tapi ketika aku memberikannya padamu, kamu malah membuangnya tanpa berkata apapun lalu saat kamu akan mengiris pergelangan tanganmu karena Alfaz yang ketahuan menjalin hubungan dengan Athisa. Padahal nyawamu tidak sebanding dikorbankan untuk hal seperti itu. Dirimu lebih berharga. "

Erine terdiam, ia ingat dulu sering mencoba untuk bunuh diri dan Nabila juga Kris yang selalu menyelamatkannya. " Lalu, meskipun kamu tidak melihat Hugo sebagai seorang pria tapi tidak ada salahnya kamu mencoba untuk mengenalnya lebih dalam. Daripada mencoba mencari pria yang lain kenapa tidak mencoba mengenal Hugo sebagai pria. Dia tulus padamu. " Lanjut Kris lalu membalikkan tubuhnya dan menjalankan mesin mobil.

Nabila meraih tangan Erine, " Sejak pertama kali aku bekerja untuk Kak Erine, aku selalu mendoakan kebahagiaan kakak. Dan semoga setelah semua ini, kak Erine bisa bahagia. " Nabila menepuk pelan punggung tangan Erine.

Erine menatap Nabila lalu tersenyum kecil, " Terimakasih sudah mendoakan kebahagiaan untukku. " Erine berusaha menahan air matanya. Jika dirinya masih sebagai Chindy, mungkin ia sudah mengumpat berkali-kali karena menangis.

" Loh? Aku tidak tinggal di apartement? " Tanya Erine bingung karena mobilnya berhenti di sebuah rumah tingkat dua yang besar namun tidak bisa digolongkan sangat besar hanya cukup besar.

" Apartement? Sejak kasus kakak selalu diawasi oleh orang asing, Kak Hugo meminta kakak tinggal di rumah keluarga lagi. " Jelas Nabila sambil menurunkan koper milik Erine.

Erine menatap rumah yang berada didepannya dengan tatapan mata yang sulit diartikan. Entah kenapa ia tidak terlalu ingat bagaimana suasana dirumah ini. Dulu, ketika ayah dan ibunya bercerai. Ibu Erine menikah dengan ayah Athisa. Keluarga mereka memang lebih harmonis. Tapi, ketika Erine berusia 14 tahun, ibunya meninggal. Setelah dua tahun menduda, ayah tirinya menikah lagi. Sejak saat itu, Erine memilih tinggal sendiri karena merasa dirinya tidak seharusnya tinggal disana. Dirumah itu tidak ada lagi yang berhubungan darah dengan Erine, jadi lebih baik jika Erine yang menjauh.

Erine membuka sedikit pagar rumah, diluar prediksi Erine. Ayah dan ibu tirinya keluar dengan wajah yang tersenyum lebar. Erine terpaku menatap keduanya, " Wajah orangtua tiriku adalah orangtuaku di mimpi? " Bathin Erine. Orangtua tiri Erine adalah Carlos dan Griena.

Carlos memeluk Erine erat, " Terimakasih sudah kembali, putriku. "

Erine mengedipkan matanya bingung dan tatapannya bertemu dengan Griena yang tersenyum lebar padanya. Tanpa sadar air mata Erine mengalir, " Aku sangat merindukan ayah dan ibu. " Erine membalas pelukan Carlos.

Griena dan Carlos saling bertatapan, pertama kalinya, Erine memanggil mereka ayah dan ibunya. " Kami lebih merindukanmu. " Griena mendekat kearah Erine dan ikut memeluk gadis itu dengan lembut. Sebelumnya Erine selalu bersikap dingin pada mereka tapi begitu sadar dari pengobatan Hugo, Erine seperti orang yang berbeda. Atau mungkin Erine yang sekarang adalah dirinya yang sebenarnya.

" Ayo kita masuk dulu, jangan berdiri diluar. " Griena mendorong tubuh suami dan Erine masuk kerumah.

" Banyak sekali makanannya. " Kata Erine penuh takjub. Griena memasak semua makanan yang mungkin akan disukai oleh Erine.

" Makan yang banyak ya, sudah lama aku tidak memasak banyak makanan seperti ini. Rumah ini terasa jauh lebih besar karena hanya kami berdua yang tinggal. Athisa paling jika pulang selalu sudah makan dan sering berdiam di kamar. " Griena meletakkan satu potong ayam di piring Erine.

Erine tersenyum kecil, membaca doa dan menyuap besar nasinya, " Enak sekali, ibu. " Puji Erine.

Griena tersenyum, " Makan yang banyak. "

" Apa Athisa tidak dirumah? " Tanya Erine melihat sekelilingnya.

" Ada. Tapi dia takut keluar kamar. " Jawab Carlos.

Alis Erine naik, " Takut? Apa dia masih merasa bersalah sudah merebut Alfaz? Lagipula Alfaz lebih cocok bersama dengan Athisa. " Erine meninggalkan meja makan dan naik ke lantai dua.

Di ruangan bertuliskan Athisa Room, Erine mengedor keras pintu itu, " Keluarlah, ayo makan bersama. "

" Tidak perlu, aku masih kenyang. " Jawab Athisa dari dalam kamar.

" Menu yang dimasak ibu, enak semua hari ini. Akan ku habiskan semuanya jika kau tidak turun. Lagipula aku tidak menyukai Alfaz dari awal. Aku hanya merasa kesal padamu karena merasa selalu sendirian di dunia ini. " Jelas Erine. " Tapi, sekarang tidak lagi, setelah kupikir lagi, banyak orang yang menyayangiku hanya pemikiranku yang salah selama ini. Lalu sikapku pada kakak selama ini juga buruk, wajar jika kakak juga kesal padaku. "

Athisa membuka pintu kamarnya, " Itu tidak benar, sikapmu tidak pernah buruk pada kakak, justru kakak yang berbuat jahat padamu. Maafkan aku Erine. "

Erine memutar matanya malas, " Sudahlah jangan minta maaf lagi. Perutku sudah lapar. Lalu, lagipula masalahnya sudah selesai. Berkat kakak juga, aku jadi tahu siapa yang kucintai sebenarnya. Aku juga sudah memaafkanmu, kak. "

Athisa tersenyum lebar, " Benarkah kamu memaafkan kakak? "

Erine mengibaskan tangannya lalu menuruni tangga meninggalkan Athisa yang masih tersenyum tidak jelas, " Iya benar, ayo kita makan. Perutku sudah lapar. Makanan di pusat pengobatan hambar semua. Aku ingin makan banyak hari ini. "

Athisa menuruni tangga dengan cepat untuk menyamakan langkahnya dengan Erine, " Kak, apakah kamu benar-benar tidak tahu kemana Hugo?" Tanya Erine.

Athisa kaget, " Kali ini sungguh aku tidak bermaksud jahat lagi. Aku tidak tahu apapun. " Athisa menggeleng cepat namun keringat dingin membasahi keningnya sedikit.

Erine memicingkan matanya, " Kakak tidak berbohong, bukan ? "

Athisa menggeleng lagi, " Tidak, lagipula Hugo sudah dewasa, dia akan kembali lagi padamu. Lihat saja contohnya enam tahun menghilang itu, bukankah dia kembali lagi. Kamu tenang saja. "

Meskipun masih curiga pada Athisa, Erine tidak ingin memperpanjang masalah lagi. Entah kenapa, hatinya sama sekali tidak terlalu gelisah seakan Hugo sengaja bersembunyi darinya. Entah apa lagi yang direncanakan pria itu.

My Loveling Devil'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang