32. AKHIR DARI KISAH

90 52 143
                                    

HAPPY READING!!!

Daun-daun kering yang termakan usia jatuh ke tanah. Semilir angin berhembus dari timur mengantarkan kesejukan untuk orang-orang yang berdiri mengelilingi sebuah pusara yang masih basah. Mendung menghiasi langit seolah mengerti dengan kesedihan yang dirasakan oleh mereka semua.

Suara tangis dari teman-teman sekolahnya sudah terdengar sejak tadi. Namun, hanya satu gadis yang menunduk dalam-dalam menahan suara tangisnya agar tidak pecah. Terduduk lemas di samping papan nama kekasihnya. Pundaknya terus dielus oleh sang Mama berusaha memberikannya kekuatan.

Namun, tangisnya tak dapat di tahan, tangisnya pecah saat itu juga.

Hal terberat dalam hidupnya kini adalah kehilangan orang yang dicintainya. Shakila tidak pernah bermimpi jika tuhan benar-benar mengambil kekasihnya.

Rasa cinta itu semakin dalam, separuh jiwanya melayang terbawa oleh cowok itu. Tidak ada semangat dalam dirinya yang ada hanya kehampaan dan kesedihan yang mendalam.

Di sebelahnya juga ada Bunda Angkasa yang tak kalah sedih dan kehilangannya seperti gadis itu. Sekarang wanita itu sudah tidak memiliki siapapun lagi.

Angkasa, putra semata wayangnya kini sudah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.

"Kakak kenapa ninggalin Bunda, sekarang Bunda udah gak punya siapa-siapa lagi."

Tidak berselang lama, tiba-tiba datanglah seorang pria yang mungkin berumuran kurang lebih empat puluh lima tahunan yang datang dengan diikuti seorang wanita dan satu anak kecil.

Pria itu menatap sebuah nisan yang masih basah di depannya. Hatinya hencur, dunianya juga seakan hancur detik itu juga.

Tubuh pria itu jatuh tepat berada di samping kiri nisan itu. Air matanya luruh begitu saja. Tangan lemasnya seraya bergerak untuk mengusap batu nisan bertuliskan 'Angkasa Putra Dirgantara' itu.

"Maaf" hanya kata itu yang dapat pria itu ucapkan.

"Maafin ayah, Angkasa. Ayah banyak salah sama kamu, tapi kenapa kamu ninggalin Ayah begitu cepat" lanjut pria itu.

Awan melihat ke arah putri kecilnya itu sejenak. Lalu membawa anak kecil itu untuk mendekat ke arahnya. "Liat, Sa. Ini Adik kamu, Ayah belum sempat mempertemukan kamu dengan Adikmu, tapi kamu udah pergi duluan."

Sedangkan anak kecil itu menatap tak paham dengan ini semua. Dia masih terlalu kecil dan belum memahami apa yang sedang terjadi sekarang ini.

Angin berbisik pelan, membawa aroma tanah basah yang menyelimuti udara. Shakila terduduk lemas di samping sebuah batu nisan, matanya kosong menatap langit kelabu yang begitu rendah, seakan menghamparkan beban dunia di atasnya. Di kejauhan, deru hujan mulai terdengar, mengguyur bumi dengan pelan, seperti air mata yang tak pernah sempat jatuh.

Orang-orang yang berada di pemakaman itu pun mulai pergi satu persatu. Dan kini hanya menyisakan orang-orang terdekat Angkasa saja yang masih berada disana.

Vanya masih saja terus menangis. Seakan-akan air matanya tak mau berhenti.

"Vanya, sudah kamu ikhlaskan saja Angkasa. Mungkin itu berat untukmu, tapi percayalah, Angkasa tidak akan senang jika tahu Bundanya terus saja menangisinya seperti ini" ujar Awan.

Pria itu sudah sadar, kalau perbuatannya selama ini sudah sangat keterlaluan. Dan sayangnya, semua itu terlambat. Pria itu belum sempat untuk meminta maaf dengan putranya.

Rara_istri dari Awan_ mendekat ke arah Vanya. Wanita itu mengusap pundak Bunda dari Angkasa itu. Ia bisa merasakan apa yang tengah wanita itu rasakan saat ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LUKA BERAKHIR DUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang