3. KETIKA HATI BERBICARA

5 3 0
                                    

Matahari hampir terbenam, meninggalkan semburat jingga di langit. Kawaki kembali menemukan dirinya di tepi sungai kecil di belakang sekolah. Tempat itu telah menjadi pelariannya dari keramaian, dari kerumitan yang akhir-akhir ini menghantui pikirannya. Namun, sore ini, ia tidak sendiri.

“Kawaki-kun…” suara lembut itu memecah keheningan.

Ia menoleh dan melihat Sumire berdiri dengan ragu, membawa termos kecil di tangannya. Meski sinar senja memantulkan rona merah di wajahnya, ia tampak gugup.
“Aku membuat teh. Kupikir kau mungkin suka,” katanya sambil berjalan mendekat.

Kawaki hanya mengangguk pelan, membiarkan Sumire duduk di sampingnya. Mereka terdiam, hanya suara arus sungai yang terdengar. Sumire membuka termos dan menuangkan teh ke dalam dua cangkir kecil.

“Senja selalu membuatku merasa tenang,” kata Sumire tiba-tiba, mencoba mengisi keheningan. “Kau sering datang ke sini, ya? Apa tempat ini berarti bagimu?”

Kawaki memandangi cangkir di tangannya, tidak segera menjawab. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Tidak juga. Aku hanya tidak punya tempat lain untuk pergi.”

Sumire tersenyum kecil. “Kadang, tempat yang sederhana bisa menjadi spesial, tergantung siapa yang ada di sana.”

Kawaki tidak membalas, tetapi ia merasakan sesuatu yang hangat dalam kata-kata Sumire. Gadis itu memiliki cara untuk membuat keheningan tidak terasa sepi.

---

Di sisi lain sekolah, Eida berdiri di depan cermin besar di ruang dansa. Rambut panjangnya terurai sempurna, gaun putih yang ia kenakan membuatnya tampak seperti bidadari. Tapi di balik kecantikannya, matanya memancarkan kekosongan.

“Kau terlihat memikirkan sesuatu,” ujar Daemon, yang sedang duduk di kursi dekat jendela.

Eida menatapnya melalui cermin, senyum tipis terlukis di bibirnya. “Memikirkan? Mungkin. Atau mungkin aku hanya bosan.”

Daemon menyipitkan mata, tahu bahwa kakaknya sedang menyembunyikan sesuatu. “Bosan, ya? Atau sedang memikirkan Kawaki?”

Eida menoleh dengan cepat, tetapi ekspresinya tetap tenang. “Dia menarik, itu saja. Kau tahu, dia satu-satunya yang tidak terpesona olehku. Bukankah itu lucu?”

“Lucu? Atau justru menyakitkan?” balas Daemon, suaranya sedikit menantang.

Eida tersenyum samar, tetapi di balik senyum itu ada perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tidak suka mengakui kelemahan, apalagi terhadap perasaannya sendiri. Namun, ada sesuatu tentang Kawaki yang membuatnya tidak bisa berhenti memikirkan pria itu.

---

Malam mulai turun ketika Sumire dan Kawaki masih duduk di tepi sungai. Suasana menjadi lebih hangat, meski udara mulai dingin.

“Kawaki-kun,” Sumire berkata pelan, suaranya hampir seperti bisikan. “Apa kau pernah merasa… ingin melindungi sesuatu?”

Kawaki menoleh, menatap Sumire dengan tatapan bingung.
“Melindungi sesuatu?” ulangnya.

Sumire mengangguk. “Seperti… seseorang yang penting. Seseorang yang membuatmu merasa bahwa semua ini layak dijalani.”

Kawaki tidak menjawab. Pertanyaan itu menusuknya, membuatnya memikirkan hal yang selama ini ia hindari. Masa lalunya dipenuhi luka, dan ia tidak pernah merasa layak untuk melindungi siapa pun.

“Aku tidak tahu,” jawabnya akhirnya, suaranya datar.

Sumire tersenyum lembut, meski ada sedikit kesedihan di matanya. “Mungkin suatu hari kau akan tahu, Kawaki-kun. Dan saat itu tiba, aku berharap kau tidak akan lari.”

Kata-kata itu menggema di kepala Kawaki. Ia menatap Sumire yang menunduk, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar memahami dirinya, meski ia sendiri belum memahaminya.

Namun, jauh di seberang jalan, di balik bayangan pepohonan, Eida berdiri diam, mengamati mereka. Matanya yang tajam menyiratkan sesuatu—bukan kecemburuan, melainkan tantangan.

“Sepertinya aku punya pesaing,” gumamnya, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tapi aku tidak akan kalah.”

Dan di bawah langit malam yang dihiasi bintang-bintang, tiga hati mulai bergerak ke arah yang tak terduga, membawa mereka pada jalur yang penuh dengan harapan, luka, dan pilihan.





------------------------------------------------------------






Jangan lupa di votee dan komen yaa teman teman. Sampai ketemu di bab selanjutnya 👋👋

Tiga Titik di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang